Senin, 20 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.19)

Diliriknya bilangan di sudut kanan bawah monitor laptop-nya.
Baru sepuluh menit, hari ini dimulai.
Tengah malam lewat sepuluh menit.
Sepuluh menit yang lalu hari ini adalah esok, sekarang setelah sepuluh menit, hari ini sudah menjadi kemarin, dan esok berganti hari ini.

Rhino masih tidak bisa tidur.
Episode enam dari musim kelima tayangan serial “Greys Anatomy” baru saja dirampungkannya.
Sebelum menonton DVD, ia sempat berkutat selama dua jam dengan tugas mata kuliah metodologi-nya, mengulas sebuah buku bertajuk “Kecerdasan Komunikasi”, minimal sepuluh halaman.
Ingin patah rasanya jari-jari itu setelah sibuk menggertaki tombol-tombol keyboard.
Ingin melompat keluar sepertinya mata itu setelah lelah mengamati layar putih berbentuk lembaran kertas, yang semakin penuh diisi jejeran kata seiring dengan jemarinya yang bermain gemulai di atas keyboard.

Pikirannya yang terjaga, membuatnya berpikir.
Mengulang sebuah percakapan panjang yang ia lakukan tadi dengan sahabatnya, Girindra, dalam perjalanan pulang mereka dari Plaza Indonesia.
Rhino menebeng pulang, dari kampus, ia menuju Plaza Indonesia, karena tahu Girindra sedang ada di sana, kemudian minta diantar pulang.

“Gw udah tau tuh soal Nadia,” ujar Girindra, ketika Rhino masuk ke dalam mobilnya.
Rhino hanya diam.
“Elo udah pernah ketemu sama si Vadimitra itu?” tanya Girindra lagi.
Rhino menggeleng.
“Kok dia bisa gitu ya? Gw enggak ngerti deh si Nadia. Mungkin dia butuh belajar dari adeknya kali, gw.”
“Ah, kayaknya adeknya juga enggak lebih baik,” ujar Rhino bercanda.
“Sialan. Well, dulu waktu gw jadian sama Tasya, gw mungkin ngerasa salah karena mungkin emang kecepetan. Tapi pas dijalanin gw serius. Kalo Nadia, kayak enggak mikir dulu. Well, Nadia sih sempet bilang kalo dia tau dia salah.”
“Ya udahlah, she’s a grown up, she can take care of herself. This is her decision, apapun yang terjadi, we can not change it. As best friends, all we have to do is support her. Then be there for her, whenever she needs us. Kalo keputusannya bikin dia seneng, kita ikut seneng, kalo keputusannya bikin dia sedih, ya kita ikut sedih. The same thing kayak waktu elo sama Tasya, I didn’t really support you guys, but what can I do? I have to support you. Walau gw agak kesel karena elo baru nanya pendapat gw soal Tasya, setelah kalian jadian. Di mana-mana, orang nanya pendapat sebelum bikin keputusan, bukan setelahnya, itu namanya minta kepastian bahwa keputusan yang dia ambil enggak salah. But Tasya is a great person, so yeah.. you know. It’s just you’re not as great as her.. hahaha.”
“Sialan lo,” rutuk Girindra.

“Elo tau enggak sih hari ini gw belajar apa?” tanya Girindra membuka obrolan sambil menyerahkan beberapa lembar ribuan kepada petugas parkir, yang terkungkung dalam suatu boks berukuran sempit.
“Apa?”
“Pengampunan.”
“Pengampunan?”
“Iya, elo tau enggak sih cerita tentang dua orang yang memiliki hutang. Ceritanya sekitar tahun 40. Katakanlah A dan B. A punya hutang begitu besar pada seorang raja, mungkin dalam nominal Rupiah sekarang, sekitar 60 juta. Ketika tiba waktunya A melunasi hutangnya, ia minta diberi perpanjangan waktu kepada sang raja. Tanpa diduga, sang raja ternyata mengabulkan, bahkan menghapus hutangnya, dan memaafkan A.”

Rhino mengerutkan kening sebentar, berusaha mencerna sekaligus memvisualisasikan kata-kata yang disampaikan Girindra.
“Sampai sini ngerti ya cerita gw?”
Rhino mengangguk.
Sekaligus dibuat heran. Girindra tidak pernah sebegitu detail menceritakan sesuatu seperti ini.
Berbagi cerita bukanlah sebuah kualitas yang dimilikinya.
Kebanyakan cerita yang ia tahu, disimpannya sendiri.

“Nah, kemudian si B ternyata punya hutang sama A, yang kalo dalam Rupiah sekarang, cuma sebesar 100 Rupiah. Tapi pas waktunya bayar hutang, si B belum mampu bayar dan minta diberi perpanjangan waktu. Tapi A enggak terima, dan marah-marah ke B, bahkan mukulin dia.”
“Terus?”
“Supaya bisa ngerti poinnya, elo jangan liat dari kacamata hari ini. Elo harus tau dulu, 100 Rupiah jaman sekarang mungkin gampang banget didapetin. Ngemis di jalan juga dapet. Tapi jaman dulu, 100 Rupiah itu kayak kerja tiga bulan, jadi buat A berharga banget. Walaupun hutangnya B ke A, emang enggak sebanding banget, sama hutang A ke raja. Tapi buat A, hutang B itu tetap besar buat dia, karena hutang B adalah sesuatu yang harus diperoleh setelah tiga bulan bekerja. Kebayang, kan?”
Rhino kembali mengangguk.
“Nah, analoginya gini. Hutang itu diumpamakan sebuah kesalahan. A itu kita, B itu orang lain, raja itu Tuhan. Kita semua tahu, Tuhan itu Maha Pengampun. Seberapa pun besarnya dosa kita, jika kita minta diampuni, maka Dia akan mengampuni, asal kita sungguh-sungguh dan berjanji tidak melakukannya lagi. Tapi coba kalau ada orang yang bikin salah sama kita, bikin kita sakit hati banget, biar cuma sekali, mau enggak kita segitu gampangnya ngampunin orang itu? Enggak, kan? Susah pasti. Padahal kalau dibandingin sama pengampunan yang udah Tuhan kasih, dan bahkan selalu kasih ke kita, pengampunan kita ke orang itu tuh enggak ada apa-apanya.”
“Waw… bener juga.”
“Iya, kan? Gw juga pas denger itu kayak langsung ketampar gitu. Iya ya, apa gunanya dendam sama orang, apa susahnya ngampunin orang yang bikin kesalahan kecil ke kita, dibanding sama kesalahan yang kita bikin ke Tuhan, dan pengampunan yang dia kasih ke kita?”

Bukankah mendendam layaknya meminum racun dan mengharapkan orang lain yang mati? Bodoh dan konyol namanya. Yang akan mati justru kita, karena kita yang minum racunnya. Begitu juga perihal menyimpan dendam, energi kita yang habis digerogoti rasa benci, bukan energi orang yang berbuat salah kepada kita.

“Elo tau enggak, Rhin. I used to live a perfect life, perfect family, you know all that stuff.”
“I know, I can see it.”
Enggak butuh orang pinter kok untuk tahu seberapa nyamannya kehidupan yang elo punya Gir, pikir Rhino.
Selama ini apa yang bikin gw iri sama lo? Ya itu, hidup lo.
Tapi bukankah rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau?

“Then, there was this one person yang ruined everything. Yang bikin gw benci banget sama dia. Kayak bikin gw sadar, bahwa life is real, that life is indeed normal, not always perfect. Dan sampe tadi sebelum gw denger cerita itu, I can’t forgive this person, and I promised myself I won’t. Tapi setelah gw tau cerita itu, gw akhirnya decided to give this person forgiveness.”
“So is it a he or she?” tanya Rhino penasaran.
“Adalah.”
“Is this person your friend? Or someone from your family?”
“Rhino, you don’t need to know. Because I’m not gonna tell anyway.”

Tidak adil.
Selalu begitu.
Kenapa sih enggak bisa lo percayain beberapa momen esensial dalam hidup lo ke gw.
Gw memang punya telinga untuk mendengar, tapi gw juga punya rasa penasaran untuk dipuaskan.
Tapi percuma, Rhino bukan baru kemarin kenal Girindra, sekali ia membuat keputusan, maka tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya.

“Nah, dari sini elo juga bisa belajar sesuatu, Rhin. Kalo ngomong tuh dijaga. Elo enggak akan pernah tau kapan kata-kata elo, yang menurut lo cuma joke, bisa nyakitin perasaan orang lain.”
Wah, sebuah nasihat, kalau bisa diingat, selama dua tahun berteman dengan Girindra, sepertinya ini adalah nasihat pertama yang pernah Girindra berikan.
“Kayak temen-temen gw kadang suka bikin joke tentang gw, menurut mereka it’s just a joke, tapi mereka enggak tau that it hurts me.”
Iya ya, biar bagaimana semua orang punya perasaan dan mental yang berbeda-beda. Sebuah perkataan bisa menjadi lucu untuk satu orang, dan bisa menjadi pedang yang menusuk bagi orang lain.
Gw pernah ngomong sesuatu yang nyakitin elo enggak ya, Gir. Rhino penasaran sendiri.
“Tenang aja, so far omongan elo enggak pernah ada yang nyakitin gw kok,” Girindra menepuk pundak sahabatnya.
Rhino tersenyum lega, walau sedikit heran, karena seperti bisa mendengar pikirannya, yang tadi ia tanyakan kepada nuraninya namun tidak dilontarkan keluar dari mulut, Girindra bisa menjawabnya. Mungkin kebetulan.
“Iya, soalnya elo yang banyak ngelukain perasaan gw dengan celaan lo.”
“Enggak! Mana pernah gw nyela elo.”
Rhino terbahak.

“Gir, elo share ini jangan ke gw aja dong. Nanti share juga ya ke yang lain, Nadia, Karina, Mocil, siapalah. Supaya makin banyak orang yang denger, dan makin banyak yang terinspirasi.” ujar Rhino kemudian.
“Gw percaya sama domino effect, kalau gw tau sesuatu yang bisa merubah cara pikir seseorang, gw akan sebarkan ke sebanyak mungkin orang, in order to make this world a better place. Might sound cliché, but there’s nothing wrong in keeping faith and having hope for a greater future, right?” lanjutnya lagi.
“I know, but I just can’t. Kalo gw share ini ke elo, karena ya gw maunya share ke elo. Gw tuh lebih introvert dari elo Rhin, gw lebih diem dari elo. Dan gw tipe orang yang cuma bisa ngomong heart to heart, bukan heart to hearts.”
“Ok,” Rhino bergumam pelan.
Sekali lagi, jika Girindra bilang tidak, maka tidak.

Tidak ada satu garis merah yang bisa ditarik untuk bisa menggambarkan sosok Girindra.
Kadang ia begitu kukuh mempertahankan sesuatu.
Kadang ia terlihat gampang berkompromi.

“Ada satu lagi yang bikin gw mikir banyak belakangan ini.”
“What?”
“Religion. Dari mana kita tahu bahwa agama kita itu yang paling benar? Apa jaminannya? Enggak ada yang bisa ngasih tau. Milih agama, sama kayak milih pasangan hidup, it’s a one way ticket. Sekali masuk, there’s no turning back. “

Karena apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak bisa diceraikan oleh manusia.

“Well, menurut gw sih, perihal milih agama itu kayak milih transportasi. Semisal, Tuhan dianalogikan sebagai kota Bandung, kita adalah warga Jakarta yang mau pergi ke Bandung. Ada banyak cara yang bisa dipilih, naik kereta, walau agak lama, tapi elo bisa duduk lama sendirian ngeliatin pemandangan yang enggak setiap hari lo liat di Jakarta. Naik pesawat, yang mahal tapi cepet banget cuma 20 menit. Naik mobil, ada dua juga pilihannya, lewat Tol Cipularang, atau lewat Puncak yang berkelok-kelok. Ada juga lho yang suka naik motor, walau capek, tapi seru katanya. Nah, agama ya kayak berbagai media transportasi yang bawa kita kepada Tuhan. Semua orang yang beragama percaya akan satu kehadiran sebuah sosok yang besar yang mengontrol kehidupan mereka yang disebut Tuhan, hanya caranya saja yang berbeda-beda dalam membawa tiap pemeluknya untuk mengenal sosok besar tersebut.” Rhino menjelaskan panjang.
“Tapi udahlah gw enggak mau mikirin terlalu serius. It’s complicated. Gw udah pilih agama gw ini, ya gw akan lakukan yang terbaik.” Girindra membalas.

Bagus, seperti dikatakan, maka melangkahlah dengan iman bukan dengan penglihatan.
Dan janganlah engkau memikirkan sesuatu yang melebihi akal pikiranmu.

“Tapi gimana soal dosa?” Girindra kembali bersuara.

Rhino menoleh heran, dikiranya sudah selesai diskusi tersebut.

“Kenapa dosa?”
“Elo pernah enggak sih, elo tau itu dosa, tapi elo tetep ngelakuinnya dengan sadar?”
“Contohnya?”
“Hal simple, kayak gw titip absent di kampus. Itu kan sama aja bohong, tapi tetep gw lakuin, bahkan sekarang gw mau nitipin absent temen gw. Sama aja bantuin temen gw bohong.”
“Tergantung, biarpun elo udah tau itu salah, tapi elo bisa aja lupa, jadi elo bikin lagi.”
“Buat gw enggak ada yang namanya berdosa karena enggak sengaja. Karena setiap kali orang mau bikin dosa, pasti nuraninya akan mengetuk dan ngingetin dia untuk enggak bikin dosa.”
“Siapa bilang? Contohnya gw, kelemahan gw adalah ngomongin orang. Gw suka banget ngomongin kejelekkan orang, kadang gw keceplosan aja, pas udah selesai baru sadar, gila mulut gw jahat banget, ya. Itu namanya enggak sengaja. Karena ada juga waktu-waktu di mana, gw mau ngomongin orang, terus ya itu gw kayak diingetin sama hati gw, jangan suka ngomongin orang, nah ya udah gw enggak jadi ngomong. Kalo gw udah diingetin kayak gitu, tapi gw masih ngelakuin, itu namanya gw kompromi. Mungkin apa yang elo lakukan adalah berkompromi.”
“Mungkin. Emang sih kadang gw tetep bikin, karena gw tau gw bakal diampunin, walau udah berbuat salah berkali-kali.”
Hening.
“Elo heran ya gw banyak ngomong hari ini? Hehe…” Girindra nyengir.
“Lumayan,” kata Rhino singkat.

Tapi enggak apa, gw selalu punya dua telinga untuk mendengarkan apa pun yang mau elo ceritain, penting enggak penting, urusan belakangan, yang penting gw bisa tunjukkin, bahwa gw perduli sama apa yang elo omongin, Rhino berkata dalam hati.

“Eh Rhin, gw juga heran, ya.”
Ok, another topic.
“Heran apa?”
“Gw bisa nulis kata-kata manis di love letters, melalui SMS ke Tasya. Tapi kalo disuruh nulis soal pemikiran-pemikiran bout daily life kayak tadi, kok susah banget, ya? Kalo elo kan bisa tuh nulis, nuangin apa yang elo pikir, bahkan apa yang orang lain pikir dalam bentuk bacaan yang menarik.”
“Well, it’s a gift. Talenta orang beda-beda, dan enggak bisa dipaksain. Tapi bisa dilatih. Elo bisa nulis, walau cuma rayuan gombal mungkin, tapi sebenernya kalo elo mau belajar, nulis hal-hal yang serius pasti bisa kok. Well, until then, kalo elo ada cerita apa-apa yang menarik, cerita aja ke gw, nanti gw yang tulisin, gw perantaranya.”

Tidak ada komentar: