Selasa, 26 Agustus 2008

(Katanya) Sehat, Tapi Gak Bikin Sehat

Setiap hari kalau mau ke kantor, saya harus sedikit berjalan kaki melewati area pelataran parkir
sebuah mal di dekat kantor.

Setiap hari juga saya harus melewati sebuah bis promo produk kecantikan dan kesehatan, yang mengelu-elukan produknya yang ramah lingkungan.
Dengan warna produknya yang didominasi nuansa warna putih dan hijau.
Cukup melambangkan sebuah keasrian.
Tapi..
Yang bikin saya lumayan terganggu dan sedikit kesal melihat kampanye promosi mereka.
Bis yang digunakan sebagai venue berpromosi itu tidak pernah dimatikan mesinnya.
Spontan dari belakang bis, dari bagian knalpot, asap keabuan rajin menyembur keluar, menebarkan bau-bauan beracun khas knalpot.
Belum lagi, polusi yang diakibatkan oleh asapnya tersebut.
Belum lagi pembuangan tenaga akibat mesin mobil yang terus-menerus dinyalakan.
Katanya menawarkan produk kesehatan, mengelu-elukan anti global warming, tapi eksekusi dari kampanye-nya sangat berlawanan dengan apa yang mereka gembar-gemborkan.
Sebal.

Senin, 25 Agustus 2008

Passion (checked), Commitment (checked), Understanding (umm?)

Seorang teman baik, yang sama-sama suka nulis, dan sama-sama suka mikir (sampe kening berkerut), beberapa waktu lalu mem-posting sebuah artikel tentang “Letting Go” di situsnya.

Menurut dia, letting go itu mudah. Saya juga setuju.

Dan untuk bisa letting go sesuatu kita harus bisa mengerti dan tau bener value kita (lagi-lagi soal value).
Kalo memang sesuatu, let say pekerjaan, enggak sesuai lagi sama value kita, ya udah lepasin aja.
Atau mungkin seseorang, pacar, atau temen, yang value-nya enggak ketemu lagi sama kita, ya udah lepasin aja.

Tolak ukurnya gampang, passion.
Kita melakukan segala sesuatu baru bisa maksimal dan dinikmati ketika hal itu berhubungan dengan passion kita.
Kita mungkin bisa melakukan banyak hal, tapi kalau bukan passion kita, percaya, pasti enggak akan maksimal, dan lama-kelamaan kita juga bosen dan enggak enjoy.
Jadi, (penutup dari teman saya, yang cukup GONG), kalau kita pacaran, kerja, temenan, pelayanan tapi udah enggak ada passion-nya, untuk apa dipertahankan? Just let it go.

Bener juga! Tapi, si tukang pikir satu ini tiba-tiba berkerut keningnya.
Ok, tolak ukurnya passion, kalo passion-nya udah enggak ada, berarti it is time to let it go.
Passion is indeed important. But what about commitment?
Saya kemudian mikir, gimana dengan orang yang udah bertahun-tahun menikah?
Apa iya mereka masih punya passion yang menggebu-gebu seperti waktu mereka pertama pacaran?
Gimana kalau mereka passion-nya enggak ada, cintanya juga, bukankah pernikahan mereka hanya bergantung di atas komitmen yang sudah mereka buat di hadapan Tuhan?

Begitu juga dengan orang pacaran, yang udah serius, dan pengen end-up ke pernikahan.
Kalau suatu saat passion-nya hilang, apa iya terus mereka harus letting go of each other?
Kalau gitu, setiap kali pacaran, ya tiap kali passion-nya ilang, lepasin aja, cari yang lain.

Menurut saya, passion penting, komitmen juga penting.
Ketika si passion ini hilang, masih ada sebuah komitmen yang harus dipertanggungjawabkan.
Maka, ketika si passion hilang, jangan langsung dilepas, ada baiknya, menurut saya, dicari-cari lagi, diasah lagi, in other words, harus ada yang namanya kesempatan kedua.

Saya dan teman saya kemudian punya titik temu, yaitu kata MENGERTi.
Memang di bagian atas postingannya, sudah disebutkan, kita harus mengerti terlebih dahulu value kita apa.
Kita harus mengerti dulu passion kita apa sebelum kita letting go sesuatu.
Dan, tambahan saya, kita juga harus bisa mengerti, komitmen pertama yang kita buat seperti apa?
How far we were willing to be committed?

Keputusan

Kemarin malam, ketika sedang iseng menggonta-ganti saluran tv, saya menemukan sebuah acara talkshow di salah satu stasiun tv swasta.
Biasa saja, tidak terlalu bagus.
Saat itu topik yang sedang dibahas adalah tentang kecenderungan artis yang menggunakan narkoba, akibat pengaruh lingkungan dan pergaulan.
Dihadirkan seorang artis yang pernah masuk penjara karena keterikatan narkoba,
dan seorang artis yang konsisten dari dulu hingga sekarang menyandang predikat anti narkoba, bahkan dia aktif berkecimpung dalam LSM penentang narkoba.

Sengaja ditampilkan mereka berdua, agar mendapatkan jawaban dari dua sudut pandang yang berbeda.
Satu sisi mantan pengguna, dan satu sisi penentang narkoba yang sampai sekarang, buktinya bisa tidak terjerat narkoba, padahal dia juga berprofesi sebagai artis.

Selama ini orang menganggap dunia selebritas, media, entertainment dan sebagainya sangat ringkih dengan tipe pergaulan yang bersifat negatif. Stereotipe jelek dibebankan kepada orang-orang yang berada di dalam lingkungan pergaulan ”keartisan”.

Ketika seorang artis tertangkap menggunakan narkoba, orang Indonesia yang sebagian besar (mungkin) masih primitif, dengan santai bisa bilang, ”Yah, enggak heran, namanya juga artis, pergaulannya kan seperti itu, lingkungannya emang buruk.”

Pendapat si artis yang pernah masuk penjara tersebut cukup menarik, kira-kira seperti ini tanggapannya:

Kita enggak bisa salahin lingkungan. Di mana pun kita bergaul, pasti akan selalu ada yang membawa unsur yang negatif. Di lingkungan mana pun, saya, Anda, dia, kalau disebut nama, atau ditanya punya enggak kenalan yang mengkonsumsi narkoba, pasti akan menjawab punya, minimal satu. Narkoba itu, atau apa pun bentuk keburukan yang ada, akan selalu ada di sana. Itu namanya ketersediaan lingkungan. Memang, lingkungan kita menyediakan, tapi yang punya kendali siapa? Yang punya pilihan siapa? Kita, kan? Kalau kita mau, ya ambil aja, wong disediain sama lingkungan. Kalau kita enggak mau, kita bisa nolak, tapi suka atau enggak, ya itu akan tetap ada di lingkungan kita. Bukan berarti karena kita nolak, terus ilang ketersediaannya.

Singkat kata saya setuju.

Seperti prinsip yang selama ini saya usung, life is a matter of choices.
Ketika kita salah ambil keputusan, enggak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa kita salahin selain diri kita sendiri.
Banyak orang yang menyalahkan lingkungan, misalnya, “saya ngerokok karena dari kecil saya tumbuh di lingkungan perokok, atau karena teman-teman saya ngerokok, masa saya enggak.”
Come on!
Pilihannya untuk ngerokok atau enggak ada di tangan siapa?

Lingkungan akan selalu menyediakan segala yang kita perlukan, baik negatif maupun positif.
Tapi, pertanyaannya, keputusan kita apa?
Keputusan itu sesuatu yang vital.
Di balik keputusan itu memang ada faktor-faktor penguatnya, seperti:

1. Berpikir panjang.

Ini cara tergampang menurut saya. Sebelum ambil satu keputusan, pikir dulu yang panjaaannnngggg... sepanjang-panjangnya pikiran kita. Kalau gw begini, nanti gw gimana ya. Bagusnya buat gw apa, buruknya buat gw apa? Enggak boleh egois juga, kita musti bisa mikir, selain buat gw, dampak buat orang-orang terdekat gw apa, ya? Keputusan gw ini bakal bikin malu orangtua enggak, ya? Pake sistem tarik garis, kalau elo bikin satu keputusan di satu poin, ketika elo tarik garisnya, end-up nya di mana? Gw suka menanyakan ini ke diri gw sebelum gw membuat satu keputusan, persis seperti apa yang sering dikumandangkan seorang financial planner ternama, Ligwina Hananto, ”Tujuan lo apa?”

2. Tau value dan punya prioritas.

Menjawab pertanyaan di atas, ”Tujuan lo apa?” kadang enggak gampang. Dilemanya selalu ada di antara kata PENGEN dan PERLU. Untuk itu kita harus bisa prioritas, mana yang kita perlu dan mana yang cuma sekedar kita pengen. Kemudian, untuk nyusun skala prioritas dan menjawab pertanyaan tadi, kita juga harus tau value kita apa. Kalo kira-kira keputusan yang akan kita ambil sangat bertentangan dengan value kita, ya buat apa?

3. No compromise.

Hal ini juga yang seringkali bikin salah ambil keputusan. Berkompromi. Manusia cenderung enggak sabaran, mau yang A, ketemu yang A minus dua, mereka berkompromi, ya udahlah enggak apa-apa, daripada enggak dapet. Mengingat postingan saya sebelumnya tentang relationship, yang juga bisa diterapkan di area mana pun, kompromi di depan = bayar belakangan.

4. Tanya pendapat orang.

Ini juga salah satu faktor vital. Sebelum membuat satu keputusan, gw selalu tanya pendapat orang lain. Bukan sembarangan orang, tapi orang-orang yang menurut gw udah lebih expert dari gw, udah pernah ngalamin apa yang gw alamin, udah lebih mengerti dari gw, orang-orang yang gw look up to, leaders, best friends. Kebiasaan banyak orang adalah, minta pendapat ketika keputusan sudah dibuat. Sudah bikin keputusan, baru minta pendapat, ”Gimana menurut lo?” Itu namanya bukan minta pendapat, tapi itu salah satu bentuk cara meyakinkan diri sendiri bahwa keputusan yang udah (terlanjur) diambil, sama sekali bukan keputusan yang salah.

Jadi, keputusan apa yang udah kalian ambil hari ini?

Minggu, 24 Agustus 2008

(From the book) Cinescopes

I’m now reading “Cinescopes”, a book that reveals your character through your favorite movies.
This book is a really fun book to read.
So basically our most favorite movies really show who we really are.
There is a list of any kind of movies in the back pages, alphabetically listed, and it is very updated.
You can even find Men of Honor or The Dark Knight there.
Simply pick your 10 most favorite movies, each movie has a code.
The code will lead you to your character review.

And according through the code, I am The Chosen Adventurer.

Chosen Adventurers are driven to learn more about the world, fueled by a strong sense of curiosity. They tend to be open-minded and like to feel the blood pumping through their veins. Adventurers are daring, cultured, and bold.

Fact: Intinya satu, emang gw termasuk orang yang kepo.

Personality Strengths: No matter the situation. Adventurers get the job done. Times may be hard, but their character and integrity always stay the same. Adventurers are at their best when they can channel their strength to overcome an obstacle. Adventurers are open to new experiences, and they’re extremely confident when meeting new people. They respect the diversity of the world and treat the earth with a sense of reverence. This is why they readily find wise souls to mentor them in their careers and life. If someone needs rescuing, and Adventurer is the one to do the job.

Fact: I can always handle any tasks given to me. Dan terlalu sibuk ngurusin orang lain, enggak bisa liat konflik sedikit, gw pengen ikut campur dan ngeberesin konflik itu.

Personality Weaknesses: Adventurers find themselves vulnerable in emotional situations. They’re used to getting their way by being headstrong. This attitude works for them most of the time, but it isn’t always appropriate in delicate emotional situations. When someone close to them craves empathy, an Adventurer can become very matter-of-fact. Their demeanor comes across a gruff even though they don’t mean to be.

Fact: I am (yes) vulnerable and (yes) a bit sensitive. But sometimes I hide it so people would still think that I’m tough.

They are so quick to take on new skills that other people seem painfully slow in comparison. “What’s taking so long?!” is a thought that often rushes through their minds. If the television is on the fritz, they’re tempted to throw it away before tinkering with it. This impatience translates into a quick temper that can also be directed at those around them. That’s not to say that they’d throw a person in the garbage – but it depends on the person.

Fact: Impatience, I am. Haha. Suka gregetan dan jadi cranky sendiri kalo liat orang yang enggak ngerti kalo diajarin atau dibilangin. Suka kesel kalo people dont meet my expectations dari segi kualitas.

Their Deepest Secret: They actually worry a lot. They may appear to have it all together, but on the inside, they’re unraveling from stress. Adventurers really do want to vent their frustrations, doubts, and concerns to a trusted partner, but they seldom do. This is because they are proud individuals who don’t like to think of themselves as weak in any way.

Fact: Emang enggak gitu yakin sama diri sendiri sebenernya. Tapi dari luar orang harus liat bahwa gw bisa.. hoho. Makanya banyak orang yang judge gw dari luar itu enggak perdulian, itu semua hanya kamuflase untuk menutupi kekurangan. LOL.

At work: They love to push themselves in their careers, and they tend to achieve a lot in a short amount of time. They have loads of discipline, and they’re great at planning ahead. Adventurers project a self-assured quality that catches the eye of their superiors. Bosses tend to admire their firm character.

With friends: Friends see Adventurers as friendly, soulful, and intelligent. They can act as motivators: an Adventurer may force you to spend the night in the freezing desert to enjoy the stars, and despite your initial resistance, you’ll thank them for it later.

Fact: Sebagai temen mungkin gw suka kelewat tega dan terlampau pedes kalo ngomong. Tapi most of them bakal balik dan say thanks.

Friends can always count on Adventurers to be trustworthy; they never reveal more than they should about their friends, and they always say the right thing to everyone. You certainly won’t need to kick them under the dinner table; more likely, they’ll be kicking you.

Friends can’t always count on Adventurers to remain upbeat. During a road trip, they may give someone the silent treatment because they’re not driving fast enough. If the waiter is taking too long to bring the food, an Adventurer may be tempted to leave the restaurant.

Fact: Iya banget suka ngambek! Haha.. bukan ngambek sih, tapi males aja liat orang yang enggak bener kerjanya. Masa udah gede masih musti dikasih tau dan diajarin. Orang udah tau kalo gw ditanya enggak ngasih pendapat, tandanya gw males, atau udah strongly disagree. Hoho.

Film favorite gw yang akhirnya menentukan karakter asli gw:
Cars, The Dark Knight, Fantastic Four, Finding Nemo, The Incredibles, Iron Man, Jurassic Park, The Lost World, Spiderman 3, Stardust, 300, Titanic, Transformers, dan X-Men.

Haha.. gw enggak pernah sadar bahwa ternyata I’m a huge fan of heroic-theme movies. Atau yang berbau petualangan dengan ending jagoan menang dengan bahagia. Hahaha... Padahal di antara list film favorit gw juga banyak yang berbau drama atau komedi seperti Amelie, Babel, Narnia, Click, Devil Wears Prada, Garden State, Little Miss Sunshine, Lost in Translation, Love Me If You Dare, Marie Antoinette, Men of Honor, Punch Drunk Love, Reality Bites, The Simpsons Movie, Sin City, The Virgin Suicides, dll.

For any of you who want to reveal your character through your favorite movies, you can simply buy the book “Cinescopes”, or just visit www.cinescopes.com. It’s fun!

Kamis, 21 Agustus 2008

Cerita dengan Si Cumi, Kepo, dan Ketek

Saya punya tiga orang teman baik, yang masing-masing saya namai sesuka saya. LOL.
Kenal mereka sudah lumayan lama.
Dengan si Kepo sudah 2 tahunan.
Dengan si Ketek sudah 1 tahun.
Dengan si Cumi hampir 1 tahun.

Dulu kita sering pergi berempat, waktu sama-sama belum sesibuk sekarang.

Segarra.

Kemang.


Pasific Place.

Itu foto kita berempat terakhir.
Dan stelah tiga bulan enggak jalan bareng, kemarin kita sempat hangout bareng lagi.
Si cumi mamanya buka restoran dan dia semakin sibuk.
Si kepo udah punya cewe.
Si ketek juga sama sibuknya.
Saya sendiri juga gila-gilaan sibuknya.

Tapi, saya tau.. yang penting dalam pertemanan bukan jarak.
Atau kedekatan.
Atau seberapa besar frekuensi pertemuan kita.
Yang penting kesediaan untuk selalu ada ketika salah satu teman kita membutuhkan.



ps: yg ini fotonya sama dudut di karawaci.

(From The Book) Vital Friends

We expect the other person to meet our every need – to be the one who pushes us to achieve; who listens unconditionally; who always lends a hand; and who is, all the while, the most fun. Whether it was a good friend, someone we were dating, or a colleague at work, we always expected that person to do several things to uphold his or her end of the relationship. But it never happened, and we were always disappointed.

Maybe we should have looked in the mirror. When thinking about our friendships – from the vantage point of the other person – it is clear that we cannot meet many of the expectations we have had of others. There are countless things we expect from our friendships. We may have had a parent, teacher, or manager who expected us to be good at nearly everything. If so, we know how frustrating it can be when another person expects so much from us, and – no matter what we do – we cannot deliver. It is unlikely that one person can deliver everything.

The problem is, friendships are not designed to be well-rounded. It’s so damaging when another person focuses on what we do not bring to the friendship. The key to any great friendship: focusing on what each friend does contribute to our life. We should not expect any of our friends to be good at EVERYTHING.

If we want to make a knife work more effectively, we sharpen the edge that is already designed to cut. Sharpening the opposite side of the blade would take a substantial amount of time and make the knife more dangerous. Attempting to sharpen the handle would simply defy common sense, as it was never meant to be sharpened. We try and force one person to be sharp in every way – even when it’s a useless or potentially destructive exercise.

Instead, the key is to know the areas where each friendship has the most potential for sharpening.

Vital Friend: 1. Someone who measurably improves your life. 2. A person at work or in your personal life whom you can’t afford to live without.

Does proximity matter in vital friendships? Do friends need to live nearby?

Initially, most people thought proximity could be a major issue. Proximity matters, but maybe not in the case of vital friendships. Proximity matters at the time of FORMING friendships but not necessarily in MAINTAINING them. Strong ties remain strong regardless of distance.

Rabu, 20 Agustus 2008

Another lesson about relationship

I: Gw stuju soal topik lo yang “Jangan Nurunin Standar Buat Pasangan Hidup”.
U: Iya, cuz in the end, I got what I want, everything I want.

I: Tapi gw capek aja banyak banget yg sekarang nanyain gw, “bo elo belum pacaran juga? Kasian banget, sih.”
U: Cuekin aja. Malah enak hatinya.

I: Iya, dan gw mikir, tujuannya gw pacaran apa? Belajar komitmen? Belajar komitmen bisa diliat dari gw nge-handle kerja kuliah sama gereja. Kuliah, kerja, gereja, aja gw enggak bisa handle dengan maksimal, apalagi ditambah punya pacar.
U: Iya, dan komitmen itu enggak butuh belajar. Butuh kesiapan mental iya dan kesadaran, kedewasaan, dan realistis.

I: Tapi kadang suka insecure juga sih, yang pengen pacaran gitu. But it’s like the very least thing yang gw butuh sekarang.
U: Pingin sih wajar banget. Tapi bagus banget elo bisa bedain mana yang elo pingin dan mana yang elo perlu.
I: Iya dan gw percaya sih God’s timing enggak pernah terlambat, walaupun kalo menurut mata orang biasa kadang jalanya lamaa banget. But one thing fo sho, He’s never late.

U: Kalo soal pingin, boleh tau enggak pingin apanya?
I: Pingin punya orang yang bisa diajak pergi, enggak harus ngandelin jadwal temen-temen. Pengen punya orang yang diajak cerita.
U: Ow.. ya, yaa. Tapi kalo salah pilih atau salah satu belum siap juga enggak bisa diajak cerita kok. Jadi punya pacar bukan jaminan ada yang bisa diajak ngomong.

I: Tapi kadang udah ada yang bagus di mata, like perfect, tapi takut ilang gitu. Kalo nungguin gw siap keburu diambil orang, walaupun kata orang tua jodoh sih enggak kemana, ya.. hehe.
U: Haha.. trust me enggak ada yang kayak gitu. Everything beautiful in it’s time. It’s nya 2 orang pada saat yang bersamaan. Kalo cuma 1 enggak bisa beautiful. It takes two to make it happen at one time.
I: Hoho.. berarti jalan gw masih jauh banget dong nyari satu orang itu. Enggak bisa ya, kalo nemu orangnya terus dibekuin dulu di kulkas. Hahaha…
U: Hahaha… semuanya akan berjalan super natural kok. Elo enggak akan tau, tiba-tiba elo ketemu orang itu.

U: Tapi tentunya elo harus tau dulu kriterianya apa, jadi lebih gampang untuk cut down segala kemungkinan.
I: Kriteria mah udah list-nya.
U: Ya udah, stick to it. Inget, jangan pernah discount. Soalnya kalo gitu lo harus bayar di belakangan. Compromise di depan = bayar belakangan.
I: Umm true. Gong banget deh lo.

I: Tapi, gimana kalo enggak semua orang bisa kayak lo? Letak kesalahannya di mana coba?
U: Maksudnya?
I: Like they’re 30 something, dan masih bertahan dengan kriteria mereka, ya mau enggak mau supaya dapet pasangan mereka harus compromise dong, daripada jadi perjaka tua.
U: I’m almost 30, =( Well kalo menurut gw, yang jadi masalah kan kalo perjaka tua dengan kualitas anak remaja. Nah, itu bikin mau muntah. Tapi kalo umur 30 dengan kualitas 30 yang excellent enggak akan jadi masalah. Tapi menurut gw cowok 35 single itu masih wajar.

Selasa, 19 Agustus 2008

Jumat, 15 Agustus 2008

my being editor in chief days

Finally it's been a year.
This month is my beloved magazine's, nu:B, very first birthday.
So last nite me and some of the contributors were celebrating the birthday with NUBI (my magz' icon) in XKTV Senayan City.





Really had a great fun for the past 1 year.
Thanks for all the family and friends that been supporting nu:B..
Biggest thanks for Laras, for recruited me as your assistant a year ago..
Then promoted me as your new Chief Editor a few months ago.

All the journalist, contributors, and photographers, thanks for all your efforts!!

Dinda, Kris, Vina, Alunk, Meljie, Titan, Kiky, Mario, Jeffry, Sherline, Ari, Ida, Elaine
Marcos the art director
And of course the owners Jeff and April.

trip to bandung

I just had a perfect one getaway day on last Sun!
Me and one of my bestie, Cath, went to Bandung
with the concept of road trip.
So we went by travel agent, and there we used public transportation.
Bandung zoo park, asia afrika, braga, and paris van java.. were those that we visited.

It was surelly hell a lotsa fun..
we did the what so-we-call "Amateur-Artsy-Photo-Hunting"
and this was one of the moments that we successfully captured
i so named this pic as "Me Brought My Strappies To Braga Street Side". hoho.


And this is me pic wif Cathrine in "sushiasik" at parisvanjava
(if you translate the name of the resto into bahasa. lol.)

A chat wif the same lonely person of our worlds

Iseng-iseng chit-chat kebo siang tadi dengan seorang teman, about our duty as Christians amongst our daily worlds.

I: Gimana menurut lo soal acara semalam?
U: Menyenangkan. Message-nya dapet banget. Kalo gw tau bakal kayak gitu, gw bakal usaha banget nyuruh temen-temen gw dateng. I mean u kno me. I’m not the person who likes to invite people to an event like this. Tapi for the very 1st time, gw ngerasa aja bahwa temen-temen gw mustinya denger.

I: Iya sometimes gw juga ngerasa gitu. But most of my friends are nons, you kno. Dan kalo pun believers, ya they just don’t care.
U: Mine too! I kno.. but still..
I: I mean, emang semua orang punya tanggungjawab masing-masing. Tapi kalo ke temen-temen gw, somehow, gw ngerasa they’r just not my responsibility. Yet sometimes, gw juga ngerasa, kalo bukan gw siapa lagi?
U: Hahaha.. iya banget. Tapi kayaknya a bit impossible kalo buat gw. I can’t even picturing myself do that. Gw cuma berpikir, let em see my life, I hope I’m different so they can see something. Tapi gw masih ngerasa gw enggak different sama sekali! Hehehe…

I: U kno what? SAMA BANGET! Hahaha. Gw enggak bisa bayangin gw yang sok nasihatin temen-temen gw gitu. Gw cuma bisa berharap mereka bisa liat hidup gw. Gw bisa kayak gini sekarang karena udah kno the words of God. Tapi gw juga enggak ngerasa beda dari mereka, probably just a wee bit better than them, but the rest kayaknya masih sama.
U: Yea.. I mean, we kinda succeed with the social life, but with this, real hard enggak sih kayaknya? Ups and downs nya berasa banget. Enggak kayak mereka yang di sana, kayak uppp mulu.. enggak ada temptations-nya.
I: Iya kadang gw kalo ngeliat mereka suka iri, tapi kadang ngeremehin juga, suka mikir “ya elo hidup lo kan enggak ada apa-apanya”.

U: Padahal being relevant generation harusnya a bit kayak kita enggak, sih? Yang penting enggak kelepasan.
I: Iya banget. Menurut, gw selama enggak kelepasan ya fine. Tapi susah juga sih, mungkin secara ekstrem kita enggak kelepasan. Tapi secara yang kecil-kecil masih kelepasan, kayak ngomong enggak bener. Soalnya susah sih kalo terlalu lempeng juga.
U: Hahaha.. iya makanya.

I: Terus gimana ya biar bisa maksimal jadi relevant?
U: Dunno. Gw buntu kalo ditanya gitu. I mean, do they really care about us being different or if our life is different.
I: Yang gw tau, kalo kita totally being different, they will call us freaks. Dan kalo our life is different, I don’t think they care juga, karena most of them dateng dari dunia yang gampang, nyaman, dan serba ada.

U:Iya tapi sebenernya menurut gw, kita jadi susah karena the idea of being bener itu udah ada patokannya. Kayak have to be like this or that, do this and that.
I: Yeaa.. I mean I do have the passion for them.. but u kno.
U: People like us to harus lebih banyak lagi enggak, sih? Biar orang lebih notice?
I: Iya sih, justru itu, kalo enggak kita yang mulai, mungkin jumlah orang-orang kayak kita di circles itu enggak tambah-tambah banyak. Tapi gimana mulainya? Hohoho.

U: That’s the problem! Haha. Gw malah takut orang ngeliat gw double-faced. Secara party tapi aktif juga di gereja. Banyak banget yang mikir dua dunia itu enggak bisa disatuin.
I: Emang enggak bisa disatuin, sih. Tapi kebanyakan orang mikirnya kalo ke dunia yang satu, enggak bisa main-main di area yang satunya. Hoho.
U: Kayak si L sama A, tuh mereka hebat bisa gitu di dunia mereka.

I: Berarti intinya, semua orang orang ya emang harus ngejalanin tugasnya di dunianya masing-masing. Sesusah apapun. Mestinya ya kita totally jadi orang bener yet relevant to our world, which is a very HARD thing to do!
U: Iya.. hahaha.

The Gardener or The Builder?

In life, each person can take one of two attitudes: to build or to plant.

The builders, might take years over their tasks, but one day, the finish what they’re doing. Then they find they’re hemmed in by their own walls. Life loses its meaning when the building stops.

Then there are those who plant. They endure storms and all the many vicissitudes of the seasons, and they rarely rest. But, unlike a building, a garden never stops growing. And while it requires the gardener’s constant attention, it also allows life for the gardener to be a great adventure.

Gardeners always recognize each other, because they know that in the history of each plant lies the growth of the whole world.

Paulo Coelho, from the book, Brida.

The Dark Knight (whysoserious?)

Lagi-lagi karena rasa penasaran yang lumayan tinggi, setelah mendengar sejumlah komplimen teman-teman yang disanjungkan kepada film “The Dark Knight”, saya, yang sebenarnya tidak terlalu suka sama si jagoan kelelawar, Batman, kemarin ini rela pergi nonton sendiri film tersebut, demi memuaskan rasa ingin tahu saya yang memang cukup tinggi.

Hasilnya?
Film berdurasi dua jam lebih itu memang layak disanjungi oleh keempat ibu jari.
Baik dari segi visual yang memanjakan mata, adanya tampilan berbagai kecanggihan perlengkapan bertarung milik Batman, hingga jalan cerita yang lumayan bikin penasaran dan memainkan alur emosi. Masih ada plusnya, yaitu akting (Alm.) Heath Leadger, sebagai Joker, yang penuh totalitas.

I always fall for a movie because of its script (if you’re a musician, the soundtrack must be the first thing that will attract you from a movie, and since I am a writer, the first thing that attracts me is the script). Terlepas dari visualnya jelek atau tidak, kalau ada pesan tersendiri yang bisa saya tangkap dan cukup nyentil pikiran melalui skrip yang ada, saya pasti akan mengklasifikasikan film tersebut dalam kategori layak tonton, atau highly recommended.

“The Dark Knight” buat saya bisa dijadikan sarana bercermin setiap penontonnya. Soalnya, berbagai jenis karakter manusia sepertinya ada di film itu.

Orang-orang di dua kapal feri yang mau diledakkin. Menurut saya, penggambarannya bagus banget, karena di situ seperti dibandingkan, apa iya orang-orang biasa yang kelihatan normal dari luar udah pasti lebih baik dari mereka yang punya cap kriminal dan hidup dalam penjara? Atau ternyata sama aja buruknya? Atau mungkin malah yang kriminal yang lebih baik? Bagian itu seru banget. Memperlihatkan gimana dalam kondisi terdesak, sifat asli manusia bisa keluar, yaitu egois dan mementingkan diri sendiri. But in the end, tetep aja kata hati yang menang. Karena ternyata kedua kapal memutuskan untuk tidak terprovokasi untuk meledakkan kapal yang satunya.

Yang pasti dari film ini saya bisa belajar satu hal. Bahwa manusia itu pasti punya alasan di balik setiap tindakannya. Terlepas dari alasannya itu bener atau salah. Contohnya Joker, jadi seorang psikopat sadis seperti itu karena background keluarga dan masa lalunya yang enggak gitu bagus. Walaupun sebenarnya, kalau kita jadi Joker, kita bisa aja milih, untuk enggak terpengaruh sama masa lalu dan background keluarga, enggak ngasih makan yang namanya rasa benci, dendam, dan rasa insecure karena punya keluarga yang enggak sempurna.

Atau Harvey Dent, orang baik dan hebat, yang justru malah jadi salah satu musuh Batman, Two-Face. Setelah kehilangan Rachel Dawes, dan mengalami luka bakar di wajah, jadi kalap, putus asa, dan memilih untuk memuaskan rasa benci dan dendamnya. Life is just a matter of a choices, agak susah mungkin untuk dijalanin, tapi susah bukan berarti enggak bisa kan.

Makanya kita musti bisa belajar mengerti, belajar menempatkan diri di posisi orang lain, dan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Kita jadi manusia, kadang cenderung judgmental, seenaknya mencap apa yang dilakukan orang itu sebagai sesuatu yang tidak benar, dan menganggap apa yang kita percayai itu benar. Padahal definisi benar kita belum tentu sama dengan definisi benar orang lain.

Menerima orang lain, mengerti dan toleransi sama orang lain emang enggak gampang. Pilihannya cuma dua, complain sama keberadaan orang lain yang menurut kita enggak banget, atau mau belajar terima kondisi dan kekurangan orang lain dengan memperbesar kapasitas hati kita. The decision is yours.

Saya sendiri, akhir-akhir ini lagi ada di posisi itu. Mau pilih mana, ngedumel, ngomel, dan cranky sendiri karena harus ketemu sama orang yang cara pikirnya enggak bisa saya ngerti. Atau mau belajar sabar, dan menganggap ini sebagai sarana pembentukan karakter.

I hope you get my message, you can choose whether you want to be a complainer or a person with a bigger heart. Lagi-lagi, life is just a matter of choices.



P.S. Oh ya sekedar iseng-iseng silahkan buka www.whysoserious.com

Hancock

Kemarin akhirnya saya kesampaian juga nonton Hancock.
Setelah penasaran sama pendapat teman-teman yang udah nonton dan mengkategorikan film tersebut sebagai film jelek dan enggak punya jalan cerita yang jelas, walaupun visualnya memang bagus.

Ternyata, setelah saya tonton, saya punya pendapat sendiri.
Memang, jalan ceritanya kurang maksimal, visualnya memang bagus kalau dibandingkan dengan teknik visual dari negeri sendiri, tapi menurut saya, film tersebut menyampaikan banyak pesan menarik yang bisa dipelajari.

Apa aja sih yang bisa dipelajari dari film Hancock?

1. Belajar bersyukur. Manusia jaman sekarang cenderung egois dan penuntut. Sudah terbiasa dengan segala kenyamanan yang ditawarkan dunia, begitu merasa tidak nyaman sedikit complain. Contohnya, masyarakat yang enggak suka sama kehadiran Hancock. Hancock udah berhasil menghentikan sebuah perampokan, bukannya terima kasih, terlepas dari cara Hancock yang emang agak nyeleneh, mereka malah marah-marah dan menganggap Hancock sebagai perusak fasilitas.

2. Itu kalau dari sisi masyarakat. Kalau dari sisi Hancock kita bisa belajar untuk jadi bijaksana. Berpikir dulu sebelum bertindak. Contohnya, waktu Hancock menyelamatkan Ray dari kereta api, di situ banyak warga yang protes sama cara Hancock menghentikan kereta api. Kenapa Hancock enggak angkat aja mobilnya Ray, terbang, terus dikembalikan lagi dengan aman, sehingga enggak harus ada banyak kerusakan yang terjadi. Pelajarannya, sehebat apa pun kita, kalau kita malas mikir, kalau kita bertindak seenak jidat, orang enggak akan respek sama kehebatan kita.

3. Belajar untuk tampil menarik. Maksudnya? Ya menarik dari cara kita mengemas diri kita, baik dari segi penampilan, kebersihan, cara bicara, tingkah laku, dan sebagainya yang terlihat dari luar. Manusia selalu melihat penampilan. Enggak usah bohong, setiap kita ketemu orang baru, kita pasti langsung nilai orang itu dari cara berpakaiannya, skala 1-10, bahkan ada yang minus. Apa yang kita tampilkan dari luar itu penting, impresi pertama yang orang dapat dari apa yang kita kenakan itu penting. Gini aja, kalau kita ketemu orang yang menurut kita menarik, kita pasti ada keinginan untuk kenal orang itu lebih lagi, soal karakternya gimana, itu urusan nanti. Tapi kalo dari luar keliatannya enggak menarik, pengen enggak untuk tau orang itu lebih lagi?

Dari Hancock kita bisa belajar, bahwa sehebat apa pun kita, kalau kita enggak pinter mengemas diri kita dengan baik, ya orang juga enggak akan tertarik dan respek sama keberadaan kita. Penampilan luar memang penting, tapi harus diimbangi juga sama karakter yang bagus. If you can’t attract me by your outlooks, how can you attract me more?

4. Belajar menahan diri demi perubahan ke arah yang lebih baik. Contohnya, waktu Hancock menyerahkan dirinya ke polisi, waktu lagi bacain permintaan maaf di depan pers dan masyarakat, Hancock harus tahan dihina-hina sama masyarakat. Dia harus betah tinggal di penjara selama 2 minggu, padahal kalau dia mau kabur bisa aja. Ikut kelas anger management dan terapi alkohol. Dan inget waktu Hancock ngambil bola basket di luar penjara, dia sempat tergoda untuk kabur, tapi ternyata dia terbang balik ke dalam penjara. Intinya, kalau kita mau berubah, it takes persistence and commitment, serta routine consistency. Yang paling dasar sih it takes your willingness to change. No matter how hard it is.


5. Belajar patuh dan merendah. Hancock diajarin etika sama Ray kalau mau jadi pahlawan yang diterima masyarakat. Kalau mendarat jangan sampai ngancurin aspal kan bisa. Kalau mau masuk ke gedung kan bisa lewat pintu, walaupun dengan kekuatan Hancock, dia bisa masuk dengan cara apa pun. Dan belajar untuk kasih komplimen ke orang lain, seperti bilang ”Good Job” ke polisi-polisi.

6. Belajar berkorban. This might sound so cliché, tapi saya terharu ketika Hancock mengorbankan perasaannya terhadap Mary, supaya Mary bisa tetap hidup. Begitu juga dengan Mary, yang memilih untuk meninggalkan Hancock 80 tahun yang lalu di sebuah rumah sakit, supaya Hancock bisa tetap hidup.

7. Kalau dari sisi Ray, kita bisa belajar menjadi teman yang baik. Kriterianya apa? Pertama, harus bisa bikin temen kita percaya sama omongan kita. Berkali-kali Ray berusaha meyakinkan Hancock dengan rencananya sambil bilang, ”trust me”, ”you gotta believe me on this”. Setelah ngomong gitu, tentu harus ada pembuktiannya, jangan cuma ngomong, supaya temen kita bisa bener-bener percaya sama omongan kita. Dan belajar tegas, plus harus berani ngomong yang pedes ke temen. Apalagi kalau punya temen yang bebal. Dikasih tau berkali-kali enggak mau denger. A true friend is someone who tells you what you NEED to hear, not what you WANT to hear.

8. Yang terakhir, dan yang paling menarik menurut saya adalah sepenggal kalimat yang sempat diucapkan Mary. Yang intinya kurang lebih seperti ini, ”Hidup kita bukan ditentukan sama takdir, tapi sama pilihan dan keputusan yang kita buat sendiri”. So stop blaming your destiny everytime you have problem, or whenever shit happens to you. Who you are right now is determined by your decision in the past, is determined by your choices in the past, is determined by the things that you’ve done in the past.

Note ini dibuat tanpa maksud menggurui. I know I am not a perfect human, and I am not, in any ways, better than you all. This is just a media for me to share my thoughts.

Comfort Zone

Sudah dua hari ini saya mengalami perbincangan menarik dengan beberapa teman dekat.

Biasalah, mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir.. yang selama ini asyik bergantung hidup sama orang tua, sebentar lagi harus berhadapan dengan yang namanya kerja praktek alias magang alias internship, sebentar lagi wisuda, dan dilepas ke dunia nyata berusaha bertahan hidup dengan usaha sendiri.

Dua hari kemarin dengan seorang teman baik, di mobil dalam perjalanan pulang ditemani macet Jakarta, kita bicara soal nikah, hidup sendiri, dan kemapanan. Agak mengerikan..

Tadi siang, selepas makan siang, kembali saya dan beberapa teman mengangkat topik yang sama.

Siap enggak sih kita-kita ini yang udah segitu enaknya selama kurang lebih 20 tahun bergantung hidup sama orang tua, mulai mandiri.. tinggal, cari duit, dan mengurus segala-galanya sendiri, tanpa harus lagi mengusik dan membebani orangtua?

Seorang teman yang tinggal sendiri, bilang, betapa dia kangen orangtuanya yang tinggal di daerah lain di pulau Jawa. Berasa gimana ribetnya ngurus rumah sendiri, bayar tagihan sendiri, kerja, belanja dan ngatur uang sendiri.

Seorang teman bilang dia enggak sanggup untuk kerja dan membayangkan dirinya tinggal jauh dari orangtua, plus enggak ada pembantu pula.

Bayangan-bayangan rumit pun mulai menjajah. Bayangan segenap kebutuhan yang harus dimiliki dengan usaha sendiri, mobil, rumah layak tinggal dengan perlengkapannya, biaya kebutuhan sehari-hari, uang sekolah anak (yang enggak tau berapa mahalnya ketika angkatan saya mulai berkeluarga nanti), belum perintilan-perintilan lain, misalnya anak minta dirayakan ulang tahunnya.

Yang perempuan ketakutan, apa iya bisa dapat suami yang memenuhi taraf hidup mereka.
Yang laki-laki ketakutan juga, apa iya kita bisa memenuhi taraf hidup kita, istri kita nanti, yang punya orangtua juga, which is kita harus bisa tanggungjawab juga ke orangtua sang istri, serta biaya kehidupan anak-anak?
Mengingat jaman sekarang yang apa-apa serba susah dan mahal?

Salah enggak sih kita dilahirkan pada generasi ini? Generasi MAHAL. Well, enggak pernah ada yang salah si di dunia ini, segala sesuatu itu ada alasan dan maknanya sendiri.

Bayang-bayang gila sempat terlintas. Kebetulan tahun ini saya berusia 21 tahun. Ingin rasanya merayakan perpindahan umur di stage 20an ini dengan meriah. Tapi gara-gara pembicaraan tadi justru malah ketakutan dan kesuraman yang datang ke dalam imaji.

Hidup yang semakin penuh tuntutan dan tanggungjawab, serta rasa malu kalau masih bergantung pada orangtua. Saya jadi ingin merayakan ulang tahun saya dengan tema hitam-hitam, dengan makanan basi, ikan asin, dan minuman-minuman pahit seperti jamu, untuk menandai keengganan untuk beranjak lebih tua.

Sekarang kita semua mengerti, kenapa ibu kita suka survey tempat belanja kalau mau belanja bulanan. Beli kebutuhan beras, minyak, gas, air, listrik, sampai yang kecil-kecil kayak kebutuhan mandi. Kita selama ini tinggal pakai, enak minta orangtua. Sementara mereka yang pusing harus putar otak, gimana caranya supaya kita, anak-anaknya, bisa hidup dengan layak dan enggak kekurangan.

Sekarang kita juga ngerti, kenapa kadang-kadang si ayah suka ribut kalau kita boros pake listrik, nyalain lampu sembarangan, atau mungkin enggak mau makan di rumah, karena menunya kurang enak. Kadang kita juga enggak ngerti, kalau kita minta sesuatu, dan permintaan kita harus ditunda oleh orangtua.

Mungkin selama ini kita udah terlalu nyaman ada di comfort zone yang diberikan oleh orangtua. Mau apa-apa tinggal minta. Nah, sekarang giliran kita mau dilepas sendiri.. agak berat rasanya, tapi mau enggak mau harus dijalani kalau memang mau maju.

Hmm.. ya sudah, seperti apa nanti hasil dari perbincangan saya dan teman-teman di kemudian hari? Mari sama-sama berdoa dan berharap melihat hari depan yang moga-moga sukses dan bahagia. Amin.

you do, don't you?

this one goes for all the dumbass j in this universe.
taken from the red jumpsuit apparatus lyrics’ face down

Do you feel like a man when you push her around?
Do you feel better now as she falls to the ground?
Well I'll tell you my friend, one day this world's going to end
as your lies crumble down, a new life she has found.

A pebble in the water makes a ripple effect
every action in this world will bear a consequence
If you wade around forever you will surely drown
I see what's going down.

I see the way you go and say you're right again,
say you're right again
heed my lecture

"Terserah, Boy"

Dosa apa sih yang seringkali kita pikir, kecil, enggak bakal ngerugiin banyak orang, dan sekali dilakukan kayaknya bikin pengen untuk ngelakuin lagi..

Menurut gw sih BOHONG.

Enggak enak ya kalo tau kita dibohongin??
Apalagi kalo dibohongin sama orang-orang terdekat misalnya sodara, pacar, teman atau sahabat.

Banyak banget kasus bohong-membohongi yang sering gw denger..
Gw sendiri juga beberapa kali ngalamin.
Paling gedeg kalo dibohongin sama temen sendiri ya..
Misalnya dia punya masalah, terus nyeret2 kita ke dalam masalah itu bawa-bawa nama kita.
Terus udah dibantuin segala macem, udah ditunjukkin kalo kita perduli sama dia, balas budi yang didapet apa?? Dibohongin.
Mending sekali dua kali, tapi kalo berkali-kali gimana tuh?

Yah gw enggak sok suci sih. Gw juga suka bohong.
Tapi mbok ya kalo bohong tuh yang masuk akal, dan kalo udah ketahuan bohong mbok ya ngaku aja, ngaku kalo elo emang bohong dan minta maaf, bukannya malah bikin kebohongan baru.

Hello??

Hah, suka capek kadang ya sama temen sendiri.. kalo ada temen yang dapet masalah, kita sebisa mungkin memposisikan diri sebagai pendengar yang baik.. be there for them. Kita kasih nasihat, saran dan sebagainya demi kebaikan dia sendiri..

Tapi nasihat kita cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan.. dianya bikin lagi kebodohan yang sama. Tapi nanti kalo udah apes, nyari-nyari kita lagi, nangis curhat-curhat.

Hmm.. gw enggak tau ya kalian gimana, tapi kalo gw sih termasuk tipe temen yang tega. Elo boleh dateng ke gw kalo ada masalah, gw kasih nih solusinya, diikutin sukur, enggak diikutin juga enggak apa-apa. Tapi satu, kalo kejeblos lagi jangan cari-cari gw ya!

Paling ujungnya gw cuma bisa bersenandung kecil “Terserah Boy.. ku hanya mengingatkan..” sambil geleng-geleng sedih ngeliat temen gw yang keras kepala dan enggak mau dibantuin.

Dokter mana bisa nyembuhin pasien, kalo pasiennya sendiri enggak merasa butuh untuk disembuhin.

Hectic Weeks!

Hectic Weeks!

I’ve been having a very hectic weeks lately, especially after I got my promotion.. (hehe ya iyalah masa ya iya dong)

It’s just sometimes, it makes me missing (like really really really) my youth.
You know, daydreaming time, laid back, hanging out with my friends after campus, go to mall, watch movies, chatting in coffee shop, party in weekend, sleepover at friends

It just suddenly gone.. like somebody has taken it away from me.

I have to go to the office after my campus, still working on some articles in weekend, chasing all the deadlines, make sure that everything went well, huff.. it’s really not easy to run a magazine. If ever I hear someone talking cheap about how easy it is to run a magazine, I’m so gonna punch his face.

But I do love my job.

I’m not complaining here, or being an ungrateful one.. no, not at all, never crossed my mind.

It just, some times I feel so tired, got so sleepy when I came home, not to forget that I still have to deal with all my campus assignments. So many tasks, so little time.

But as one of my friend said to me, I’d prefer losing my youth in your way. Because you lost it for the sake of doing something that you love, and obviously this gonna bring a great impact to your future. You know a lot of people out there are missing their youth, they lost their future because they’ve done nothing in their youth.

Yeah, so I nodded and agreed to what he said.

Abis "I Love You" Ada Apa Lagi?

Laki-laki: Aku sayang kamu.

Perempuan (ketutupan awan gede): Aku juga sayang kamu.

Laki-laki: …

Perempuan (berharap ditembak): Terus..?

Laki-laki: Umm.. ya udah, aku cuma mau ngutarain perasaan aku aja. Aku belom bisa kasih komitmen sekarang, abis kayaknya masih kecepetan, gimana kalo kita lakukan ini pelan-pelan banget, sambil saling kenal dulu?

ADUHH.. pernah ada di situasi kayak gitu?? Jangan sampe ya, amit-amit!! Itu namanya HTS-an.

Menurut gw, pengakuan itu butuh ditindaklanjuti dengan yang namanya komitmen. Kalo cuma bisa bilang sayang, tapi enggak bisa kasih komitmen, itu namanya enggak sayang, dodol!!

Kalo elo sayang, begitu elo akuin perasaan elo, akan kasih tindak lanjut, sesuatu yang bisa elo tawarkan sebagai kelanjutan dari ekspresi sayang elo, yang notabene udah pasti, udah absolut diharapkan perempuan adalah KOMITMEN!!

Kalo cuma mau nunjukkin rasa sayang juga bisa, sebagai temen, ada begitu banyak cara untuk nunjukkin rasa sayang dan perduli lo ke seseorang.

Perempuan, hati-hati, kalo ada cowok ngomong gini:

I love you, but I can not make any commitment right now. I want to take this thing really slow, besides I want to get to know you more first.

Sebenernya yang dikatakan adalah ini:

I love you, I would like you to be my girlfriend, but it is just not now. I need to make sure whether you are the one or not, but stay focus with me, don’t get any closer to any guy, because actually you already mine. But I can just leave you any time I want.

Men are selfish, indeed, but most of the time we cover our piles of junks with our sweet words and actions!!

Dan laki-laki, mbok ya sekali-kali mikirnya agak panjang sedikit kenapa?? Kalo ke depannya enggak jelas mau dibawa ke mana, enggak ada juntrungannya, ya ngapain juga dilakukan?? Enggak kenal yang namanya proses menunggu dan belajar sabar ya??

Semua tuh soal TIMING.

Kayak gini aja contohnya, sekarang nih kita tinggal di Indonesia, yang iklimnya enggak jelas, siang bisa panas terik, malem bisa ujan gede bahkan bawa banjir. Satu hari elo liat coat, atau sweater keren banget, karena elo pikir lagi musim ujan elo beli, deh. Tapi besoknya elo mau pake, saking keren, dan saking sukanya, sayangnya cuacanya lagi panas.

Terus elo mikir, ah ya udah pake aja, toh sekarang cuaca lagi enggak tentu, mana tau entar ujan. Kan bisa berfungsi deh sweater gw yang keren ini.
Kata MANA TAU, itu adalah sebuah kebodohan.

Kenapa enggak nunggu sampe bener-bener udah pasti bakal ujan baru elo pake, at least bawa di tas buat jaga-jaga enggak apa-apa, tapi jangan DIPAKE DULU, TUNGGU, dan yang paling penting BELAJAR SABAR, yaa!

Careful With The 'L' Word

There are two different opinions about when is the right time to say "I Love You" to the person we love, or the person we (think) are in love with:

1. Say it when it is there in your heart. Without considering any future impacts, take all the risk and stick with all the consequences. This one works for the risk-taker people.

2. Say it if it complies with two conditions:

a. The TIMING IS RIGHT
b. The girl/guy is the one that you are really looking for (and seem to have the same interest with you)

I'd prefer the second one.

Maybe you think I'm a coward, all-conservative, I always been this guy who loves to play behind the safety line, but I'm all about carefulness.

Maybe you are sloppy with your selection of words and slang in daily conversations, but always be very careful with those "L" words.

You don't want to hurt anyone, right?

Hollaa lama tidak sua

Aduh. lama tidak dikunjungi blog ini, saking sibuknya.
Sudah mulai berdebu dan nampak usang.
Tapi saya butuh untuk menuangkan pikiran ini dalam bentuk tulisan.
Jadi sekarang saya kembali, menggunakan account saya di sini.
Selamat membaca kembali!