Senin, 25 Agustus 2008

Keputusan

Kemarin malam, ketika sedang iseng menggonta-ganti saluran tv, saya menemukan sebuah acara talkshow di salah satu stasiun tv swasta.
Biasa saja, tidak terlalu bagus.
Saat itu topik yang sedang dibahas adalah tentang kecenderungan artis yang menggunakan narkoba, akibat pengaruh lingkungan dan pergaulan.
Dihadirkan seorang artis yang pernah masuk penjara karena keterikatan narkoba,
dan seorang artis yang konsisten dari dulu hingga sekarang menyandang predikat anti narkoba, bahkan dia aktif berkecimpung dalam LSM penentang narkoba.

Sengaja ditampilkan mereka berdua, agar mendapatkan jawaban dari dua sudut pandang yang berbeda.
Satu sisi mantan pengguna, dan satu sisi penentang narkoba yang sampai sekarang, buktinya bisa tidak terjerat narkoba, padahal dia juga berprofesi sebagai artis.

Selama ini orang menganggap dunia selebritas, media, entertainment dan sebagainya sangat ringkih dengan tipe pergaulan yang bersifat negatif. Stereotipe jelek dibebankan kepada orang-orang yang berada di dalam lingkungan pergaulan ”keartisan”.

Ketika seorang artis tertangkap menggunakan narkoba, orang Indonesia yang sebagian besar (mungkin) masih primitif, dengan santai bisa bilang, ”Yah, enggak heran, namanya juga artis, pergaulannya kan seperti itu, lingkungannya emang buruk.”

Pendapat si artis yang pernah masuk penjara tersebut cukup menarik, kira-kira seperti ini tanggapannya:

Kita enggak bisa salahin lingkungan. Di mana pun kita bergaul, pasti akan selalu ada yang membawa unsur yang negatif. Di lingkungan mana pun, saya, Anda, dia, kalau disebut nama, atau ditanya punya enggak kenalan yang mengkonsumsi narkoba, pasti akan menjawab punya, minimal satu. Narkoba itu, atau apa pun bentuk keburukan yang ada, akan selalu ada di sana. Itu namanya ketersediaan lingkungan. Memang, lingkungan kita menyediakan, tapi yang punya kendali siapa? Yang punya pilihan siapa? Kita, kan? Kalau kita mau, ya ambil aja, wong disediain sama lingkungan. Kalau kita enggak mau, kita bisa nolak, tapi suka atau enggak, ya itu akan tetap ada di lingkungan kita. Bukan berarti karena kita nolak, terus ilang ketersediaannya.

Singkat kata saya setuju.

Seperti prinsip yang selama ini saya usung, life is a matter of choices.
Ketika kita salah ambil keputusan, enggak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa kita salahin selain diri kita sendiri.
Banyak orang yang menyalahkan lingkungan, misalnya, “saya ngerokok karena dari kecil saya tumbuh di lingkungan perokok, atau karena teman-teman saya ngerokok, masa saya enggak.”
Come on!
Pilihannya untuk ngerokok atau enggak ada di tangan siapa?

Lingkungan akan selalu menyediakan segala yang kita perlukan, baik negatif maupun positif.
Tapi, pertanyaannya, keputusan kita apa?
Keputusan itu sesuatu yang vital.
Di balik keputusan itu memang ada faktor-faktor penguatnya, seperti:

1. Berpikir panjang.

Ini cara tergampang menurut saya. Sebelum ambil satu keputusan, pikir dulu yang panjaaannnngggg... sepanjang-panjangnya pikiran kita. Kalau gw begini, nanti gw gimana ya. Bagusnya buat gw apa, buruknya buat gw apa? Enggak boleh egois juga, kita musti bisa mikir, selain buat gw, dampak buat orang-orang terdekat gw apa, ya? Keputusan gw ini bakal bikin malu orangtua enggak, ya? Pake sistem tarik garis, kalau elo bikin satu keputusan di satu poin, ketika elo tarik garisnya, end-up nya di mana? Gw suka menanyakan ini ke diri gw sebelum gw membuat satu keputusan, persis seperti apa yang sering dikumandangkan seorang financial planner ternama, Ligwina Hananto, ”Tujuan lo apa?”

2. Tau value dan punya prioritas.

Menjawab pertanyaan di atas, ”Tujuan lo apa?” kadang enggak gampang. Dilemanya selalu ada di antara kata PENGEN dan PERLU. Untuk itu kita harus bisa prioritas, mana yang kita perlu dan mana yang cuma sekedar kita pengen. Kemudian, untuk nyusun skala prioritas dan menjawab pertanyaan tadi, kita juga harus tau value kita apa. Kalo kira-kira keputusan yang akan kita ambil sangat bertentangan dengan value kita, ya buat apa?

3. No compromise.

Hal ini juga yang seringkali bikin salah ambil keputusan. Berkompromi. Manusia cenderung enggak sabaran, mau yang A, ketemu yang A minus dua, mereka berkompromi, ya udahlah enggak apa-apa, daripada enggak dapet. Mengingat postingan saya sebelumnya tentang relationship, yang juga bisa diterapkan di area mana pun, kompromi di depan = bayar belakangan.

4. Tanya pendapat orang.

Ini juga salah satu faktor vital. Sebelum membuat satu keputusan, gw selalu tanya pendapat orang lain. Bukan sembarangan orang, tapi orang-orang yang menurut gw udah lebih expert dari gw, udah pernah ngalamin apa yang gw alamin, udah lebih mengerti dari gw, orang-orang yang gw look up to, leaders, best friends. Kebiasaan banyak orang adalah, minta pendapat ketika keputusan sudah dibuat. Sudah bikin keputusan, baru minta pendapat, ”Gimana menurut lo?” Itu namanya bukan minta pendapat, tapi itu salah satu bentuk cara meyakinkan diri sendiri bahwa keputusan yang udah (terlanjur) diambil, sama sekali bukan keputusan yang salah.

Jadi, keputusan apa yang udah kalian ambil hari ini?

Tidak ada komentar: