Kamis, 30 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.23)

"Cumi, gw udah putus lho sama Vadim."
"Akhirnya.. enggak sia-sia ya elo kemaren Auties Moment tiga hari, ternyata membuahkan hasil.
Rhino mem-pause permainan tenisnya melawan Federer di Nintendo yang hari ini ia bawa ke kantor, ketika Nadia menelpon.
Nadia baru kembali dari liburan tiga hari di gunung.
Nadia suka begitu, suka tiba-tiba menghilang, liburan sendiri ke mana pun pikirannya yang penat membawanya lari keluar sebentar dari rutinitasnya.


"Jadi apa yang membuat lo ambil keputusan itu, Nad?"
"Pertama, gw sadar, gw ngelakuin ini cuma karena gw sakit hati sama Dasa. Dan orang yang lagi sakit, atau habis dilukai, mendingan fokus untuk ngobatin lukanya dulu. Karena kalo enggak, yang ada dia malah ngelukain orang lain. Gw enggak pengen nyakitin Vadim. Kedua, Vadim itu sebenarnya secara karakter bukan tipe gw. Jadi ya gw udah tau, kalo diterusin pun pasti enggak bakal beres. Yang ada gw keikut gaya hidupnya dia. Kan pergaulan yang baik menghilangkan kebiasaan yang buruk, gitu juga sebaliknya."
"Yup setuju, dengan siapa lo bergaul, ya akan seperti itu lah masa depan lo. Ya udah gw lega deh dengernya. This is the reason kenapa gw enggak pernah harus merasa terlalu worry kalo elo lagi bego. Karena gw tau, you can always find your way out."
"By the way, nanti gw mau ke Mal, mau ngobrol sama Viona. Mau ikut enggak?"
"Kalian kan mau ngobrol, entar gw ganggu."
"Ya enggaklah..."
"Boleh deh, gampang kok, entar kalo kalian mau girls talk, gw tinggal main Nintendo gw atau enggak dengerin iPod, atau ya duduk di tempat lain."

Begitu Nadia mengakhiri obrolan mereka, Rhino berniat untuk kembali fokus ke Nintendo-nya. Tapi ada yang mengganggu di list online friends-nya di YM.

NonaDiandra says SO WHAT?!!

RadityaRhino: Kenape lo?
NonaDiandra: Hehe.. ketahuan ya gw lagi gimana cuma dengan liat pm gw?
RadityaRhino: Haha.. lumayan deh.
NonaDIandra: Aku seharian kemarin nangis.
RadityaRhino: Kenapa?
NonaDiandra: Aku sepertinya selama ini dibohongi pacar. Pokoknya dia enggak seperti yang gw pikir.
RadityaRhino: Kenapa emang pacar kamunya?
NonaDiandra: Dia bohong ke gw. Selama ini dari pertama dia bilang that he has never slept with anyone, not even dengan mantannya yang terakhir yang sebelum gw. Dia bilang, I'm the first girl yang bikin dia beneran comfortable.
RadityaRhino:Lalu?
NonaDiandra: Selama ini gw live with this guilt and like a perception bahwa he's a really good guy, and I'm so lucky to have him. Gw merasa hebat banget dapet cowok kayak dia, yang beneran baik, yang mau nerima gw, yang tadinya dia anggap cewek bekasan. Gw nganggep dia beda dari temen-temennya yang lain. Gw berhasil dibuat dia terbang karena dia selalu mendeskripsikan hubungan sebelom gw itu sebagai hubungan yang fake dan enggak ada apa-apanya gitu.

Rhino tercengang sendiri melihat ketikan Diandra yang tiba-tiba panjang begitu.
Perempuan kalau sedang emosi, terlalu gampang dipancing untuk bercerita.

NonaDiandra: TAPI.Kemaren gw sempet ngobrol sama sahabatnya waktu di Sydney. Temennya keceplosan ngasih tau gw kalo dia dulu masih sempet smsan sama mantannya pas dia udah deket dan bilang sayang ke gw, padahal waktu itu dia bilang ke gw udah enggak pernah ngontek lagi.Terus gw bilang gini, wah tapi untung ya dia enggak pernah ML sama mantannya itu. Terus temennya kaget pas gw ngomong gitu, dia bilang, Hah? Dia bilang gitu ke elo?
NonaDiandra: Gw langsung diem. Temennya bilang, seinget gw sih, dia pernah bilang dia tuh cinta banget sama mantannya, dan mereka udah sejauh itu hubungannya. Gw langsung gemeteran Rhinoooo!!! Anjeng tuh cowok sok innocent sama gw, udah bikin gw percaya bahwa gw cewe yang beneran dia sayangin banget. Ternyata semua bullshit.Maaf ya panjang kayak essay, hehe.
RadityaRhino: Enggak apa, I'm listenin.
NonaDiandra: What hurts the most is, the part that he lies about who he is. I mean, sesampah-sampahnya elo ya jujur aja. Gw aja jujur, ngapain bohong. Gini kan gw lebih sakit.Gw ngebayanginnya aja males Rhiiinnn.Dia bilang megang-megang aja enggak pernah, bohong banget enggak sih, pake marah ke gw karena history gw sama cowok sebelum dia. Dia sendiri apaan.gw udah ngerasa enggak deserve him, too lucky to have him, enggak taunya. Makanya gw langsung nangis.

Wow. Rhino bingung membalas apa.


NonaDiandra: I dunno what to do now.
RadityaRhino: Elo udah ngomong ke cowok lo belom? Nanya dulu aja, jangan langsung mencak-menack. Kalo enggak ngaku juga baru bilang elo denger dari sahabatnya itu.Kalo masih ngelak juga ketemuin aja bertiga biar bisa confront.
NonaDiandra: Gitu, ya? Tapi gw males ngomong sama dia.
RadityaRhino: Enggak bisa gitulah. Elo harus ketemu ngomong, secepetnya dikelarin. Btw, gw mau nanya, enggak dijawab juga enggak apa.
NonaDiandra: Go ahead, nanya aja. pasti elo mau nanya gw udah sejauh itu juga enggak sama cowok gw.Jawabannya BELOM. Hampir, tapi dia yang kayak, engagk mau karena pengennya gw pertama kali sama siapapun yang jadi suami gw. Gw semakin bangga dan sayang sama dia, dia bilang maunya pertama kali cuma sama gw, I'm gonna be his first. Lah terus kalo sekarang ketahuan ternyata dia udah sama mantannya kan bohong banget. Ngerti enggak perasaan gw Rhin? Gw selama ini nganggep dia beda dari cowok lain yang maunya cuma ML sama gw. Terakhir gw tanya dia, dia bilang, jangan ngeraguin aku terus dong, entar aku kecewa. Ya udah gw percaya, tapi kalo kayak gini gw kan bingung.

RadityaRhino: Well, you have to make things clear.

NonaDiandra: Iya, sih. Gw penasaran banget, kalo dia beneran ternyata bohong gw harus lepasin dia lah ya. Gila he has brainwashed me, that he's like the good guy, and I've always been the troublemaker you know. Gw harus kelarin hari ini atau besok, kalau the worst happen Rhin, elo bersedia menghibur gw ya. Gw bakal bleeding banget.

RadityaRhino: Pastinya.







Blogged with the Flock Browser

Fiksi atas Fakta (pt.22)

Hari ini Jakarta akhirnya berderai tangis.
Rhino pun bersorak dalam hati melihat langit yang menggelap, menghantarkan awan-awan besar yang siap menumpahkan literan air.
Matahari akhirnya mengalah, mundur dari peraduannya, dan bersembunyi di balik kilatan cahaya dan gemuruh guntur.
Bau jalanan aspal yang panas, tersiram air, membaui indera penciuman Rhino.

Rhino selalu menyukai musim hujan.
Karena ia bisa punya alasan untuk membeli jumper, coat, hoody, shawl dan scarf baru.
Segenap asesoris pelindung tubuh dari dinginnya udara.
Beda dengan ketika musim panas berkuasa.
Kreatifitasnya seperti tertambat, yang ada di pikiran hanya mengenakan celana pendek, sendal jepit, dan kaos.
Sebisa mungkin menyisakan sedikit bagian kulit yang tertutup baju, agar tidak kegerahan, tapi resikonya bagian kulit yang tidak tertutup pakaian tersebut harus bersinggungan langsung dengan matahari.
Perih.
Dilema.

Ditutup window Plurk-nya.
Tempat ia mencurahkan banyak hal, kebanyakan seputar pekerjaan, tanpa harus takut banyak yang baca.
Karena masih sedikit orang yang punya account di Plurk.

radityarhino bilang pusing sama maunya klien, katanya suruh cari alternatif lain, tapi sekarang bilang mau pilih konsep yang kemaren aja

radityarhino senang akhirnya si marketing dipecat juga

radityarhino terharu karena pandji pragiwaksono mau nulis untuk majalahnya

radityarhino stres karena desainer barunya kurang bagus desainnya

radityarhino bosen nungguin artikel dari kontributor dan jurnalis yang belom kelar

Menyenangkan.

Beberapa menit kemudian Rhino sudah bergegas keluar dari area kampusnya.
Menyusuri jalan penghubung antara Sudirman Park dengan Wisma BNI Sudirman.
Pantofel lancipnya bersinggungan dengan jalanan yang masih lembab.
Ditariknya resleting fitted jacket-nya hingga ke leher, sambil terus berjalan dengan dua tangan bersedekap.
Hembusan angin membuat pipinya kebas.
Betapa aneh udara Jakarta, baru kemarin ia mengeluh kepanasan, sekarang ia menikmati dingin.

Alunan musik bernuansa lounge koleksi Ministry of Sound 2008 mengalun kencang di telinganya.
Menemani kegiatannya berjalan kaki.
Badannya masih agak terasa pegal.
Matanya masih agak berat.
Kemarin malam, Rhino habis berhura-hura dalam gelaran Sundaze di Segarra dengan Marsya Tita dan Diandra.
Sundaze kemarin mengharuskan orang-orang yang datang mengenakan pakaian bernuansa putih.
Sehingga kemarin banyak sekali orang-orang berbaju putih asik berakraban di pinggir pantai, mendengarkan dentuman musik yang dimainkan DJ, sambil menenggak minuman di tangan masing-masing.
Rhino berkhayal, akankah surga bisa seperti itu adanya?
Orang-orang berbaju putih, di pinggir pantai, menikmati hembusan angin sore, dengan musik yang pas.

"Hei Tas,"
akhirnya Rhino tiba juga di Starbucks BNI 46.
Ia segera menemukan sosok Tasya yang sedang duduk sendiri di sebuah meja, bertemankan sebuah buku.
Tidak jauh dari situ, Girindra masih sibuk meeting dengan teman-temannya.
Girindra punya usaha tempat makan pancake, sharing kepemilikan dengan beberapa orang teman kampusnya.
Rhino seperti biasa, ingin menebeng Girindra pulang ke rumah.
"Hei Rhin, nice glasses," Tasya memuji kacamata  round-framed nya yang menyerupai kacamata milik Harry Potter dan John Lennon, dan hampir sama dengan koleksi Marc by Marc Jacobs.
"Thanks, hadiah ulang tahun nih dari temen. Girindra belom kelar, ya?"
Rhino menunjuk Girindra dengan dagunya.
Tasya menggeleng.

"Bentar ya Tas, gw mesen dulu," Rhino kemudian berjalan ke konter pemesanan dan memesan Hot Caramel Macchiato.
Ia menggosokkan kedua telapak tangannya sambil menunggu antrian.
Udara dingin di luar, ditambah suhu rendah pendingan ruangan membuat dirinya sedikit gemetar.

Beberapa menit kemudian Rhino kembali dengan Hot Caramel Macchiato-nya di tangan, kemudian duduk di sebelah Tasya.
"Tadi sebelum ke sini ke mana dulu, Tas?" Rhino membuka percakapan.
"Ke atas, Cilantro, makan dulu."
"Oh.. entar pulang dianter Gir lagi?"
"Enggak. Tadi dari kampus bawa mobil bareng, cuma ini Girindra minda ditungguin."
"Ooww..."
"Elo kok rapi banget sih, Rhin? Bukannya dari kampus?"
Tasya sedikit memperhatikan setelan kemeja dengan white spread collar, basic pants hitam, dan pantofel lancip Rhino.
"Emang gini sekarang kalo ke kampus, Tas. Regulasi baru untuk angkatan gw. Karena kan kita lagi program internship, jadi ya kampus maunya kita pas ke kampus kayak orang-orang yang udah kerja dengan pakaian profesional. Nyebelin. Padahal gw ke kantor aja bisa pake celana pendek sama sendal. Untung kuliah cuma seminggu dua kali."
"Oh .. elo ngikutin Heroes enggak sih, Tas?"
"Enggak. Gw nonton pertamanya doang, terus gw takut ngeliat si Niki sama Jessica, soalnya bunuh-bunuh orang gitu. Gw ngikutin Ugly Betty."
"Oh.. Ugly Betty!"

Maka habislah sekitar 15 menit waktu mereka menunggui Girindra dengan membicarakan Ugly Betty, serial TV yang juga Rhino gandrungi. Rhino menyukai serial TV, ataupun tontonan yang menurutnya, memiki script yang bagus, seperti Greys Anatomy, Gossip Girl, How I Met Your Mother, Boston Legal dan Heroes.

Gossip Girl sendiri dari segi jalan cerita tidak terlalu penting, cuma tontonan remaja dengan konflik yang dibuat-buat. Tapi skripnya mampu membuat Rhino tercengang. Brilian.

"Yuk balik," Girindra menghampiri mereka ketika meeting-nya, akhirnya selesai.
Mereka mengantar Tasya dulu ke mobilnya, baru kemudian ke mobil Girindra.
"Eh Rhin, nanti dateng ya kawinan kakak gw." kata Girindra sambil membuka automatic key mobilnya.
"Sip, ngundang siapa lagi lo?"
"Cuma elo, Viona, dan umm Nadia, yang kakak gw kenal aja. Karina enggak."
"Ok," kata Rhino sambil masuk ke dalam mobil.
"Enggak diundang, bukan karena gw ya Rhin, tapi karena emang dia enggak kenal kan sama kakak gw."
Rhino diam, enggak ada yang minta penjelasan juga gitu, batin Rhino.








Blogged with the Flock Browser

Selasa, 21 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.21)

“Eh cum, masa ya kemaren gw melakukan hal bodoh kayak elo.”
“Apaan?”

Rhino dan Nadia sedang berputar-putar Mal setelah makan siang, kebetulan Nadia ingin mencari kado untuk teman barunya, Okky.

“Kemaren gw ke rumah Vadim, ternyata deket rumahnya lagi ada hajatan. Terus pas pulang, mereka juga bubaran, dan banyak banget yang cium tangan gitu. Apa tuh namanya?”
“Salim?”
“Iya salim, ke orang yang lebih tua. Eh tiba-tiba enggak sadar, gw ngambil tangan Vadim, terus gw cium juga. Ya heranlah si Vadim.”
Rhino tertawa terbahak.
“Tapi elo masih mending, at least waktu itu elo latah karena elo ngeliat depan mata lo ada yang lagi kayak gitu. Nah gw? Enggak ada angin enggak ada ujan, tiba-tiba gw mau salim sama Girindra pas mau turun dari mobil, gara-gara dalam otak gw, gw lagi semobil sama bokap. Untung gw cepet sadar, kalo enggak kan Girindra keburu ngasih tangannya, terus gw cium. Gila berbakti banget gw sama dia.”
“Hahahahaha.. emang sih elo lebih bodoh dari gw ya, Rhin.”
“Sialan lo, waktu itu kan gw lagi sakit, jadi itu pengaruh obat.”
“Ya apalah, ya…”

“Btw Nad,” kata Rhino sambil mencoba jaket parasut warna biru elektrik koleksi Zara, “elo kok udah tau hubungan lo sama Vadim enggak jelas, tapi masih juga dilakuin. Itu kan bodoh, Nad. Elo tau sendiri casual relationship itu cuma kayak license to kiss and say goodbye, enggak sehat, hampir sama kayak HTS. For me it’s like saying, ‘Hi, I like you, but I don’t love you yet. Well, until then, can we just kiss?’ Super bodoh”.
“Ya, enggak tau, deh. Gw emang lagi bodoh sekarang.”

“Eh Nad, gw males kuliah, deh. Pengen bolos aja yang mata kuliah pertama. Kita ngobrol aja yuk di J.Co, jangan di Starbucks. Bosen.” ujar Rhino ketika mereka akhirnya melangkah keluar dari (X) S.M.L. Nadia mendapatkan kado yang ia inginkan di situ, bukan di Zara.
“Haha.. dasar lo pemalas.”
“Abis ngantuk, udah gitu dosen yang ini ngebosenin banget.”
“Ya udah, yuk.”
Dalam perjalanan menuju J.Co, mereka menemukan Dasa di dekat Starbucks, dengan seorang perempuan.
“Nad, Dasa tuh, sama cewek.”
“Hmm.. terus gw musti ngapain? Siapa ya tuh cewek?”
“Tegor aja, entar dikenalin kan tuh cewek. Kalo ditanya elo dari mana, bilang aja dari kantor mau nyamperin Vadim ke apartemennya. Biar dongkol dia.”
Nadia tersenyum.

Kemudian berdua mereka menghampiri Dasa.
Nadia berdeham, Dasa berbalik badan.
Begitu dilihatnya Nadia, Dasa seperti mencoba tersenyum, tapi yang keluar adalah ekspresi canggung dan tertangkap basah.
“Eh Nad, kok ada di sini?”
“Ini kan tempat umum bukan? Sama siapa, Sa?”
“Sama ini kenalin, temen.”
“Nara,”
Perempuan itu menyebutkan namanya.
“Nadia,” Nadia tersenyum membalas uluran tangan Nara, kemudian sambil tersenyum berkata, “Lucu ya, nama kita sama-sama berawalan N.”
Kemudian Nadia sedikit berbisik ke kuping Dasa, “Kamu enggak kreatif, ya.” Membuat Dasa memerah.
“Kamu mau ke mana, Nad?” Dasa mengalihkan pembicaraan.
“Mau ke apartemen Vadim. Tau Vadim, kan? Pacar aku?”
Dasa mengangguk.
Strike one, Rhino tersenyum, sambil berdiri manis di samping Nadia.
“Ya udah, aku pergi dulu ya, Sa.”

Mereka berdua kemudian melangkah pergi menjauh meninggalkan Dasa dan temannya.
Begitu sudah agak jauh, Nadia dan Rhino sama-sama tertawa.
“Rule number one, if you’re datin Nadia Priskilla Angelia, never mess up with her!” ujar Rhino.
Mereka berdua kemudian kembali tertawa keras.
“Gimme five, be-yotch!”

Fiksi atas Fakta (pt.20)

From: Nadia (+628180*******)
Cum, lagi di mana? Udah bangun belom?

Dengan berat, Rhino membuka matanya.
Sinar-sinar matahari pagi menyusup masuk dari jendela kamarnya, membuat silau mata yang selama tidur terpejam dan hanya memandang kegelapan.
Setelah sibuk mengerjap agar matanya terbiasa dengan intensitas cahaya yang diterima secara mendadak, dan terpaksa, Rhino membaca SMS dari Nadia perlahan
Isinya singkat, namun otaknya seperti perangkat keras komputer tua, yang harus dipanasi terlebih dulu.
Rhino berusaha mencermati isi SMS tersebut, sambil berusaha berkonsentrasi.
Tadi malam, tepatnya tadi pagi, ia tidur jam tiga pagi.
Setelah selesai melanjutkan enam episode serial “How I Met Your Mother”, akibat rasa kantuk yang belum juga menghinggapinya.
Maka dicarinyalah aktifitas yang bisa menemaninya terjaga.
Ia turun ke bawah, berjingkat menuruni tangga, pelan-pelan merayap ke ruang makan, kemudian menyelundupan sebuah botol peanut butter, setoples kacang, dan segelas air putih ke dalam kamarnya. Menonton kurang sedap tanpa kudapan.

To: Nadia (+628180*******)
Di rumah. Ini baru bangun gara-gara elo SMS. Hehe. Semalem tidur telat, gara-gara asik nonton DVD. Kenapa?

Disekanya keringat yang membanjir di kening, mengalir ke leher, lalu ke pundaknya turun.
Dilihatnya pendingin ruangannya sudah mati. Sudah jam sepuluh pagi.
Rhino selalu men-set pendingin ruangannya agar secara otomatis mati setiap pukul tujuh pagi, demi penghematan listrik, dan upaya bersahabat dengan bumi.
Alasan lainnya, agar ia bisa terbangun, dengan harapan, ketika pendinginnya mati, ia akan merasa kegerahan, dan terbangun.
Tapi kali ini gagal, buktinya sudah tiga jam ia tidur, dengan tingginya suhu udara Jakarta, walau hari masih terhitung pagi, hingga berkeringatlah dirinya ketika terbangun.
Sudah beberapa minggu belakangan ini Rhino menjadi makhluk nocturnal.
24 jam sehari seperti tidak cukup, begitu banyak hal yang harus ia kerjakan hingga larut, dan esoknya harus bisa kembali bangun tepat waktu.
Begitu setiap hari, kantung matanya mulai menghitam.
Melebam dihajar kerinduan akan waktu beristirahat yang proporsional.

From: Nadia (+628180*******)
Gw sama Karina mau pergi makan sore ini. Elo mau ikut enggak?

To: Nadia (+628180*******)
Ya kalian, kalo hari Senin sama Selasa kan gw kuliah sore.

From: Nadia (+628180*******)
Oww.. ya udah besok aja, deh. Elo bisa ajak Girindra juga enggak?

Rhino berpikir sejenak.
Nadia memiliki niat yang bagus, mengumpulkan kami lagi seperti dulu.
Tapi bukankah masa lalu tidak bisa diulang?
Masa lalu hanya bisa dipandangi, dikagumi, disesali, atau disyukuri.

Untuk bisa pergi lagi berempat, dengan sejarah yang dimiliki Karina dan Girindra, seperti akan menciptakan sebuah produk kecanggungan dalam jumlah yang masif.
Hubungan bagaikan sebuah tali.
Begitu terjadi konflik, maka tali itu seperti terputus karena terkena sesuatu yang tajam.
Ketika terjadi rekonsiliasi, maka tali yang sudah putus tersebut seperti disambung kembali.
Berhasil. Tersambung.
Tapi sekarang, ada benjolan simpul penyambung tali di bagian tengahnya.
Maka tali itu jika disusuri dari ujung awalnya, tidak akan semulus dulu ketika belum terpotong, karena sudah ada sesuatu yang mengganjal di tengahnya.

To: Nadia (+628180*******)
Ok, besok will do. But still not sure bout Gir, I’ll try to contact him. Ok.

Hari ini ada karena keputusan yang diambil di hari kemarin.
Maka Rhino penasaran di mana letak kesalahan yang ia lakukan hingga kualitas majalahnya dari segi desain bulan ini begitu hancur?
Seperti majalah yang baru pertama kali meluncur ke pasaran.
Rhino sendiri kaget begitu melihat kiriman beribu-ribu eksemplar yang dikirim percetakan.
Si desainer, seperti bekerja dengan asal, dan malangnya, ketika Final Check, versi digital-nya tidak diperiksa dengan detail oleh art director.
Maka terjadi begitu banyak kesalahan yang membuat Rhino pusing.
Akan ada begitu banyak permohonan maaf dan ralat untuk edisi depan.

Rhino pun memutuskan untuk kabur dari kantor lebih cepat.
Ia butuh bersantai sejenak, butuh sesuatu yang mengalihkan pikirannya untuk sementara.
Untung, Nadia mengajaknya untuk makan siang bersama.
“Rhin, semalem gw kan ngobrol sama Girindra di Plaza Indonesia.” ujar Nadia sambil membawa nampan berisi potongan somay dari salah satu konter makanan yang ada di foodcourt Mal.
“Oh, kalian berdua ketemu di sana. Terus ngobrolin apa?”
“Dia nanya soal Dasa, dan soal Vadim.”
“Oh iya sih, semalem pas pulang juga dia cerita ke gw, dia tau soal Vadim. Tapi selama kita ngobrol, ada satu hal yang mengganggu gw.”
“Apa, Nad?”
“Matanya Girindra.”
“Kenapa matanya?”
“Kosong. Kayak orang yang enggak punya gairah kehidupan. Emang gitu atau gw yang aneh ya, Rhin? Apa mungkin karena gw udah lama enggak ngobrol tatap muka lama sama dia kayak kemaren?”
“Bisa jadi. Gw juga khawatir sama dia, tapi ya dia kan gitu, cuma cerita sesuatu kalo dia mau cerita. Dan kalo dia ceritain sesuatu, kita enggak punya hak tanya.”

“Yang aneh, kemaren dia juga nanya, soal masa lalu. Dia tiba-tiba mau tahu, seberapa buruknya sih gw di masa lalu. Kan aneh banget tiba-tiba dia nanya gitu. Dia minta detail, tapi gw enggak jawab.” lanjut Nadia sambil mengaduk bumbu kacang pada porsi somaynya.
“Kadang dia emang egois, ya. Suka nanya, minta detail, tapi kalo ditanya detail enggak mau.”
“Iya. Tapi gw enggak cerita ke dia. Bukannya gw enggak percaya, tapi gw ngelakuin ini demi dia juga, karena gw sayang sama dia.”
“Iya gw ngerti poin lo. Cara gw dan Girindra menerima sesuatu itu beda. Mungkin elo bisa cerita banyak hal ke gw, karena gw cuma suka mendengar. Kalo gw suka cerita lo, gw simpen, jadiin pelajaran. Kalo enggak, ya gw dengerin aja, abis itu gw buang. Kalo Girindra enggak bisa gitu, dia terlalu pinter. Elo kasih dia sesuatu, dia akan pikirin sesuatu itu terlalu jauh sebelum dikonsumsi. Dia kritis, tapi sedikit berlebihan.”

Rhino kemudian bercerita soal konsep pengampunan yang semalam Girindra bagi dengannya.

“Iya emang susah ya, Rhin. Ada satu orang yang nyakitin gw parah banget waktu gw kecil, dan gw pikir gw udah forgive orang ini. Padahal kalo ketemu orangnya gw masih suka keinget sama apa yang dia bikin ke gw, bahkan gw saking bencinya, gw kayak pengen nusuk orang ini. Kemudian gw sadar, ternyata gw cuma memaafkan tapi enggak melupakan.”
“Untuk manusia bisa melupakan sesuatu itu susah banget, Nad, karena otak kita punya kemampuan nyimpen sesuatu, unless elo kena amnesia. Makanya di situ tantangan dari konsep pengampunan, karena ketika kita mengampuni kita musti melupakan. Padahal sebagai manusia yang punya akal dan ingatan, melupakan sesuatu itu susah, apalagi waktu sesuatu itu pernah meresap banget di ingatan kita. Mungkin, elo belum sepenuhnya maafin orang itu.”
“Iya. Gw pikir dengan mengucapkan kata maaf aja itu udah cukup. Tapi ternyata enggak, butuh banyak hal untuk bisa maafin seseorang.”
“Yang paling penting butuh waktu dan proses. Kayak gw maafin bokap gw itu enggak gampang, Nad.”

Hati Rhino pilu ketika mengakhiri perkataannya, ia tidak pernah menyangka ia bisa mengatakan hal tersebut.

“Butuh waktu lama buat gw, dari yang sekedar maafin, terus berusaha ngelupain, sampe akhirnya gw mau coba untuk akrab lagi sama dia. Dulu gw benci banget sama bokap gw, Nad. Gw selalu menghindar ketemu dia di rumah, gw meminimalisir aktifitas ngomong gw ke dia. Sebisa mungkin, gw enggak mau ngomong sama dia. Gw cuma nyari dia kalau gw butuh. Nyokap gw beberapa kali minta gw untuk bisa pergi berdua bokap, kayak dulu waktu kecil bokap ngajak gw jalan, tapi gw selalu nolak.”
“Emang bokap lo bikin salah apa sama lo?”
“Dia enggak literally bikin salah sama gw sih, Nad. Dia enggak pernah ngelukai gw secara langsung. Tapi dia beberapa kali bikin gw kecewa. Gw anak hasil MBA, Nad. Anak di luar nikah, bokap nyokap gw beda agama, dan hubungan mereka ditentang keluarga dua belah pihak, gw hampir digugurin. Untungnya nyokap insist pengen ngelahirin gw. Waktu gw umur 8 tahun, mereka akhirnya bisa nikah, bokap gw pindah agama, dia dibaptis. Gw merasa tenang, karena selama 8 tahun hidup gw, gw merasa seperti anak yang diperebutkan. Nyokap gw sibuk mendoktrinasi gw dengan ajaran Nasrani, bokap gw sibuk mendoktrinasi gw dengan ajaran agamanya. Bokap gw pernah maksa gw untuk janji mau belajar melakukan kegiatan agamanya kalau gw udah gede. Waktu gw cerita itu ke nyokap, nyokap cuma bisa nangis, sambil bilang ke gw, ‘Kamu janji sama Mama, apa pun yang terjadi, kamu enggak akan ikutin apa yang Papa minta. Papa kamu bisa aja ninggalin kamu, tapi satu hal yang kamu perlu tahu, kamu punya Bapak di surga sana yang enggak akan pernah ninggalin kamu.’ Maka sejak itu, kepercayaan dan keyakinan gw mulai terbentuk.”

Rhino menyeruput, air mineralnya sedikit sebelum melanjutkan ceritanya.
“Waktu itu gw masih kecil, gw bingung. Makanya waktu mereka akhirnya nikah, punya agama yang sama, gw merasa tenang. Gw kira, hidup gw bisa normal kayak anak-anak lain. Gw enggak perlu cerita, bahwa weekend kemaren gw spend the time with my dad, then the next weekend gw spend time with my Mom, parahnya mereka enggak cerai, mereka emang enggak nikah. Gw merasa sangat abnormal. Tapi kemudian setelah nikah tiga bulan, bokap gw kembali ke agamanya. Nyokap gw sakit hati banget, merasa ditipu, dan hampir bunuh diri kalo enggak inget gw. Tapi untungnya nyokap gw bisa control her feeling, dia ingat bahwa dia udah bikin satu keputusan, maka dia harus terima resikonya. Lagipula, apa yang sudah disatukan Tuhan tidak bisa diceraikan manusia.”

Nadia mendengarkan, dengan mata yang prihatin.

“Kemudian nyokap hamil adik gw. Waktu itu bokap enggak mau ngurusin nyokap, karena sebenernya mereka enggak plan untuk punya anak lagi. Tapi begitu adik gw lahir, bokap jadi sayang banget sama dia. Dia mendidik adik gw dengan ajaran agamanya, plus iming-iming hadiah yang banyak. Dia menggunakan materi untuk memikat adik gw pada agamanya. Anak perempuan, masih kecil, siapa yang akan menolak kalau terus-terusan dikasih hadiah bagus. Gw pun jadi insecure, gw merasa dianggap beda, karena gw enggak bisa bikin dia bangga, karena gw enggak ngikutin apa maunya dia, gw merasa dia lebih sayang adik gw. Segala sesuatu yang adik gw minta bisa langsung dibeliin, enggak perduli berapa harganya.”

“Tapi jangan dikira adik gw seneng, karena ternyata semakin besar, dia sadar, bahwa dia ngelakuin semuanya cuma supaya dapet hadiah dari bokap, dan bahwa hadiah yang bokap kasih enggak akan bisa membeli kesenangannya.”

“Dia udah terlanjur milih. Dia takut kalo bokap gw tahu, bahwa sebenernya adik gw setengah hati ngikutin maunya dia. Adik gw pernah curhat sambil nangis ke nyokap, tapi nyokap dengan besar hati nasihatin adik gw, ‘Adek, kamu udah milih agama kamu. Kamu harus ngejalanin, jangan karena takut sama Papa. Tapi karena takut sama Tuhan. Kamu pilih agama apa pun, kamu tetep anak Mama. Mama enggak akan ngerasa ditinggalin sama kamu, sayang.’ Gw semakin insecure, dan ngerasa keluarga gw sangat enggak normal, sementara gw seorang yang perfectionist, gw mau segala sesuatu berjalan sesuai kemauan gw, sesuai standar gw. Tapi enggak bisa, I have to learn the hard way, that life is never perfect.”

“Itu secara garis besarnya aja, ada banyak detail lain yang enggak bisa gw cerita. Saking bencinya sama bokap, gw enggak mau jadi sama kayak dia. Gw benci liat gitar, karena gitar ngingetin gw sama dia. Gw enggak suka olahraga terutama sepak bola, karena itu bikin gw inget dia. Temen-temen gw dari SMP ngecap gw anak laki-laki yang enggak normal, karena enggak suka sepak bola dan enggak suka main gitar. Ironis, sebuah kenormalan diukur dari sepak bola dan sebuah gitar. Maka tumbuhlah gw dengan pola pikir yang gw terima dari orang-orang bahwa gw abnormal, datang dari keluarga yang juga abnormal. Di rumah gw merasa enggak cukup dapet perhatian, jadilah gw cari perhatian ke temen-temen yang mau terima gw apa adanya. I put all the blames on my Dad.”

“Mungkin itu juga sebabnya, kenapa gw enggak pernah berani memulai sebuah hubungan sampai sekarang. Mungkin alasan gw sebenarnya bukan karena gw pengen mapan, tapi karena gw takut, takut punya keluarga kayak keluarga gw dulu. Gw takut jadi bokap yang sama kayak bokap gw. Gw juga takut dapet pacar yang enggak sempurna, sehingga keluarga gw nantinya enggak sempurna. Tapi itu semua udah lewat, Nad. Gw sekarang udah bisa jalan berdua bokap, ngobrol sama dia, dan nunjukkin bahwa gw sayang dia. Itu butuh proses, pengampunan itu sebuah karunia, sebuah hadiah, hadiah dengan harga mahal yang harus kita beri ke orang-orang yang sebenernya enggak layak untuk terima hadiah itu.”

Senin, 20 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.19)

Diliriknya bilangan di sudut kanan bawah monitor laptop-nya.
Baru sepuluh menit, hari ini dimulai.
Tengah malam lewat sepuluh menit.
Sepuluh menit yang lalu hari ini adalah esok, sekarang setelah sepuluh menit, hari ini sudah menjadi kemarin, dan esok berganti hari ini.

Rhino masih tidak bisa tidur.
Episode enam dari musim kelima tayangan serial “Greys Anatomy” baru saja dirampungkannya.
Sebelum menonton DVD, ia sempat berkutat selama dua jam dengan tugas mata kuliah metodologi-nya, mengulas sebuah buku bertajuk “Kecerdasan Komunikasi”, minimal sepuluh halaman.
Ingin patah rasanya jari-jari itu setelah sibuk menggertaki tombol-tombol keyboard.
Ingin melompat keluar sepertinya mata itu setelah lelah mengamati layar putih berbentuk lembaran kertas, yang semakin penuh diisi jejeran kata seiring dengan jemarinya yang bermain gemulai di atas keyboard.

Pikirannya yang terjaga, membuatnya berpikir.
Mengulang sebuah percakapan panjang yang ia lakukan tadi dengan sahabatnya, Girindra, dalam perjalanan pulang mereka dari Plaza Indonesia.
Rhino menebeng pulang, dari kampus, ia menuju Plaza Indonesia, karena tahu Girindra sedang ada di sana, kemudian minta diantar pulang.

“Gw udah tau tuh soal Nadia,” ujar Girindra, ketika Rhino masuk ke dalam mobilnya.
Rhino hanya diam.
“Elo udah pernah ketemu sama si Vadimitra itu?” tanya Girindra lagi.
Rhino menggeleng.
“Kok dia bisa gitu ya? Gw enggak ngerti deh si Nadia. Mungkin dia butuh belajar dari adeknya kali, gw.”
“Ah, kayaknya adeknya juga enggak lebih baik,” ujar Rhino bercanda.
“Sialan. Well, dulu waktu gw jadian sama Tasya, gw mungkin ngerasa salah karena mungkin emang kecepetan. Tapi pas dijalanin gw serius. Kalo Nadia, kayak enggak mikir dulu. Well, Nadia sih sempet bilang kalo dia tau dia salah.”
“Ya udahlah, she’s a grown up, she can take care of herself. This is her decision, apapun yang terjadi, we can not change it. As best friends, all we have to do is support her. Then be there for her, whenever she needs us. Kalo keputusannya bikin dia seneng, kita ikut seneng, kalo keputusannya bikin dia sedih, ya kita ikut sedih. The same thing kayak waktu elo sama Tasya, I didn’t really support you guys, but what can I do? I have to support you. Walau gw agak kesel karena elo baru nanya pendapat gw soal Tasya, setelah kalian jadian. Di mana-mana, orang nanya pendapat sebelum bikin keputusan, bukan setelahnya, itu namanya minta kepastian bahwa keputusan yang dia ambil enggak salah. But Tasya is a great person, so yeah.. you know. It’s just you’re not as great as her.. hahaha.”
“Sialan lo,” rutuk Girindra.

“Elo tau enggak sih hari ini gw belajar apa?” tanya Girindra membuka obrolan sambil menyerahkan beberapa lembar ribuan kepada petugas parkir, yang terkungkung dalam suatu boks berukuran sempit.
“Apa?”
“Pengampunan.”
“Pengampunan?”
“Iya, elo tau enggak sih cerita tentang dua orang yang memiliki hutang. Ceritanya sekitar tahun 40. Katakanlah A dan B. A punya hutang begitu besar pada seorang raja, mungkin dalam nominal Rupiah sekarang, sekitar 60 juta. Ketika tiba waktunya A melunasi hutangnya, ia minta diberi perpanjangan waktu kepada sang raja. Tanpa diduga, sang raja ternyata mengabulkan, bahkan menghapus hutangnya, dan memaafkan A.”

Rhino mengerutkan kening sebentar, berusaha mencerna sekaligus memvisualisasikan kata-kata yang disampaikan Girindra.
“Sampai sini ngerti ya cerita gw?”
Rhino mengangguk.
Sekaligus dibuat heran. Girindra tidak pernah sebegitu detail menceritakan sesuatu seperti ini.
Berbagi cerita bukanlah sebuah kualitas yang dimilikinya.
Kebanyakan cerita yang ia tahu, disimpannya sendiri.

“Nah, kemudian si B ternyata punya hutang sama A, yang kalo dalam Rupiah sekarang, cuma sebesar 100 Rupiah. Tapi pas waktunya bayar hutang, si B belum mampu bayar dan minta diberi perpanjangan waktu. Tapi A enggak terima, dan marah-marah ke B, bahkan mukulin dia.”
“Terus?”
“Supaya bisa ngerti poinnya, elo jangan liat dari kacamata hari ini. Elo harus tau dulu, 100 Rupiah jaman sekarang mungkin gampang banget didapetin. Ngemis di jalan juga dapet. Tapi jaman dulu, 100 Rupiah itu kayak kerja tiga bulan, jadi buat A berharga banget. Walaupun hutangnya B ke A, emang enggak sebanding banget, sama hutang A ke raja. Tapi buat A, hutang B itu tetap besar buat dia, karena hutang B adalah sesuatu yang harus diperoleh setelah tiga bulan bekerja. Kebayang, kan?”
Rhino kembali mengangguk.
“Nah, analoginya gini. Hutang itu diumpamakan sebuah kesalahan. A itu kita, B itu orang lain, raja itu Tuhan. Kita semua tahu, Tuhan itu Maha Pengampun. Seberapa pun besarnya dosa kita, jika kita minta diampuni, maka Dia akan mengampuni, asal kita sungguh-sungguh dan berjanji tidak melakukannya lagi. Tapi coba kalau ada orang yang bikin salah sama kita, bikin kita sakit hati banget, biar cuma sekali, mau enggak kita segitu gampangnya ngampunin orang itu? Enggak, kan? Susah pasti. Padahal kalau dibandingin sama pengampunan yang udah Tuhan kasih, dan bahkan selalu kasih ke kita, pengampunan kita ke orang itu tuh enggak ada apa-apanya.”
“Waw… bener juga.”
“Iya, kan? Gw juga pas denger itu kayak langsung ketampar gitu. Iya ya, apa gunanya dendam sama orang, apa susahnya ngampunin orang yang bikin kesalahan kecil ke kita, dibanding sama kesalahan yang kita bikin ke Tuhan, dan pengampunan yang dia kasih ke kita?”

Bukankah mendendam layaknya meminum racun dan mengharapkan orang lain yang mati? Bodoh dan konyol namanya. Yang akan mati justru kita, karena kita yang minum racunnya. Begitu juga perihal menyimpan dendam, energi kita yang habis digerogoti rasa benci, bukan energi orang yang berbuat salah kepada kita.

“Elo tau enggak, Rhin. I used to live a perfect life, perfect family, you know all that stuff.”
“I know, I can see it.”
Enggak butuh orang pinter kok untuk tahu seberapa nyamannya kehidupan yang elo punya Gir, pikir Rhino.
Selama ini apa yang bikin gw iri sama lo? Ya itu, hidup lo.
Tapi bukankah rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau?

“Then, there was this one person yang ruined everything. Yang bikin gw benci banget sama dia. Kayak bikin gw sadar, bahwa life is real, that life is indeed normal, not always perfect. Dan sampe tadi sebelum gw denger cerita itu, I can’t forgive this person, and I promised myself I won’t. Tapi setelah gw tau cerita itu, gw akhirnya decided to give this person forgiveness.”
“So is it a he or she?” tanya Rhino penasaran.
“Adalah.”
“Is this person your friend? Or someone from your family?”
“Rhino, you don’t need to know. Because I’m not gonna tell anyway.”

Tidak adil.
Selalu begitu.
Kenapa sih enggak bisa lo percayain beberapa momen esensial dalam hidup lo ke gw.
Gw memang punya telinga untuk mendengar, tapi gw juga punya rasa penasaran untuk dipuaskan.
Tapi percuma, Rhino bukan baru kemarin kenal Girindra, sekali ia membuat keputusan, maka tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya.

“Nah, dari sini elo juga bisa belajar sesuatu, Rhin. Kalo ngomong tuh dijaga. Elo enggak akan pernah tau kapan kata-kata elo, yang menurut lo cuma joke, bisa nyakitin perasaan orang lain.”
Wah, sebuah nasihat, kalau bisa diingat, selama dua tahun berteman dengan Girindra, sepertinya ini adalah nasihat pertama yang pernah Girindra berikan.
“Kayak temen-temen gw kadang suka bikin joke tentang gw, menurut mereka it’s just a joke, tapi mereka enggak tau that it hurts me.”
Iya ya, biar bagaimana semua orang punya perasaan dan mental yang berbeda-beda. Sebuah perkataan bisa menjadi lucu untuk satu orang, dan bisa menjadi pedang yang menusuk bagi orang lain.
Gw pernah ngomong sesuatu yang nyakitin elo enggak ya, Gir. Rhino penasaran sendiri.
“Tenang aja, so far omongan elo enggak pernah ada yang nyakitin gw kok,” Girindra menepuk pundak sahabatnya.
Rhino tersenyum lega, walau sedikit heran, karena seperti bisa mendengar pikirannya, yang tadi ia tanyakan kepada nuraninya namun tidak dilontarkan keluar dari mulut, Girindra bisa menjawabnya. Mungkin kebetulan.
“Iya, soalnya elo yang banyak ngelukain perasaan gw dengan celaan lo.”
“Enggak! Mana pernah gw nyela elo.”
Rhino terbahak.

“Gir, elo share ini jangan ke gw aja dong. Nanti share juga ya ke yang lain, Nadia, Karina, Mocil, siapalah. Supaya makin banyak orang yang denger, dan makin banyak yang terinspirasi.” ujar Rhino kemudian.
“Gw percaya sama domino effect, kalau gw tau sesuatu yang bisa merubah cara pikir seseorang, gw akan sebarkan ke sebanyak mungkin orang, in order to make this world a better place. Might sound cliché, but there’s nothing wrong in keeping faith and having hope for a greater future, right?” lanjutnya lagi.
“I know, but I just can’t. Kalo gw share ini ke elo, karena ya gw maunya share ke elo. Gw tuh lebih introvert dari elo Rhin, gw lebih diem dari elo. Dan gw tipe orang yang cuma bisa ngomong heart to heart, bukan heart to hearts.”
“Ok,” Rhino bergumam pelan.
Sekali lagi, jika Girindra bilang tidak, maka tidak.

Tidak ada satu garis merah yang bisa ditarik untuk bisa menggambarkan sosok Girindra.
Kadang ia begitu kukuh mempertahankan sesuatu.
Kadang ia terlihat gampang berkompromi.

“Ada satu lagi yang bikin gw mikir banyak belakangan ini.”
“What?”
“Religion. Dari mana kita tahu bahwa agama kita itu yang paling benar? Apa jaminannya? Enggak ada yang bisa ngasih tau. Milih agama, sama kayak milih pasangan hidup, it’s a one way ticket. Sekali masuk, there’s no turning back. “

Karena apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak bisa diceraikan oleh manusia.

“Well, menurut gw sih, perihal milih agama itu kayak milih transportasi. Semisal, Tuhan dianalogikan sebagai kota Bandung, kita adalah warga Jakarta yang mau pergi ke Bandung. Ada banyak cara yang bisa dipilih, naik kereta, walau agak lama, tapi elo bisa duduk lama sendirian ngeliatin pemandangan yang enggak setiap hari lo liat di Jakarta. Naik pesawat, yang mahal tapi cepet banget cuma 20 menit. Naik mobil, ada dua juga pilihannya, lewat Tol Cipularang, atau lewat Puncak yang berkelok-kelok. Ada juga lho yang suka naik motor, walau capek, tapi seru katanya. Nah, agama ya kayak berbagai media transportasi yang bawa kita kepada Tuhan. Semua orang yang beragama percaya akan satu kehadiran sebuah sosok yang besar yang mengontrol kehidupan mereka yang disebut Tuhan, hanya caranya saja yang berbeda-beda dalam membawa tiap pemeluknya untuk mengenal sosok besar tersebut.” Rhino menjelaskan panjang.
“Tapi udahlah gw enggak mau mikirin terlalu serius. It’s complicated. Gw udah pilih agama gw ini, ya gw akan lakukan yang terbaik.” Girindra membalas.

Bagus, seperti dikatakan, maka melangkahlah dengan iman bukan dengan penglihatan.
Dan janganlah engkau memikirkan sesuatu yang melebihi akal pikiranmu.

“Tapi gimana soal dosa?” Girindra kembali bersuara.

Rhino menoleh heran, dikiranya sudah selesai diskusi tersebut.

“Kenapa dosa?”
“Elo pernah enggak sih, elo tau itu dosa, tapi elo tetep ngelakuinnya dengan sadar?”
“Contohnya?”
“Hal simple, kayak gw titip absent di kampus. Itu kan sama aja bohong, tapi tetep gw lakuin, bahkan sekarang gw mau nitipin absent temen gw. Sama aja bantuin temen gw bohong.”
“Tergantung, biarpun elo udah tau itu salah, tapi elo bisa aja lupa, jadi elo bikin lagi.”
“Buat gw enggak ada yang namanya berdosa karena enggak sengaja. Karena setiap kali orang mau bikin dosa, pasti nuraninya akan mengetuk dan ngingetin dia untuk enggak bikin dosa.”
“Siapa bilang? Contohnya gw, kelemahan gw adalah ngomongin orang. Gw suka banget ngomongin kejelekkan orang, kadang gw keceplosan aja, pas udah selesai baru sadar, gila mulut gw jahat banget, ya. Itu namanya enggak sengaja. Karena ada juga waktu-waktu di mana, gw mau ngomongin orang, terus ya itu gw kayak diingetin sama hati gw, jangan suka ngomongin orang, nah ya udah gw enggak jadi ngomong. Kalo gw udah diingetin kayak gitu, tapi gw masih ngelakuin, itu namanya gw kompromi. Mungkin apa yang elo lakukan adalah berkompromi.”
“Mungkin. Emang sih kadang gw tetep bikin, karena gw tau gw bakal diampunin, walau udah berbuat salah berkali-kali.”
Hening.
“Elo heran ya gw banyak ngomong hari ini? Hehe…” Girindra nyengir.
“Lumayan,” kata Rhino singkat.

Tapi enggak apa, gw selalu punya dua telinga untuk mendengarkan apa pun yang mau elo ceritain, penting enggak penting, urusan belakangan, yang penting gw bisa tunjukkin, bahwa gw perduli sama apa yang elo omongin, Rhino berkata dalam hati.

“Eh Rhin, gw juga heran, ya.”
Ok, another topic.
“Heran apa?”
“Gw bisa nulis kata-kata manis di love letters, melalui SMS ke Tasya. Tapi kalo disuruh nulis soal pemikiran-pemikiran bout daily life kayak tadi, kok susah banget, ya? Kalo elo kan bisa tuh nulis, nuangin apa yang elo pikir, bahkan apa yang orang lain pikir dalam bentuk bacaan yang menarik.”
“Well, it’s a gift. Talenta orang beda-beda, dan enggak bisa dipaksain. Tapi bisa dilatih. Elo bisa nulis, walau cuma rayuan gombal mungkin, tapi sebenernya kalo elo mau belajar, nulis hal-hal yang serius pasti bisa kok. Well, until then, kalo elo ada cerita apa-apa yang menarik, cerita aja ke gw, nanti gw yang tulisin, gw perantaranya.”

Minggu, 19 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.18)

”Jadi kemaren elo dua hari Soulnation sama Marsya?” Girindra bertanya sambil mengaitkan sabuk pengaman.
Mereka janjian ketemu Wina di Burger King Skyline Building untuk makan siang.
Antrian mobil dari lantai lima menuju gerbang keluar di ground floor bergerak cukup lambat.
Tadinya, Girindra mengajak mereka nonton, karena dia sebenarnya sedang puasa.
Tapi karena Wina harus siaran, jadi terpaksa dia yang mengalah.
”Iya.” Rhino menjawab singkat.
”Kalo pergi nonton konser gitu, bisa di-consider sebagai dating, enggak sih?”
”Umm.. not really, ya.”
”So you guys, pergi bareng, just as friends?”
”Yup, well more like partner sih actually.”
”Partner? Partner in what? Partner in Christ? Yeah right!” Girindra tergelak.
”Rese lo. Partner kerjalah, kita kan kemaren liputan, gw jurnalis, dia fotografer.”
”Lho? Emang Marsya kerja di majalah lo?”
”Iya, jadi kontributor merangkap fotografer, kebetulan dia bisa foto.”
”Hah? Waahhh.. curang lo ya, giliran Marsya aja diajak-ajak pergi konser! Gw temen elo sendiri, enggak pernah ditawarin! Kan gw juga bisa jadi fotografer doang mah, apa kurangnya kamera gw!”
”Well, kamera dia sih lebih bagus, kayaknya. Dia juga lensanya bagus. Bukannya gimana ya, Gir. Tapi gw enggak pernah ngeliat hasil foto lo kayak pas konser gitu. Elo kan lebih sering foto scenery.”
”Ya si Marsya, elo tau dari mana coba fotonya bagus apa enggak? Kok elo bisa kasih kesempatan gitu.”
”Yee.. dia kan sebelumnya udah pernah foto buat konsernya Daughtry, jadi gw udah liat. Dan emang jepretan dia bagus.”
”Ah udahlah.. gw males lah sama elo. Jadi pertemanan kita segini doang. Gila gw temen lo berapa tahun, enggak pernah dikasih gratisan nonton konser. Marsya baru kenal berapa hari udah diajak-ajak.”
”Heh, enak aja, gw kenal Marsya kan udah lama. Udah setahunan. Lagian elo kan biasanya nonton konser gitu bayar.”
”Ya kalo bisa gratis kenapa harus bayar. Si Marsya juga pasti kalo disuruh bayar mampu dia.”

Aduh, ini anak maunya apa, sih?
Repot amat malah jadi bahas beginian.

”Lagian ya Gir, gw bukannya enggak pernah ya nawarin elo jadi kontributor fotografer majalah gw. Waktu Incubus kan gw tawarin, mau enggak lo motret, elo bilang liat entar.”
”Enggak, elo enggak nawarin gw. Elo cuma pengen minjem kamera gw.”
”Iya gw akhirnya minjem, karena elonya enggak mau jadi fotografer. Kameranya juga enggak dipinjemin kan akhirnya.”
”Lagian gw pas Incubus kan pengen di depan, kalo motret enggak tau nanti berdirinya di mana.”
”Tuh kan, emang elo enggak niat, ya udah jangan bilang gw enggak pernah nawarin.”
”Ya udah, entar deh ya pas Coldplay, gw enggak mau tau, elo musti ngajak gw.”
”Liat nanti ya. Kalo Marsya suka, gw pake Marsya, foto dia lebih bagus, gw sih skala prioritas aja.”
”Ya elah.. ah udahlah, cukup tau aja gw mah.”
”Heh gebleg, sekarang gini aja, kalo elo mesti milih antara gw sama Tasya, sama-sama lagi butuh elo banget, elo pilih siapa? Pilih Tasya kan pasti, ya ngapain juga gw musti milih elo ketimbang Marsya?”
”Ya bedalah, Tasya kan cewek gw.”
”Ya gw juga mendingan milih cewek, daripada milih elo, gebleg. Biar sama Marsya cuma temenan, ya tetep aja lebih gentle ngedahuluin cewek, kan?”

Semakin tidak penting arah pembicaraan ini.
Dua-duanya seperti anak kecil yang sama-sama enggan mengalah.
Karena seperti cara pikir orang yang belum matang, mengalah itu berarti kalah.
Sementara mengalah, belum tentu kalah.
Sebenarnya Rhino bukan tipe yang suka berdebat.
Tapi kalau berargumen dengan Girindra, entah kenapa, Rhino seperti tertantang, harus bisa menang melawan pendapat dia. Sepenting apapun, setidak penting apapun.

”Jadi gimana kemarin pergi sama Marsya” tanya Wina ketika mereka bertiga sudah duduk di salah satu meja Burger King, dengan pesanan masing-masing di depan mata, kecuali Girindra yang sedang puasa.
Wina dan Girindra, sejak pertama kali melihat Marsya, selalu bersikeras, bahwa Rhino dan Marsya bisa jadi pasangan yang cocok dan ideal.
Padahal Rhino sendiri merasa biasa saja, Marsya hanya teman.
Teman ngobrol yang asik, teman yang punya selera hampir sama mungkin.
”Menyenangkan, kok. R&B-an bareng, inget masa SMA.”
”Jadian aja sih elo berdua,” ujar Girindra.
”Umm.. I don’t feel anythin. Lagian kan elo tau gw emang pengen belom pacaran.”
”Tapi kalo ketertarikan ke Marsya ada, Rhin?”
”Well, dia emang menarik, cantik, dunianya sama kayak gw, dunia media, entertainment, jurnalistik. Di gereja ministry-nya sama. Lumayan memenuhi kriteria. But again, I don’t feel anythin. Gw tertarik untuk temenan sama dia dan get to know her more, but that’s all. Ya enggak ada yang tau juga masa depan gimana, but untuk sekarang sih, seriously i like to be friends with her.”

”Tapi chemistry itu emang penting banget, sih. Kalo emang enggak ada chemistry-nya jangan dipaksain.” kata Girindra.
”Dulu gw berpikiran begitu. Tapi semakin gw tua, semakin gw sadar, chemistry enggak harus selalu ada.” bantah Wina.
Rhino memutar bola matanya.
Dia sudah tahu ini arahnya ke mana.
Wina dan Girindra suka sekali berdebat panjang.
Buntutnya, Rhino pasti yang harus jadi penengah.
Penentu keputusan, pendapat siapa yang lebih masuk akal, Wina atau Girindra.
Kebanyakan Wina, karena sampai kuda beranak kucing juga Girindra tidak akan menang debat melawan Wina.
”Enggak, ah. Menurut gw chemistry penting banget. Elo bakalan sampe tua sama pasangan hidup lo, tapi kalo enggak ada chemistry-nya gimana?”
”Bokap nyokap gw enggak ada chemistry waktu nikah dulu,” Wina menggigit ujung salah satu potongan kentangnya. ”Tapi liat keluarga sekarang, they really love each other.”
”Chemistry itu penting,” lanjut Wina. ”Tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting adalah logika, pikiran. Elo pikir orang kalo udah nikah bertahun-tahun chemistry-nya masih ada? Ada mungkin, tapi enggak sebanyak waktu mereka pertama ketemu. Yang bikin mereka stay together cuma komitmen, ikatan janji pernikahan yang udah dibuat di hadapan Tuhan. Coba kalo elo sama Tasya, udah mau lima bulan, kan? Chemistry-nya kurang apa nambah dibanding waktu pertama jadian dulu?” tanya Wina.
”Nambah,” jawab Girindra cepat.
”Bagus berarti. Tapi liat ya, seiring berjalannya waktu. Kita liat seberapa kuat kalian mempertahankan chemistry kalian. Kalo bisa enggak ilang-ilang bagus, but fat chance.”
”We’ll see then.”
”Girindra, waktu gw seumuran lo, gw juga begitu idealis. Gw yakin pendapat gw bener, tapi ketika gw tambah tua, otak gw mulai jalan. Percaya deh, one day you’ll understand me.” Wina menutup sesi debat mereka sambil tersenyum bijaksana.

”Rhin, elo tau enggak, sih. Rasa sayang gw ke musik berkurang, lho.”
Girindra tiba-tiba mengaku, dalam perjalanan pulang mereka dari Burger King.
”Hah kok bisa?”
Rhino heran, Girindra dan musik bagaikan sebuah kesatuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan dengan cara apapun. Girindra punya bakat yang luar biasa dalam bermusik.
Impiannya saja menjadi rock star, walau kenyataan membarikade impiannya dan mengkotakkannya ke dalam dunia hukum, di mana dia harus menjadi lawyer berpakaian rapi, dan lembur di law firm.
”Kayaknya gara-gara pacaran, deh. Karena keasikan spend time sama Tasya, i just simply lost my passion on music.”
”Wah Gir, elo tuh bener-bener enggak bisa bagi fokus, ya.”
”Ya gw kan emang single-tasking person. Enggak bisa multi-tasking.”
”Well, gw juga enggak bisa multi-tasking. Tapi enggak segitunya juga. Ketika kerja ya fokus di kerja, ketika kuliah ya fokus kuliah. Kalo elo, pas lagi kuliah, misalnya ujian, sibuk diem di rumah, enggak bisa fokus ke yang lain. Kalo gw, ujian, belajar ya belajar, tapi bukan berarti kehidupan di luar rumah gw berhenti. Terus kalo udah asik pacaran gini, kuliah lo gimana?”
”Ya, akhir akhir ini sih IP gw bagus terus.”
Rhino mendengus, ”So now you’re taking it for granted?”
”Enggak sih, gw tetep jaga nilai. Cuma ya, emang rada menurun sih. Gw males nih bikin skripsi.”
Rhino diam, tidak tahu harus melanjuti kalimat Girindra dengan apa.

”Eh Gir, akhir-akhir ini kenapa banyak banget orang meninggal, ya?” Rhino membuka topik baru.
”Iya, gw juga, kalo enggak dari keluarga gw, dari keluarga Tasya. Aneh.”
”Gw juga, udah berturut-turut, nih. Tiap minggu ada aja, gw tau tiap hari juga di dunia pasti ada orang meninggal, tapi enggak pernah yang sebanyak ini secara berturut-turut terjadi dalam circle orang-orang yang gw kenal.”
”Gw juga!”
”Serem ya, tau-tau minggu depan elo, gimana?”
”Well Rhin, when it’s the time, ya it’s the time. Mau diapain?”
”Iya, sih.”
Rhino bergidik ngeri, membayangkan kalau benar-benar harus melihat Girindra, atau orang-orang terdekatnya yang lain, terbujur kaku dalam peti mati.

”By the way, elo tau enggak. Udah tiga bulan ini, gw sering banget melihat angka sebelas.”
”Hah?”
”Iya angka sebelas. Macem-macem, di jam, di sisa karakter waktu ngetik SMS, di angka kilometer, terus kayak sekarang, tuh CD lagi muter track 11.”
”I don’t believe in such things sih, Gir.”
”Gw juga, but if it happens to you like three months in a row, pasti elo bakal heran dan mulai bertanya-tanya juga.”
”Iya, sih. Elo tau enggak sih, kalo apa yang gw denger dari seorang Dewi Lestari, angka sebelas itu dalam numerologi, melambangkan sesuatu yang sakral dan spiritual. Angka sebelas melambangkan sebuah gerbang yang terbuka dan menyatukan dunia spiritual dengan dunia fisik. Makanya album sama novel terbarunya berisi 11 lagu, dan 11 cerita.”
”Iya gw tau arti angka sebelas. Gw research di internet, emang berhubungan sama spiritual, dan biasanya terjadinya ke arah yang positif. Jadi orang-orang yang tiba-tiba melihat angka sebelas banyak banget, bakal ngalamin suatu perubahan spiritual secara drastis ke arah yang positif.”
”Waw.. wah, bulan depan kali, Gir! Kan bulan November, bulan sebelas, tanggal sebelas.”
”Mungkin. Gw udah enggak kepikiran, sih. Awalnya sih ngeganggu gw banget. Tapi ya enggak tau deh aneh. By the way, gw mau mampir Sportsmal dulu nih beli DVD. Elo mau ikut enggak?”
”Ikut, gw juga mau belanja DVD.”
”Gw mustinya sampe rumah bikin skripsi tapi males. Gw mau di kamar aja nonton DVD, abis di rumah lagi banyak banget orang. Sodara-sodara bokap gw lagi pada dateng, kayak ada perkumpulan Siahaan se-Jakarta gitu. Males.”
”Wah gila! Se-Jakarta?!!”
”Ya enggak literally, tapi kira-kira segitu.”

Fiksi atas Fakta (pt.17)

Hari kedua Soulnation Festival agak lebih lengang dari hari sebelumnya.
Kali ini Rhino dan Marsya ditemani Nadia, yang datang bersama teman barunya, Okky.
Okky ternyata pemilik sebuah perusahaan label yang pernah bekerja sama dengan majalah Rhino.
Tapi ternyata tidak semua kerja sama itu berhasil, ada satu yang lolos dari pengamatan Rhino.
Ulah si marketing.
Rupanya, ada satu artis dari label Okky, yang dijanjikan akan mendapat space untuk mengangkat profile-nya sebagai pendatang baru, serta space untuk ulasan albumnya.
Asalkan, majalah Rhino bisa memasang logo di setiap cetakan cover album artis tersebut, dan di setiap iklan albumnya.
Harusnya, si marketing, meminta approval dari Rhino.
Jika ya, maka ya, jika tidak, maka tidak.
Ternyata si marketing membuat keputusan sepihak. Diiyakannya kerja sama tersebut tanpa meminta pendapat Rhino terlebih dulu, kemudian ditinggalnya kabur si Okky.
Alhasil, logo majalah Rhino sudah ada di mana-mana mendukung promosi si artis, tapi si artis sendiri belum pernah dimuat dalam salah satu edisi bulanan majalah Rhino.
Rhino langsung panas mendengarnya.
Untung Okky lumayan baik, dan menjadikan semuanya layaknya cerita guyon.
Sehingga Rhino tidak terlalu memperbesar rasa tidak enaknya kepada Okky.
Paling tidak, terima kasih pada Okky, Rhino punya alasan untuk memarahi si marketing tersebut.

Melalui Okky, Rhino dan Nadia dikenalkan kepada salah seorang artis Indonesia, yang lumayan terkenal membawakan lagu-lagu bernafaskan religi.
Sudah beristri, beranak pula.
Tapi malam itu, ternyata dia datang dengan selingkuhannya, dan mengajak Okky duduk bersama, sehingga sudah pasti Okky mengajak Rhino dan Nadia ikut duduk dengan mereka.
Sengaja dibuat ramai, padahal baru kenal, agar jika tertangkap basah kamera wartawan haus pemburu gosip dari berbagai infotainment, dia bisa beralasan, bahwa dia datang tidak hanya sendiri, atau tidak hanya berdua dengan selingkuhannya, tapi ramai-ramai dengan teman-temannya.
Teman yang baru dikenalnya beberapa menit lalu.
Marsya tidak harus ikut kena sial seperti ini, karena sebagai fotografer, dia mendapat tempat khusus untuk memotret dari bibir panggung.
Setelah tiga lagu, Marsya pamit pulang, ingin lanjut ke Public, menghadiri ulang tahun seorang teman.
Tinggallah Rhino dan Nadia yang menjadi saksi (belagak) bisu, ulah menjijikkan artis tersebut.
Di luar menyandang gelar sosok yang alim, seorang suami dan ayah yang sempurna.
Ternyata manusia tetaplah manusia.
Berdosa, bernafsu, berkeinginan.

Sama seperti kemarin, penutupan Soulnation Festival hari ini, sekaligus tahun ini, juga diakhiri pukul setengah satu dini hari.
Rhino, Nadia dan Okky melanjutkan malam di pinggiran Menteng, ditemani nasi goreng gila, sate padang, roti bakar, serta pengamen sebagai sajian penutup.
Dari situ Rhino diantar pulang ke rumah oleh Nadia.
Di tengah perjalanan, Nadia melakukan hal bodoh.
Keceplosan.
Seperti pipa air yang mendadak bocor, menyemburkan literan air ke mana-mana.
”Gw sebel sama Vadim! Punya pacar tapi berasa kayak enggak punya pacar.”
Rhino mencerna ulang kalimat itu dengan cepat.
Sudah larut, tapi otaknya masih mampu bekerja, apalagi setelah baru saja diasupi makanan.
Dia yang punya pacar, kenapa elo yang sebel? Rhino bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Atau jangan-jangan elo emang pacarnya? Rhino semakin heran.
Toh, baru-baru ini Nadia memang sudah mengganti statusnya di Facebook, ”no longer listed as single”, membuat cukup banyak orang bertanya keheranan.
Namanya juga Nadia, dia bisa sepintar apapun menyembunyikan sesuatu.
Padahal, sebenarnya, Nadia bukanlah tipe orang yang jago menutupi sesuatu.
Berbohong adalah kelemahannya.

”Elo keceplosan ya, Nad?” Rhino tersenyum jahil.
”Hah?”
”Itu barusan elo ngomong, sebel sama Vadim soalnya dia kayak berasa enggak punya pacar. Kalo bukan elo pacarnya kenapa harus elo yang sewot, kan kesannya elo pacarnya, dan elo merasa enggak dianggep sebagai pacar.”
”Aaahhhhhh!! Sialaann!!” Nadia merutuki dirinya sendiri.
”Bego bego bego!” Nadia menepuki keningnya.
”Kok gw bisa keceplosan, sih?” Nadia nyengir.
”Jangan bilang siapa-siapa ya, cumi.” Nadia memelas.
Rhino terbahak.

”Bisa-bisanya ya elo jadian gitu aja. Maen-maen doang ya lo? Rebound ya lo buat ngelupain Dasa?”
”Hehe.. enggak tau deh ini apaan. Mungkin iya kali rebound doang. Gw juga enggak berharap ini serius kok. Gw juga enggak tau kenapa gw iyain. Ya udahlah, ya...”

Rhino menggelengkan kepalanya heran.
Kenapa orang bisa begitu gampangnya memandang sebuah komitmen?
Beberapa minggu lalu Stanisha, saudaranya, jadian dengan alasan yang sama, main-main aja.
Tidak melibatkan hati.
Hasilnya, putus setelah tiga hari.

”Thanks ya, Nad. Ati-ati ya pulangnya,” ujar Rhino ketika melompat turun dari mobil.
”Heh awas lo jangan bilang siapa-siapa!” Nadia berteriak dari dalam mobil.
”Nothin comes for free these days, lady.” ujar Rhino sambil menutup pintu mobil, kemudian mengerling.
”Sialan!” suara Nadia tenggelam hilang, berbarengan dengan pintu yang tertutup.

Letih rasanya tubuh ini.
Ingin segera membenamkan diri di kasur, setelah ganti baju dan membersihkan badan.
Besok, harusnya Rhino gereja, tapi dia seperti ingin di rumah saja.
Having a me time, nonton DVD, melanjutkan mengetik novel.
Entah apa lagi.

Tapi keesokannya, diurungkan niatnya untuk berdiam saja di rumah.
Sebuah SMS masuk membuat ia terbangun dari nyenyaknya tidur.
Dari Girindra. Mengajak Rhino datang gereja, kebaktian jam setengah satu.
Rhino membalas. Belum tahu.
Kemudian kembali tidur.

Beberapa jam kemudian, ia kembali dibangunkan, lagi-lagi dengan sebuah SMS.
Dari Girindra juga. Kembali mengajak Rhino ke gereja.
Huff.
Ya sudah, akhirnya ia bangun, bersiap-siap.
Pasti Tasya tidak bisa menemani Girindra gereja hari ini, sampai sahabatnya itu, pagi-pagi sudah dua kali SMS mengajak Rhino gereja dengannya.

Di gereja, sebelum kebaktian dimulai, mereka bertemu Wina.
”Hei kamu, kemarin jadi ke Soulnation enggak sih sama Wira?” tanya Rhino.
”Jadi dong, tapi kemarin aku enggak lama-lama cuma nonton Pandji aja terus balik.”
”Oh.. kamu kok enggak SMS aku, sih? Eh, lagian percuma ding, aku kan dateng sama Marsya udah malem gitu. Enggak bakal ketemu juga.”
”Tuh kan...”
”Guys, what’s with the aku-kamu thing, ya?” Girindra bertanya sambil mengerutkan alisnya.
Wina dan Rhino pura-pura tidak dengar dan terus berjalan.
Apa spesialnya sih aku-kamu, tidak ada bedanya dengan gw-elo.
Buat Rhino, itu hanya perkara bahasa, memakai suatu yang lebih formal, belum tentu merubah maknanya.

Di dalam gereja, Rhino duduk berdua Girindra, sementara Wina duduk memisah, agak sendiri di depan.
Khotbah hari ini bagus. Tapi Rhino seperti tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan saking berjuang keras menahan kantuk, menahan kedua kelopak matanya agar tidak tiba-tiba menutup, lantas menghilangkan dia ke dunia mimpi.
Diliriknya sahabatnya, di sebelah kirinya.
Girindra bersedekap, dengan kepala tertunduk.
Apakah dia mendengarkan, apakah dia merenung, apakah dia tidur?
Dia tidur.
Rhino langsung menyikut Girindra.
Kepalanya langsung terangkat, ”Apaan sih lo Rhin? Gangguin orang berdoa aja.”
”Eh gila, jangan belagak gila ya. Orang lagi khotbah masa elo berdoa sendirian. Tidur kan lo?”
Girindra nyengir.
Rhino mendecak heran.

Selesai kebaktian, mereka kembali bergabung dengan Wina.
”Eh kalian pada ke mana? Makan siang bareng lagi, yuk.”
Rhino dan Girindra mengangguk.
”By the way, tau enggak sih Win, si Girindra tadi tidur pas khotbah! Mending sekali, dua kali jo!”
”Gw ngantuk banget soalnya. Hehehe...”
”Ya ampun Girindra, elo tuh, ya. Ck ck ck... bertobat deh bertobat.”
”Tau lo Gir, gw udah nyerah deh ah. Gw udah enggak tau lagi musti ngapain elo biar berubah.” tambah Rhino bercanda.

Fiksi atas Fakta (pt.16)

”Rhin! Rhino!!”
Rhino melepas ear plug-nya, kemudian menoleh.
Marsya tersenyum dari balik kemudi, di dalam Kijang hijau, dengan kaca yang diturunkan.
”Lo mau ke mana?” tanya Marsya setengah berteriak, sambil menunggu mobil di depannya bergerak.
”Mau ke toilet bentar, elo parkir dulu aja.”
Marsya mengangguk.
Rhino memasang kembali ear plug-nya, kemudian melangkah melewati security check dan masuk ke dalam hembusan pendingin ruangan Plaza Senayan, yang cukup menyegarkan, dibanding dengan kegersangan matahari yang dipantulkan oleh aspal jalanan di luar.
Matahari masih tidak bersahabat.

Hari ini, Rhino dan Marsya punya tugas meliput acara Soulnation Festival, yang setelah tiga kali batal, akhirnya tahun ini bisa diselenggarakan.
Acara ini serupa dengan JavaJazz Festival, yang tentu saja menghadirkan ragam musisi jazz, atau Jakarta Jam!, yang menghadirkan ragam musisi rock.
Soulnation Festival memboyong para musisi Soul, Hip-Hop, dan R&B, baik dari dalam maupun luar negeri.
Acaranya digelar dua hari, dengan Akon dan Ashanti sebagai klimaks acara di masing-masing hari.
Marsya adalah teman gerejanya, yang juga sama-sama anak komunikasi, dan memiliki bakat dalam bidang jurnalistik plus fotografi. Maka direkrutlah Marsya sebagai kontributor majalahnya.
Kebetulan Marsya juga penggila party dan penikmat musik R&B.
Rhino sebetulnya jarang pergi liputan seperti ini, biasanya dia asik mengirimkan salah satu jurnalis atau kontributornya.
Dia tinggal menanti laporan mereka masuk lewat e-mail, di-edit, kemudian diserahkan ke bagian desain.
Hanya acara-acara tertentu, Rhino pergi meliput, tidak ada salahnya sesekali menggunakan hak prerogatifnya sebagai seorang pemimpin redaksi.
Liputan terakhirnya adalah ketika Incubus datang ke Jakarta, dan seperti mimpi, Rhino bisa bertemu favoritnya, Brandon Boyd, sang vokalis.
Hal ini, membuat Girindra, yang juga cinta mati dengan Incubus, iri berkepanjangan.

Rhino, mempercepat langkahnya, takut Marsya sudah mendapat parkir, Rhino tidak ingin membuat Marsya menunggu, menuju basement Plaza Senayan, mencari Guardian, untuk membeli plester untuk tumitnya yang lecet.
Untung tadi dia dengar suara Marsya yang memanggilnya.
Jika kedua ear plug-nya sudah menempel di telinga, maka Rhino seperti memiliki dunianya sendiri.
Suara-suara riuh di luar seperti hilang tergantikan susunan lagu di iPod-nya.
Matanya lurus ke depan, seperti dipasangi kacamata kuda, tidak melihat kiri atau kanan.
Maka ia kerap dipanggil si bocah autis.
Karena ketika ia sedang sendiri, ia seperti tidak sadar diri.
Seperti sosok Isaac Mendez, di serial saga Heroes, yang matanya berubah putih ketika sedang sibuk melukis masa depan di atas kanvas.
Pandangan Rhino pun mendadak putih jika ear plug sudah menempel di telinganya.
Reyot-reyot rangka angkutan umum bisa tergantikan makhluk-makhluk imajinari dari dunia bawah sadarnya.

Nama Marsya berkelap-kelip di layar selularnya.
”Halo?”
”Rhin, elo di mana?”
”Di Guardian lagi nyari plester bentar.”
”Oh, jalan ke Senayan-nya bareng, dong.”
”Oke, elo di mana?”
”Di deket atm BCA.”
”Ya udah gw ke situ ya, gw lagi bayar, nih.”

Dalam hitungan menit, setelah menukar sejumlah uang dengan enam potong plester, mengambil salah satu kemudian segera merekatkannya di tumit yang mulai memerah, Rhino sudah berjalan bersisian dengan Marsya, menuju Istora Senayan.
Rhino mengalungkan identitas pers-nya di leher, sambil menyerahkan identitas pers milik Marsya, yang juga langsung mengalungkannya di leher dengan bangga.
”Gw norak, nih. Gw suka pake ID pers gini, berasa penting. This is my second time, Chris Daughtry was my first time.” Marsya tersenyum.
Maka mengalunlah pembicaraan seputar apa saja, menemani mereka menuju keriuhan yang ditawarkan para calo penjual tiket, menuju dentuman musik yang menggaung dari arena dalam Istora Senayan, menuju panji-panji besar promosi acara.
Mereka pun tiba pukul empat sore, ketika matahari mulai sedikit meredup.
Masih bercahaya, namun tidak ganas.

Esoknya, Rhino dan Marsya, sepakat untuk datang agak terlambat.
Jam tujuh malam, karena mereka harus menghadiri sebuah acara terlebih dulu di, Upperroom.
Setelah semalam asik mengenang kebebasan masa SMA melalui beat-beat R&B yang dilemparkan Akon, dan ditelan mentah-mentah dengan lepas oleh Rhino dan Marsya, hari ini badan terasa sedikit pegal.
Mata pun agak menggelayut, karena semalam acara baru selesai jam setengah satu dini hari.

Kebetulan di Upperroom, mereka bertemu Izabel, yang dengan baik hati mau mengantar mereka kembali ke Istora Senayan.
”Nadia jadian sama siapa sih, Rhin? Gw liat tuh di Facebook.” tanya izabel ketika mereka masuk ke dalam mobil, setelah sebelumnya sempat bolak-balik lantai dua, lantai tiga, lantai satu gedung parkir Nikko Hotel, karena Izabel lupa letak persis di mana Jazz-nya diparkir.
”Umm.. enggak tau, ya. Enggak cerita, dia kan sama gilanya kayak elo, jadi ya unpredictable.”
”Sialan.”

Izabel, adalah tempat Rhino bercerita dan bertanya seputar hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dia ahlinya.
Waktu Rhino jatuh hati kepada Diandra, Izabel sempat jadi salah satu telinganya.
Sebuah nasihat terakhir yang Izabel berikan kepadanya adalah, ”Jangan pernah nurunin standar untuk mencari pasangan hidup. Elo harus tau apa yang elo mau, elo harus punya list-nya, then stick to it. Kalo fisik bisa dikompromi, kalo nyari orang yang cakep banget itu susah, yang penting karakternya. Jangan pernah elo kompromi sama karakter. Elo enggak bisa ngerubah karakter orang, gimana pun caranya. Liat gw, at the end, I got what I want.”
Rhino mengangguk setuju.

“Tapi gw capek juga, kadang banyak banget yang bilang gw tuh pathetic, karena sampe sekarang belum mau pacaran juga. Masalahnya sekarang, gw pacaran tujuannya buat apa? Supaya punya temen jalan? Gw punya banyak orang yang bisa gw ajak jalan. Temen ngobrol? Gw juga punya banyak yang bisa gw hubungi kapan aja dan mau dengerin gw ngobrol. Untuk belajar komitmen? Bullshit. Komitmen bisa diliat dari cara gw handle kerja sambil kuliah. Kerja sambil kuliah aja gw pusing banget, apalagi mesti punya pacar, kasian nanti pacar gw cuma akan dapet ampas dari perhatian gw.” rentet Rhino panjang kepada Izabel suatu hari.
”Setuju, lagian komitmen itu enggak butuh belajar. Yang dibutuhin untuk memulai suatu hubungan, yang benar dan serius, adalah kesiapan mental, kesadaran, kedewasaan, dan realistis.” ajar Izabel.
”Tapi kadang enggak gw pungkiri, gw emang pengen banget pacaran, Bel.”
”Pengen itu wajar banget kok, Rhin. Tapi bagus banget elo udah bisa ngebedain antara mana yang elo pengen dan mana yang elo perlu. Elo masih 21, perjalanan masih panjang, Rhin, enjoy your life, fokus aja dulu sama karir dan establishing your financial life. Ngapain buang-buang waktu pacaran enggak jelas kayak kebanyakan anak muda di luar sana, kasihan hati lo nanti.”

”Udah, pokoknya inget, jangan pernah discount. Soalnya kalo gitu lo harus bayar di belakangan. Compromise di depan sama dengan bayar belakangan.” Izabel mengakhiri kuliah singkatnya sambil menepuk pelan pipi Rhino, kemudian tersenyum manis.

Izabel dan Rhino, bisa cocok berteman, walau usia mereka terpatut 6 tahun, Izabel lebih tua dari Rhino, karena punya background yang hampir sama, pernah sama-sama merasa minder, merasa kurang mendapat kasih sayang dari rumah, hingga berangkat mencari kasih sayang ke orang lain, ke teman-teman dan lingkungan pergaulan mereka.
Tapi itu dulu, waktu mereka masih merasakan masa-masa berseragam putih biru.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mengalami proses pendewasaan yang cukup membuat mereka berubah menjadi lebih matang.

Satu kesamaan mereka yang aneh, sama-sama punya teman bayangan.
Bedanya, Rhino punya satu, Izabel punya dua.

Teman bayangan Rhino bernama, Zachary Cedric.
Dipanggilnya teman tak kasat mata itu, Zac.
Zac selalu muncul sesuka hatinya, dalam bentuk Rhino versi dewasa, mengenakan setelan jas rapi, dengan potongan rambut klimis.
Zac kerap muncul untuk memperingati Rhino sebelum membuat sebuah keputusan, dan akan kembali muncul, ketika Rhino menghiraukan peringatannya.
Biasanya Zac akan muncul, kemudian berkata, ”Gw bilang juga apa. Nyesel kan lo enggak dengerin gw,” sambil tersenyum
Tapi Zac sekarang tidak pernah kelihatan lagi. Mungkin karena Rhino sudah cukup bijaksana membuat keputusannya sendiri, dan siap menerima apapun resikonya.

Teman bayangan Izabel, bernama Lucy, dan yang lainnya bernama Polka.
Izabel tidak pernah cerita rupa mereka seperti apa.
Yang pasti Lucy dan Polka, sama seperti Zac, sering mengingatkan Izabel agar tidak berbuat bodoh.
Lucy dan Polka, sering muncul membawa cermin ke hadapan Izabel, kemudian memaksa Izabel berkaca sambil memarahinya, ”Ngaca lo, liat muka lo sendiri, malu kan lo udah ngelakuin itu.”
Biasanya Izabel akan segera berteriak, ”Diem!”, membuat orang-orang di sekelilingnya menengok.
Membuat Izabel sedikit malu, karena lupa, bahwa tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa melihat Lucy dan Polka.
Disangka mereka Izabel tidak waras.

Kamis, 16 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.15)

Masih, masih sama ganasnya benda langit itu membara.
Seperti membumihanguskan Jakarta secara perlahan.
Masih, masih menangis kulit ini ketika bersinggungan langsung dengan raungan sinarnya yang dihamparkan pada udara bebas.
Ingin rasanya berteriak minta ampun, meminta berdamai.
Aku tidak melukai alam, kaumku yang melakukannya!
Aku tidak ambil andil, bagai pengecut, ingin Rhino meraung.
Tidak berandil? Bagaimana dengan pemborosan kertas yang sering dilakukan, bagaimana dengan penggunaan tisu yang berlebihan, bagaimana dengan pemakaian listrik serta air secara berhambur di rumah maupun di kantor.
Masih berani kau bilang, kau tidak melukai alam?
Mungkin begitu matahari akan menyahut balik padanya.
Rhino berjengit, seperti merasa disengat lebih tajam oleh matahari.

Rhino berjalan tergegas meninggalkan pagar rumah.
Hari ini ia terbangun agak siang, akibat tertidur agak larut.
Tak ada salahnya sesekali membuka mata ketika matahari sudah tinggi menyapa di atas kepala.
Tapi selalu lebih baik jika membuka mata ketika matahari masih malu-malu menyembul keluar dari ufuk timur.

Baru sebentar ia di kantor, Nadia sudah menghubungi mengajak makan siang.
Sahabatnya itu rupanya sudah kembali ke kantor.
Sudah tidak bermusuhan lagi dengan ususnya, yang kemarin sempat membengkak dan membuat dia terpaksa mendekam di rumah sementara.
Nadia sibuk bercerita tentang Dasa, tentang keputusannya untuk menjauhi Dasa, atau keputusannya untuk rela dijauhi Dasa.
Entah siapa menjauhi, entah siapa dijauhi.
Mungkin ada sedikit luka pada hatinya, menganga, perih, tapi masih bisa diobati.
Nadia kuat. Dia pernah mengalami lebih dari ini.
Rhino tidak perlu khawatir.

Ketika kembali di kantor, Diandra mengganggunya.

NonaDiandra: Hei Mas, lagi di mana?

Rhino terpana sebentar. Sudah begitu lama ia tidak melakukan aktifitas chatting dengan Diandra.
Mereka lebih sering berkirim pesan lewat Facebook, atau SMS. Dia lupa Diandra sudah ada di Jakarta, sudah kembali dari Sydney.

RadityaRhino: Di kantor.
NonaDiandra: Mas, aku norak nih, baru ngeliat Jakarta lagi, kayak orang kampung. Baru tau, tarif baru taksi itu 6000, baru tau ada sop buntut seharga 60000, baru tau sekarang ada mall yang punya perosotan. Aneh-aneh aja.
RadityaRhino: Eh bertemu yuk, gosipan, ngopi-ngopi.
Diandra: Ayo ayo, aku juga pengen. Mas, ke mana yuk.. hehe.. aku pengen joged, nih.

Diandra, kamu masih liar, masih begitu muda dengan keriaan yang tak terbendung.
Adakah sedikit keseriusan dalam pikiranmu?

RadityaRhino: Ayo, nanti aja Sundaze, kita pergi bareng aja abis gereja nanti. Jam tiga sore kok, bisa pergi bareng sama Nona Marsya dan Nona Tita.
NonaDiandra: Wah asik, asik! Mauu, Mas! Aku ajak temen-temen yang lain juga, biar ramai, ajak pacarku juga! Hehe...

Rhino seperti tersentak.
Aku lupa kamu sudah dimiliki.
Aku lupa kita hanya sahabat.

RadityaRhino: Ayo, ayo, boleh ajak aja biar rame.. seru-seruan bareng.
NonaDiandra: Asik... Eh Mas, kamu gimana? Ada enggak wanita-wanita yang mengganggu pikiran? Cerita, dong.

Aku menunda.
Aku banyak belajar semenjak kamu, Diandra.
Terima kasih sudah mengajarkan aku untuk menunda.

RadityaRhino: Ada sih, tapi aku tetap bertahan.. hehe. Fokus fokus fokus sama masa depan. Masih jauhlah itu. Buat apa bilang sayang kalau enggak bisa kasih komitmen. Bukannya kalian perempuan butuh komitmen dan tidak suka digantungi?
NonaDiandra: Iya, sih. Tapi kan banyak cewek yang bisa dibodohi dan mau digantungi tanpa komitmen.
RadityaRhino: Aku enggak mau cewek bodoh, Di. Aku mau cari perempuan bijak, tidak hanya sekedar pintar.
NonaDiandra: Wah kamu wise banget Mas!!
RadityaRhino: Lagian enakkan begini, hati ku utuh, jadi nanti pas ketemu orang yang tepat, hati yang aku kasih utuh.

Walaupun setahun lalu mungkin aku sempat terpikir untuk menyerahkan sebagian hatiku untuk kamu.
Untuk dikenakan bak perhiasan.
Untuk dirawat.
Untuk dirusak.
Untuk diledakkan.
Untuk dikubur.
Terserah kamu.
Untungnya tidak jadi kuserahkan hatiku.

RadityaRhino: Sekarang sih aku investasi aja dulu.. hehe. Tebar-tebar di tempat yang kira-kira berpotensi, nanti kalau pas waktunya, tinggal tuai! Hahaha...

Aku percaya hukum tabur-tuai, tahukah kamu?

NonaDiandra: Cewek yang buat fun juga enggak ada, Mas?
RadityaRhino: Dasar, ya enggaklah.
NonaDiandra: Iya sih, kalau udah sembarangan bikin komitmen gitu kan musti serius jadinya, udah ribet. Hidup juga kayaknya udah terikat. Kayak saya ini.. hehe. Tapi yaaahh, kalo saya sih jalani dulu aja. Kalau Tuhan ijinkan lanjut, kalau tidak ya stop.
RadityaRhino: Iya, kalau kayak elo yang udah terlanjur made decision ya mau enggak mau harus stick to it, apapun resikonya. Yang bisa elo lakuin cuma do the best, supaya kalo pun ternyata elo enggak meant to be sama dia, at least lo udah kasih kontribusi yang baik buat hidup dia. Betul, enggak?
NonaDiandra: Wahh, kok kamu wise banget, sih?? Ini baru bener, bener Mas! Saya setuju!

Saya wise karena belajar.
Salah satu pelajaran yang membuat saya wise adalah kamu.
Ada harga yang harus dibayar untuk setiap hal.

Semalam seorang teman Rhino, Rian, menyodorkan sebuah pertanyaan kepadanya.
“Kalau elo bisa dilahirkan kembali, elo mau hidup sebagai siapa?”
Sebagai siapa? Rhino langsung berpikir keras.
Ada sederet wajah, sederet kehidupan yang bikin saya penasaran, akan seperti apa rasanya jika saya terlahir sebagai dia, sebagai mereka?
Tapi seperti ada benturan yang menahan, membarikade, membuatnya berpikir, apa iya kehidupan mereka jauh lebih baik dan menarik darinya?
Rhino seperti tidak rela jika kehidupan ini ditukar dengan milik orang lain.
Terlepas dari naik turunnya alur peristiwa yang sudah dilewati, Rhino tetap bersyukur telah dilahirkan sebagai seorang Zacrhino Tjakraditya.
Karena setiap kegagalan yang sudah lampau, pasti ada hikmahnya di kemudian hari.

Seperti kata Wina, suatu hari, “Gw enggak pernah ngeliat diri gw gagal dalam hidup, yang gw tau gw selalu berhasil melewati segala tantangan yang ada, dan gw sukses naik kelas.”
Semua hanya perkara cara berpikir, maka itu tanamkanlah bahwa, hati kita ada di otak.
Segala sesuatu yang dirasakan, tersaring oleh jernihnya kekuatan pikiran.

Saya unik, saya berharga, saya adalah sebuah mahakarya.

Jika menginginkan kehidupan ini ditukar dengan kehidupan orang lain (yang saya kira) lebih menarik, sama saja seperti saya berteriak, “Pencipta, kamu salah menciptakan saya, seharusnya kamu membuat saya seperti dia!” Bukankah itu murtad?
Bukankah itu hanya membuat Dia sedih?
Maka itu ingatlah, tidak ada dari kita yang sempurna, hanya Tuhan yang sempurna.

Lucu, jika pertanyaan serupa disodorkan pada Rhino dua tahun yang lalu.
Mungkin dengan cepat dia bisa menjawab, menyebut nama siapa saja yang menurutnya memiliki hidup yang jauh lebih baik.
Tapi apa sebenarnya definisi hidup yang baik?
Rhino yang mendefinisikan, maka itu tak dapat disebut objektif, tapi subjektif.

Rhino dulu pribadi pencemburu, minderan, tidak pernah merasa layak, bahkan cenderung beriri.
Adakah beda antara cemburu dan iri?
Cemburu menjelaskan perasaan ingin untuk mendapatkan sesuatu yang orang lain miliki, karena menganggap miliknya kurang.
Intinya, dia memiliki, hanya dia tidak puas pada miliknya.
Iri mejelaskan perasaan ingin untuk mendapatkan sesuatu yang orang lain miliki, karena ia memang tidak pernah punya miliknya sendiri.
Intinya, dia tidak memiliki, sampai kapan pun, dia hanya bisa mengingini.
Karena itu, cemburu berobat, sementara iri beracun.

Tapi sekarang, dua tahun lewat, Rhino sudah banyak berubah.
Lebih matang, tahu apa yang mau dicapai, tahu bahwa antara butuh dan sekedar ingin tentu berbeda, tahu tentang jelas mengenai konsep dirinya.

Rabu, 15 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.14)

Jakarta semakin tengik, semakin terik.
Seperti ingin berpayung ketika keluar menyapa matahari.
Bintang yang tadinya hanya berfungsi menerangi dan memberikan rasa hangat, berubah menjadi mesin penghancur secara perlahan.
Tubuh ini seperti tidak tahan terhadap sengatannya.
Pori-pori kulit ini seperti menangis, terus-menerus mengeluarkan air mata, yang disebut keringat.
Dan seluruh bagian tubuh pun bersedih.
Bersedih disengat matahari.
Berkulit tetapi menangis.
Teknologi pendingin ruangan seperti tidak dapat diandalkan.
Mungkinkah ini respon dari sang surya, terhadap kejahatan yang selama ini dilakukan terhadap alam?
Karena adanya pendingin ruangan di mana-mana, adanya lemari pendingin, keduanya, kita tahu mampu membuat ozon jadi berlubang.
Ditambah lagi dengan pencemaran, limbah, penebangan hutan, sampah plastik, polusi udara, begitu banyak dosa manusia terhadap alam.
Maka alam pun berbicara, melalui matahari.
Melalui hujan, melalui banjir, melalui badai.

Rhino berjalan cepat menyusuri pekarangan parkir kompleks perkantorannya, melewati blok demi blok, menutupi wajahnya dengan buku, cepat-cepat masuk ke dalam kantor.
Masuk ke dalam ruangan berpendingin udara dan bercahayakan bola lampu.
Kulit tanganku, tengkukku, tak apa kau gerogoti, matahari.
Asal jangan kulit wajahku. Sulit merawatnya.
Wajahku adalah asset, kekuranganku di lain tempat bisa diakali, bisa ditutupi.
Kekuranganku di wajah tidak dapat disembunyikan.
Masakkan aku berkeliaran dengan muka bercadar atau kepala bertudung?

From: (+628114*****)
Mas, gw udah nyampe Jakarta, nih. Gila ya Jakarta panas banget, membara nih gw. Ni nomor gw, kabar-kabaran ya, Mas.

Rhino tersenyum.
Segera ia balas SMS itu sambil menyalakan komputernya.
Diandra, sudah kembali ke ibukota.
Rhino tahu, walau SMS itu tak bernama, tak beridentitas, hanya satu orang di dunia ini yang memanggilnya Mas, Diandra.
Dulu panggilan ini terjadi karena guyonan.
Guyonan yang berlanjut menjadi kebiasaan. Rhino pun tak keberatan dipanggil Mas, mungkin orang akan mengira namanya Thomas.

To: Diandra (+628114*****)
Hei Di, welcome back. Btw kemaren gw ketemu Nasya lho.

From: Diandra (+628114*****)
Eh baru gw mau SMS nyebutin nama.. hehe. Tadi lupa. Oh ya? Ketemu di mana?

To: Diandra (+628114*****)
Enggak perlu, I kno u’re the only one yang manggil gw Mas. Ketemu di Starbucks City Walk. Kantornya di lantai 19. Gw lagi nunggu temen gw mau balik ke kantor juga eh ketemu dia, lagi mau meeting. Sekarang kita berbeda, dunia sudah berubah, kita sudah jadi orang kantoran.

To: Diandra (+628114*****)
Iya dunia sudah berubah, ya. Aku mau dong jadi bagian perkantoran kalian selama masih bisa berhura-hura. Hehe…

Semalam memang Rhino bertemu dengan Nasya, saudaranya.
Yang sekarang sudah bekerja.
Waktu berjalan begitu cepat, seperti baru kemarin dia dan Nasya saling bertanya, “Elo mau kuliah di mana? Ambil jurusan apa?”
Sekarang masing-masing telah berkantor.
Telah naik satu kelas lagi dalam kehidupan.

Hari ini terasa melelahkan.
Selain panas, kantuk pun datang seperti bonus akhir tahun.
Semalam, atau mungkin sepagi, Rhino tidur begitu larut.
Jam setengah tiga pagi.
Ia baru saja memecahkan rekor terbarunya lembur di kantor, jam dua pagi!
Berduaan dengan si desainer, menghabiskan waktu untuk final check, sebelum materi majalah bisa dikirim ke percetakan.
Melelahkan. Tapi di sinilah gairahnya berlabuh.
Maka seberapa pun lelahnya, Rhino tetap menikmatinya.

Kemarin dari kampus ia diantar kembali ke kantor oleh Mocil, yang kebetulan kantornya di sebelah kampus Rhino.
Pertanyaan pertama Mocil begitu Rhino masuk ke dalam mobilnya adalah, “Gimana Girindra? Ada update enggak?”
Aneh. Update apa? Baru juga kemarin mereka pergi bersama sepulang gereja, Mocil, Rhino, Girindra, Wina, Karina dan Silfi.
“Enggak ada update apa-apa,” jawab Rhino datar, seperti tidak bersemangat.
Kadang ia ingin orang mengerti, walau ia sahabat Girindra, bukan berarti dia tahu semua hal tentangnya, Rhino bukan yellow pages, bukan buku panduan menuju kehidupan seorang Girindra.
Yang lucu, waktu ada teman mereka yang naksir Girindra, orang itu malah bertanya ke Rhino, “Kalo gw suka sama Girindra boleh enggak, ya?”
Pertanyaan bodoh.
“Ya bolehlah, elo ngapain nanya gw? Emang gw bapaknya?” jawab Rhino.
Begitu juga waktu orang-orang lama tidak melihat Girindra, yang mungkin sibuk dengan skripsi atau ujiannya di kampus.
“Girindra mana sih, Rin?”
“Kembaran lo mana?”
“Hopeng lo mana?”
Ketika sudah tidak tahan Rhino hanya akan mengangkat pundaknya, atau malah pura-pura tidak mendengar.

“Lagian kalo cowok mah enggak suka saling update cerita, ya. Kalo cewek kan tiap ada kejadian apa, langsung update ke temennya,” Mocil bersuara sambil mengaitkan sabuk pengaman.
Rhino mengangguk.
Kalopun Girindra meng-update dia dengan cerita, atau meminta pendapatnya, biasanya belakangan.
Seperti dulu waktu sejarahnya dengan Karina baru dimulai.

Dulu waktu Karina mengaku kepada Rhino, di telepon, bahwa dirinya dan Girindra sudah saling mengakui perasaan masing-masing, bahkan ketika Girindra membubuhkan kecupan bukti sayang di keningnya.
Rhino langsung menelepon Girindra setelahnya.
“Jujur deh Gir, elo sama Karina tuh hubungannya gimana?” begitu tanya Rhino.
“Gimana apanya?”
“Well I sense something is happening between you guys. Gw enggak buta.”
“Kita deket aja.”
“Deket as in, pendekatan yang mengarah ke hubungan yang lebih serius, atau deket as in temen deket aja?”
“Temen deket,” jawab Girindra pelan.
Maka kecewalah hati Rhino.
Kecewa karena sahabatnya berbohong, menganggap dirinya mungkin tidak layak menyimpan sebuah pengakuan yang harus dirahasiakan.

Rhino kemudian kembali menelepon Karina, setengah jam kemudian, karena teleponnya bicara.
“Kata dia, kalian cuma temen deket,” begitu ujar Rhino.
“Gw tau, barusan dia telepon gw.”
“Dan elo sama sekali enggak bermasalah?”
“Kenapa harus bermasalah?”
“Karina! Dia enggak mau ngakuin elo, bahkan ke gw! Temennya!! Kalian maunya apa?? Sayang-sayangan tanpa komitmen? Pake physical touch segala? You know I’m all against the stupid Hubungan Tanpa Status thing! Enggak sehat. Ngapain bilang sayang, kalo enggak bisa kasih komitmen?”
Rhino merentet panjang lebar.
Tapi tidak ada gunanya.
Ketika perempuan dilanda cinta, pikirannya disfungsional, hati dan emosinya berjalan.
Maka marahlah ia waktu itu pada kebodohan Karina dan Girindra.
Marah sekaligus sedih.

Sedih, karena hingga akhir sejarah mereka ditutup, Girindra masih belum juga mengaku.
Sampai Rhino memutuskan untuk mengirim e-mail kepadanya.

To: girindra@yahoo.com
Subject: I know.

I know what’s been happening to you and Karina.
Dan gw sedih aja, karena dari awal sampai sekarang udah selesai, which I’m glad, elo enggak pernah mau cerita ke gw.
You’re my best friend. It is killing me to see my friend walking to the wrong direction, while there is nothing that I can do to save you from free-falling.
Next time, please don’t do this again.
But it’s your choice, gw enggak mau maksa, gw enggak mau kepo.
Gw cuma mau elo tau, you can rely on me.
Elo bisa percayain gw apapun, sampah lo, atau apapun itu.
Friends don’t’ judge.

Begitu kira-kira apa yang terjadi sekitar enam bulan lalu.
Karina dan Girindra yang bersahabat kental, harus rusak hubungannya karena tidak mampu menahan luapan emosi sesaat.
Karena tidak mengerti timing.
Rhino meyakini paham, right person at the right time is the right thing.
But right person in a wrong time still a wrong thing.
Hubungan itu tidak bisa dipaksakan. Butuh lebih dari sekedar cinta untuk memulai sebuah hubungan, butuh kesiapan, kedewasaan, pengertian, komitmen, banyak.
Hubungan itu butuh tahap, perkenalan, pertemanan, persahabatan, keintiman.
Keintiman hanya bisa terjadi jika ada komitmen.
Banyak orang, hari-hari ini, ingin lompat dari tahap pertemanan, langsung ke tahap keintiman.
Baru kenal dekat, menjadi pacar, bahkan pasangan hidup.
Tidak heran banyak terjadi kasus perceraian.

Memilih orang yang tepat di saat yang tepat sama dengan memilih baju untuk bepergian.
Ketika pergi ke Negara beriklim panas, kita tidak ingin memenuhi koper kita dengan pakaian yang tebal.
Walaupun mungkin, ada jaket tebal buatan Prada, yang baru kita beli, dan ingin segera kita pakai kemudian pamerkan.
Tapi kita harus menunggu sampai musim dingin tiba, agar jaket Prada tersebut bisa digunakan sesuai fungsinya secara maksimal.
Dibutuhkan kesabaran dan juga hikmat.

“Cum, gw mau tanya, dong,” suara kekanakkan Nadia membuyarkan lamunannya.
Mereka dalam perjalanan menuju McDonald, kabur sebentar dari kegilaan kantor untuk makan siang.
“Tanya apa?”
“Kalo elo punya temen, yang punya masalah, minta dibantuin, minta didoain, minta dikasih nasihat, tapi dikasih tau enggak ngerti-ngerti, bahwa dia tuh salah, parahnya dia bahkan enggak merasa bersalah, dan elo udah eneg banget sama dia, tapi dia sahabat lo, apa yang bakal elo lakukan?”
“Enggak ada,” Rhino menjawab singkat.
“Enggak ada?”
“Iya enggak ada. Gw udah melakukan segala cara untuk bantuin dia, tapi dia enggak sadar juga, ya udah. Toh gw udah omongin, gw udah melakukan tugas gw sebagai temen. Toh entar yang ngerasain resiko dari perbuatannya kan dia juga, bukan gw. Gw sebagai temen cuma bisa seneng kalo temen gw seneng, dan sedih kalo temen gw sedih, gw cuma ikut merasakan tapi enggak mengalami. Biarin aja, kadang-kadang orang emang butuh jatuh untuk tau rasanya sakit, walaupun gw prefer kalo bisa ya jangan jatuh supaya enggak perlu ngerasain yang namanya sakit.”
“Umm.. tapi lo bakal tetep mau temenan sama dia?”
“Ya iyalah, selama dia masih punya kontribusi bagus dalam hidup dia. Kayak gw bertemen sama elo, atau Girindra. Kalian kan enggak sempurna, tapi cacatnya kalian itu bisa digantikan sama sifat kalian yang lain yang bikin gw seneng. Temen kan harus bisa nerima temennya apa adanya, sampah-sampahnya.. kecuali kalo temen lo itu emang udah cacat banget ya, udah enggak ada lagi kontribusi positifnya buat hidup lo, ya it’s about time for you to cut the friendship off.”
“Oh.. gitu, ya?”
“Iya. Emang kenapa sih nanya gitu? Siapa yang kayak gitu?”
“Adalah temen gw.”

Minggu, 12 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.13)

Gerombolan itu akhirnya memilih Hong Kong Cafe sebagai tempat makan siang mereka.
Wina juga ikut bergabung, kebetulan setelahnya Wina harus siaran, kantornya berada tepat di seberang Hong Kong Cafe.
Rhino pergi semobil bertiga dengan Girindra dan Wina, sementara Karina dengan yang lain.

”Eh Gir, muka lo kok sekarang jerawatan banget, sih?” tanya Wina begitu masuk ke dalam mobil.
Girindra pun mengintipi wajahnya di spion tengah.
”Iya nih, enggak tau. Pake obat apa ya yang bagus?”
”Ya elah cowok mah enggak usah pake obat atau ke dokter segala, tanya aja nih sama Rhino pake apaan.”
”Iya, gw enggak pake facial atau obat dokter, bisa jaga muka. Yang penting telaten, sih.”
”Gw jarang bersihin muka, sih. Jadinya kotor, deh.”
”Ah elo, muka kotor, pikiran juga kotor,” perkataan Rhino ditimpali tawa Wina.

”Elo gimana Win, masih deket sama gebetan lo itu?”
”Masih, lumi lah,”
”Kenapa enggak pacaran aja, sih?”
”Ya gw kan beda sama lo, gw nanda-nanda penuh pertimbangan, enggak mau gw terburu-buru kayak elo.”
”OUCH,” Rhino iseng menimpali dari belakang.
”Lagian pacaran kan susah,” lanjut Wina.
”Pacaran enggak susah, kali,” tentang Girindra.
”Iya, pacaran doang enggak susah, tapi pacaran yang bener kan susah.” Wina mengerling kepada Rhino.
Mereka berdua tersenyum.
”Pacaran gw bener kok,”
”Ya siapa yang bilang pacaran elo enggak bener sih, Gir? Sensitif amat jadi orang,”
”OUCH,” Rhino lagi-lagi menimpali dari belakang, disambut tawa Wina.
”Iya deh, emang gw mah hidup untuk di-bully, buat diketawain mulu sama orang-orang kayak elo,”
”Yaaaa.. dia sensitif beneran! Gir, Gir, lo kan tau, kalo gw nyela lo murni joke doang.” Rhino menepuk pundak Girindra.

”Elo mau pesen yang ini ya, Rhin?” tanya Girindra sambil menunjuk sebuah gambar yang ada di buku menu Hong Kong Cafe.
”Iya, tapi bingung antara yang ini atau yang itu,” Rhino menunjuk satu gambar lain.
Girindra memperhatikan kedua gambar itu dengan seksama, ia seperti tertarik juga pada gambar lain yang Rhino tunjuk, kemudian kembali bicara, ”Ya udah gw ini, elo yang ini aja,”
Rhino bengong. Ini anak dominannya keterlaluan. Emang gw minta pendapat dia, minta dipilihin makanan yang mana? Rhino merepet sendiri dalam hati.
”Tapi kalo gw punya gw ternyata enggak enak gimana? Elo musti tuker sama makanan lo ya?”
”Ya udah kita sharing aja entar, setengah-setengah,” Girindra memberi solusi.

Makanan yang datang pertama makanan Girindra, baru makanan Rhino. Jeda agak lama, baru makanan para perempuan menyusul.
Waktu makanan Rhino diantar, Wina berkomentar, ”Wah punya lo aromanya enak banget! Kayaknya enak!”
Karina, Mocil dan Silfi mengangguk setuju.
Untung tadi Girindra milihin gw yang ini, batin Rhino.
Di seberangnya, Girindra pelan-pelan menunduk kemudian mengendus makanannya sendiri.
Seperti bertanya pada dirinya sendiri, ”Makanan gw kenapa enggak dikomentarin juga, ya? Apa aromanya kurang enak? Apa jangan salah-salah gw pesen?”
”Hahahaha.. ya ampun enggak mau kalah banget sih lo dari gw!”
”Emang dia ngapain?” Wina yang melewatkan pemandangan tadi bertanya penasaran.
”Dia barusan ngendus makanannya sendiri pas lo bilang makanan gw aromanya enak!”
Girindra hanya tersenyum asam.
Karina, Mocil dan Silfi puas tertawa.

Semua yang ada di meja itu tahu, entah kenapa, walau bersahabat, Girindra dan Rhino seperti berkompetisi. Girindra selalu tidak mau kalah dari Rhino.
Waktu ada yang memuji penampilan Rhino, Girindra pasti akan langsung bertanya kepada si pemuji, ”Kalo gw gimana?”
Waktu mereka sama-sama baru potong rambut, orang banyak yang memuji rambut Rhino, Girindra tetap tidak mau kalah, dia menanyai semua yang memuji Rhino, ”Kalo gw bagus enggak?”
Kalau sedang jalan dengan Nadia dan Karina, mereka senang menggelayuti lengan Rhino, atau memeluk pinggang Rhino, suatu hari Girindra pun bertanya, ”Kenapa sih kalian lebih suka pegang atau peluk Rhino? Emang apa bedanya gw sama dia?”
Rhino geli sendiri.
Bersahabat dengan Girindra, kadang membuat dia merasa seperti punya adik kecil yang tidak mau direbut mainannya. Padahal secara teknis, Girindra lebih tua 9 bulan dari Rhino.
Tapi sudah banyak yang berpendapat Girindra memang jauh lebih kekanakkan dari Rhino.
”Elo tuh sahabat gw, I can always trust you, rely on you. Kalo ke Girindra gw enggak tau kenapa, gw nganggepnya adik,” ujar Wina suatu hari.
Nadia juga pernah melontarkan kalimat serupa, “Iya enggak tau kenapa, gw sayang sama Girindra itu sebagai adik gw, apalagi gw pengen banget kan punya adik cowok. Tapi kalo ke elo Rhin, gw sayang sebagai sahabat.”
Rhino selalu memberikan respon yang sama kepada siapa pun yang berpendapat begitu, ”Mungkin karena fakta dia anak bungsu, dan gw anak sulung. Itu enggak bisa dirubah, gw di rumah dari kecil selalu diperlakukan layaknya anak sulung. Dari kecil diomongin, gw tuh tulang punggung keluarga kalo tiba-tiba terjadi sesuatu pada Ayah. Gw harus bisa mengurus adik gw, harus bisa memegang tanggungjawab. Sementara Girindra, anak bungsu, laki-laki satu-satunya pula. Elo tau kan, seberapa bangganya orang Batak terhadap anak laki-lakinya? Girindra udah pasti diperlakukan bak pangeran.”

”Btw, elo kenapa sih Gir diem aja?” tanya Wina begitu makanannya habis.
Dari tadi, selama makan, Rhino dan yang lain sibuk bertukar cerita, sementara Girindra seperti tidak ingin terlibat dalam pembicaraan, ia seperti punya dunia sendiri, dunianya dengan makanan yang sedang ia lahap.
”Kangen ya ditinggal Tasya?”
”Iya, kangen.” jawabnya singkat.
”Ya elah kangen apaan, baru juga ditinggal berapa hari, tadi SMS gw gitu,” Rhino ingat SMS Girindra tadi yang ia terima dalam perjalanan menuju gereja.
”Heh, awas lo, ya!” Girindra mengacungkan telunjuknya kemudian menggoyangkannya ke kiri dan kanan.
Seperti orangtua yang melarang anak kecil berbuat nakal.
Rhino tertawa.

Dua jam berlalu, banyak sekali yang sudah mereka bahas.
Kebanyakan sih mendengar cerita Karina dan Silfi mengenai negeri Thailand yang baru mereka tandangi.
Kemudian beralih ke masalah penyakit campak dan cacar air.
Silfi langsung memeriksa tangannya, “Duh gw belom pernah kena campak, atau cacar, nih. Enggak lucu banget kalo gw kena udah gede gini. Di badan gw enggak ada merah-merah, kan ya?” kata Silfi sambil mengintip ke dalam bajunya.
”Sini gw liatin,” kata Girindra sambil tersenyum nakal.
”Ck ck.. Gir, dua kali ya lo hari ini.” Rhino mengingatkan. Pertama, cuci mata di gereja, dua jahil flirting ke Silfi.
”Untung, gw kenal elo duluan baru Tasya, jadi gw mau enggak mau berpihak ke elo. Coba kalo gw temenannya sama Tasya, udah gw laporin lo.”
Yang lain tertawa.

Percakapan sempat juga beralih ke gosip soal hubungan.
Perihal hubungan laki-laki dan perempuan memang selalu menarik untuk dibicarakan.
Entah karena apa-apa, Rhino tidak terlalu memperhatikan, Karina tiba-tiba bicara begini ke Wina, ”Well, this heart is not to be broken, Win.”
“Yakin enggak bisa dipatahin hatinya?” goda Wina.
”Emang siapa yang pernah matahin hati lo?” tanya Girindra.
”Eh diem aja deh, enggak ada yang nanya pendapat lo. Kenapa? Emang lo ngerasa pernah matahin hati Karina?”
Rhino, Silfi dan Mocil langsung tertawa, sementara Girindra kembali tersenyum asam.
Semua yang ada di meja itu tahu mengenai sejarah Girindra dan Karina.
Seperti rahasia umum.

Sampai akhirnya mereka membahas film yang tengah naik daun, ”Laskar Pelangi.”
Para perempuan sibuk bercerita betapa terharunya mereka ketika menonton film itu.
Sementara Girindra dengan santai berkomentar, ”Biasa aja filmnya.”
”Ya elo mah emang enggak punya compassion! Enggak punya hati, enggak punya perasaan!” sembur Wina.
”Itu kan based on reality, kebayang enggak sih di Indonesia masih ada anak-anak kayak mereka, yang pinter, tapi mau sekolah susah karena enggak ada uang,” Wina merentet panjang.
”Rhino juga enggak bilang filmnya bagus!” Girindra mencari kawan.
”Enak aja, gw bilang filmnya bagus, gw suka, tapi enggak bagus banget seperti apa yang orang-orang bilang,” Rhino membela dirinya.
”Enggak, elo enggak bilang gitu waktu lo cerita ke gw! Munafik lo!” Girindra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rhino hanya tersenyum.
Terserah, munafik atau tidak, bukan Girindra yang punya hak untuk menentukan.

Sampai ketika Wina sudah pergi lebih dulu karena harus siaran, mereka berakhir dengan membahas Dasa.
Laki-laki yang sedang dekat dengan Nadia.
Ternyata Mocil dan Karina punya pendapat sama, mereka tidak terlalu suka dengan kepribadian Dasa yang tengil, dan tidak perduli perasaan orang lain.
Untungnya semalam melalui SMS, Nadia sudah bilang bahwa dia dan Dasa sudah tidak punya perasaan apa-apa.
Nadia memutuskan untuk menjauh, menjadi single dan siap berbaur lagi dalam pencarian cinta.

Dalam perjalanan pulang, di mobil, Girindra kembali membandingkan dirinya dengan Rhino.
”Elo sekarang lebih putih dari gw sih, Rhin?”
Ia mengulurkan lengannya, mendekatkannya ke lengan Rhino, ketika mereka berhenti di lampu merah, kemudian membandingkannya agak lama.
Aneh memang, kulit Girindra sekarang kecoklatan. Padahal dulu ia begitu putih, seperti anak rumahan yang tidak tahu main ke luar, tidak tahu kena matahari. Bukan sepertinya, tapi memang kenyataannya begitu sebenarnya.
”Ya elo sih enggak terawat.”
”Tangan elo juga lebih panjang dari gw,”
”Iyalah gw kan lebih tinggi dari elo.”
”Tapi enggak bagus ah putih kayak elo, pucat. Bagusan warna kulit gw.” Girindra tersenyum.
”Itu kan elo yang bilang, pendapat elo subjektif banget, jadi gw enggak perduli,” Rhino juga tersenyum.

”By the way, kok sekarang gw ngerasa enggak nyambung ya ngomong sama Karina? Sama sekali enggak nyambung.” Girindra tiba-tiba mengangkat topik itu.
”Enggak tau, karena elo udah il-feel kali.”
”Mungkin, ya. Atau gw yang udah banyak berubah? Wina bilang gw banyak berubah. Emang gw berubah ya, Rhin?”
”Enggak, sih.”
Elo enggak berubah, ke arah baik maupun buruk, elo stagnan, bahkan mendekati terjun bebas sekarang, kata Rhino dalam hati sambil memperhatikan lampu berganti hijau.