Minggu, 23 November 2008

Fiksi atas Fakta (pt.27)

Rhino terbangun karena suara Ibunya yang ramai sedang berbicara di telepon, dengan seorang teman yang juga rekan bisnisnya nampaknya.
Matanya mengerjap, berusaha beradaptasi.
Semalam ia baru tidur pukul setengah tiga pagi, karena keasikan nonton DVD.
Sekarang, jam setengah tujuh pagi, Rhino terpaksa bangun, selain karena suara Ibunya, tapi juga karena ada rombongan suster dan dokter yang masuk untuk melakukan morning check-up untuk Ayahnya, yang sedang asik baca koran.
Gambaran ini mengingatkan Rhino kepada salah satu scene di Grey’s Anatomy, ketika Dr. Bailey menggiring kelima intern-nya, Grey, Yang, Stevens, O’Malley dan Karev, berpindah dari kamar ke kamar setiap paginya untuk memeriksa kondisi terakhir pasiennya.
Semalam Rhino tidur di sofa bed di kamar tempat Ayahnya dirawat.
Ia memutuskan untuk menemani Ibunya menunggui si Ayah.

Ketika gerombolan medis berbaju putih tersebut menghambur keluar dari kamar, Rhino dengan lekas berjalan menuju kamar mandi.
Cuci muka, menyikat giginya, kemudian memeriksa ada berapa jerawat yang hilang, dan ada berapa jerawat baru yang timbul.
Ternyata stagnan, wajahnya masih bersih. Rhino tersenyum, tapi komedo di hidungnya mulai terlihat, dan dia lupa membawa plester perekat komedonya dari rumah. Dia bergegas keluar kamar mandi.

”Ma, apotik di bawah itu udah buka belum, ya?”
”Enggak tau, coba aja liat.” jawab Ibu yang sudah selesai bercakap di telepon dan sekarang sedang menyuapi sarapan ke mulut Ayah.
”Mau beli apa emang kamu?” tanya Ibu.
”Mau cari plester perekat komedo itu, yang buat di hidung, mereka jual enggak, ya?”
”Coba aja liat, kalo enggak ada, di seberang itu kan ada supermarket, mungkin mereka jual.”

Rhino mengangguk, mengambil hp, dompet, dan jaketnya, kemudian segera keluar dari kamar.
Berjalan sendirian di koridor lantai 5 menuju lift, lalu turun ke lantai dasar.
Rumah sakit masih sepi, belum terlihat aktifitas yang berarti.
Rhino tidak pernah suka aura rumah sakit, ditambah dengan bau-bauan medis yang menyengat.
Setiap hari rumah sakit menghantarkan nyawa baru ke bumi, tapi juga merenggut nyawa lain dari bumi.
Rumah sakit seperti kantor pos, ada yang dikirim, ada yang diterima.

Ketika pintu kaca otomatis terbuka, angin pagi yang dingin menerpa Rhino, membuat ia segera mengunci rapat jaketnya dengan resleting.
Sialnya, ia hanya mengenakan boxer, sehingga kakinya linu kedinginan.
Langit begitu hitam, seperti tidak sabar menumpahkan hujan.
Rhino berjalan dengan langkah panjang-panjang melewati parkiran, melewati pos satpam dan gerbang rumah sakit, kemudian tiba di supermarket yang berada persis di seberang rumah sakit.
Untungnya supermarket tersebut sudah buka, hanya ada satu penjaga kasir, sedang sibuk merapikan susunan uang di dalam laci meja kasirnya.

Satu jam kemudian, setelah mandi, ganti pakaian, dan menelepon perusahaan taksi langganannya, Rhino sudah siap berangkat menuju kantor.
Ia duduk sendirian di bangku panjang di luar lobi rumah sakit.
Di depannya pohon-pohon bergoyang ganas tertiup angin.
Hujan mulai turun, langit semakin pekat.
Rhino membawa banyak barang bawaan, tas kerjanya, tas laptop, kemudian satu kantong berisi pakaian kantor, sendal rumahnya, plus dua bantal merah yang harus selalu dibawanya ke mana-mana jika ingin menginap di sebuah tempat.
Dua bantal tersebut merupakan hadiah Natal tahun lalu dari Nadia.

”Bo, barang bawaan lo banyak banget. Abis nginep?” tanya Dewi, Marketing Promo-nya yang baru, ketika Rhino tiba di kantor.
”Iya, abis nginep di rumah sakit. Bokap gw dirawat.”
”Oww.. sakit apa?”
”Radang maag. Biasa sama kayak anaknya suka nahan makan.”

BUZZ
NonaDiandra: Zacrhino Tjakraditya!! Guess what! Gw minta putus semalem!

Baru sebentar komputernya menyala, Diandra sudah mengajaknya chatting.

RadityaRhino: Wow. Then?
NonaDiandra: And now I’m not responding to any of his texts or calls.
RadityaRhino: What makes you take the decision?
NonaDiandra: Gini ceritanya.
RadityaRhino: Ok keep typin. I’m listenin as usual.

Maka seperti biasa Rhino membiarkan Diandra mengetik panjang ceritanya, sementara ia mengerjakan beberapa hal lain terlebih dulu.
Begitu selesai, baru ia akan menanggapi Diandra.

NonaDiandra: Kemaren, dia ke rumah gw, kita makan nonton tv, terus dia ketiduran. Gw suruh ke kamar aja, gw di luar internetan. Terus dia kan nyolokkin iPod ke Macbook gw, mau pindahin lagu. Karena dia tidur, gw aja yang mindahin. Nah, kan enggak bisa langsung drag tuh dari iPod dia ke iTunes gw, jadi mesti dari foldernya. Pas gw buka, enggak ada folder lagu, adanya folder ”restricted”. Gw buka dong, lagu-lagunya semua ada di situ. Udah dong, eh terus ada satu folder namanya ”ga penting bgt bgt”. Gw tergoda buka, pas gw buka, ada video-video Rhiiiinnnn, video dia sama mantannya!
RadityaRhino: Wow, ok, terus?
NonaDiandra: And you know what, the video was shot at the exact same place that he took me for valentine’s day. Dia waktu itu bilang ke gw, dia enggak pernah bawa siapa pun ke situ kecuali gw. He has prepared everything buat gw, dia bilang gw spesial, and I believed him. Ternyata, mantannya juga dibawa ke situ Rhino, terus gw jejerin foto-foto gw dan video itu di dua window. Sumpah, itu cewek duduk di exact same spot that I sat on, facing the same goddamn pemandangan that I saw, and the car was even parked at the same fucking spot! Dan gw pun pas di situ juga buat video SAMA PERSIS. Anjing tuh cowok bohong sama gw!!
RadityaRhino: Keep going, entar kalo udah kelar buzz aja, biar gw baca dari atas.

Rhino sadar, Diandra masih akan mengetik panjang dalam beberapa menit ke depan, lebih baik ia mengerjakan pekerjaannya terlebih dulu, baru kembali chatting dengan Diandra.

NonaDiandra: Terus gw buka folder lagi, gw nemu foto dia baru bangun tidur sama mantannyaa!!! Rhiiinnooo, gw panas banget! Tuh cowok bohong sama gw. Gw langsung bangunin dan tanya dia, dia enggak bisa ngomong apa-apa, dia malah bilang gini, ”Aku bohong demi kebaikan kita, kamu pun kalo jadi aku akan melakukan hal yang seneng. Aku bohong biar kamu seneng”. WHAT? Berarti dia bohong enggak cuma sekali lagi ya enggak, sih? Kalo gitu dia bakal terus bohong kiri kanan selama gw seneng dan tetep sama dia. Gila Rhin, gw enggak terima, gw enggak bisa hidup sama cowok yang bohongin gw. Gw langsung usir dia dari rumah, gw cuma bilang ”You fucking liar!”, terus tutup pager. Dia berdiri depan rumah gw, telepon gw, maksa ngomong, gw udah enggak mau denger. Gw super pusing sekarang Rhino. Gw numb, enggak sedih, enggak seneng.
RadityaRhino: Gilaa.. one thing for sure, dia freak abis lho. I mean dia bawa lo ke exact point tempat dia sama mantannya, kayak disorder enggak sih menurut lo? Serem amat.
NonaDiandra: ABES!
RadityaRhino: Ya udah Di, sekarang udah bener sih keputusan yang elo ambil untuk enggak mau denger apa-apa dari dia lagi. Karena percaya deh, cowok-cowok tipe itu selalu bisa find his way untuk balik lagi sama ceweknya. Mostly, temen-temen gw yang stuck di relationship kayak gini, baru bisa kabur setelah bener-bener ambil keputusan ”menghilang” dari cowoknya.
NonaDiandra: Ugh, gw enggak pernah tolerate people yang fake things up.
RadityaRhino: Ya udah hold onto it, soal dia ngomong bahwa dia bohong supaya elo bahagia, come it doesn’t make any sense! Yang namanya bohong enggak pernah bikin orang bahagia, karena once the truth comes out you’ll hurt the people eventually.
NonaDiandra: Exactly!!
RadityaRhino: Kalo dia sayang sama elo, dia akan ngaku sejujur-jujurnya, kayak elo buka aib elo ke dia.
NonaDiandra: IYA! Gw aja buka aib gw, sampe gw dikatain cewek bekasan!
RadityaRhino: Gosh, he’s scary Diandra, totally! Elo buka aib lo dia marah, dia nutupin aibnya, dan giliran ketahuan dia expect elo untuk terima dia apa adanya. Waw what a very self-centric bastard he is!
NonaDiandra: Huaaa.. iya ya Rhin. Ngomong lagi dong Rhin, buka otak gw lagi dong, biar otak gw enggak nutup lagi Rhin.
RadityaRhino: Diandra, gw musti ngomong apa lagi. The decision for you to use your brain and logic ya ada di elo, kali ini elo harus THINK not FEEL.
NonaDiandra: Haiss!! Iya Rhin, both option seems as devastating as the other. Either gw putus atau enggak, pasti hati gw bakal tetep sakit.
RadityaRhino: Ya at least, kalo putus sakitnya masih bisa diobatin, Di. Kalo diterusin mungkin sakitnya bisa jadi busuk.
NonaDiandra: Iya sih, I can’t believe this is happening to me Rhin. I was smart you know, I was like the hardest girl anyone could ever get.
RadityaRhino: That’s the thing when you started to compromise everything, Di. Makanya know your value, don’t ever lower your standar. Well, it’s good that you learnt something from this.
NonaDiandra: Iya Rhin, I just told my mom, she said the same thing.
RadityaRhino: Tuh kan, ya udah deh, kamu baik-baik ya. Aku mau makan dulu.
NonaDiandra: Okeee!!

Rabu, 19 November 2008

Fiksi atas Fakta (pt.26)

Rhino menghembuskan nafas putus asa.
Dipandanginya situasi di luar, basah dan padat.
Ingin rasanya ia menenggelamkan dirinya ke dalam jok belakang taksi yang sedang ia tumpangi.
Tangannya bersedekap, berusaha menghangatkan tubuh.
Kaca jendela masih dipenuhi butiran air, sisa guyuran hujan barusan.
Jakarta, hujan, jam pulang kantor, sama dengan macet total.
Sudah setengah jam Rhino terperangkap di Semanggi, taksinya hanya mampu bergerak maju sepersekian meter setiap lima menit sekali.
Segala jenis hiburan yang ditawarkan teknologi tidak mampu mengalihkan perhatiannya.
iPod dan Nintendo-nya, dua barang yang selalu bisa mendukung ke-autis-annya, dijejalkan secara paksa ke dalam tas.
Rahangnya mengeras, ia kesal, kesal pada keadaan, pada kemacetan, tapi tidak ada yang bisa disalahkan.
Tidak ada tempat baginya melampiaskan kekesalan.
Ingin rasanya ia menghampiri pemerintah Jakarta, mengguncang-guncang tubuh mereka, berteriak di wajah mereka, menyadarkan mereka tentang betapa buruknya infrastruktur yang mereka bangun.

Motor-motor di samping kiri dan kanan terus berjejalan berusaha menemukan jalan keluar mereka masing-masing.
Ada yang nekat menjadikan trotoar sebagai jalur mereka, padahal semua orang tahu trotoar dibuat khusus untuk pejalan kaki.
Sudah terlalu banyak mobil di Jakarta, sudah terlalu banyak motor, plat kendaraan sudah mencapai digit tiga huruf.
Sementara jumlah kendaraan tidak berkurang.
Mobil-mobil tua, yang sudah tidak diproduksi lagi oleh pasar, masih banyak berlalu lalang.
Angkutan umum reyot yang sebenarnya sudah tidak layak pakai masih berkeliaran memotong lintasan pengguna jalan lain seenak jidat mereka.
Dan tidak ada yang bisa Rhino lakukan.
Hanya mampu menggerutu sendirian di dalam taksi.
Ujiannya dimulai 40 menit lagi, jika macet ini tidak kunjung mereda, Rhino tidak yakin apakah ia bisa tiba di kampus tepat waktu atau tidak.

From: Mamski (+628138*******)
Rhin, Papa di-opname di Omni.

Sebuah pesan singkat datang dari Ibunya.
Menambah penat Rhino.
Sekarang dia harus dibuat khawatir dengan kesehatan Ayahnya.
Tapi Rhino berusaha melawan segala pikiran negatif yang bermunculan setelah membaca SMS tersebut.
Rhino menjejalkan pikiran-pikiran positif ke dalam benaknya, bahwa Ayahnya tidak apa-apa, hanya kecapekan biasa, dan memang Ayahnya sedikit manja, sama seperti dirinya.

Rhino langsung mengirim pesan ke teman-teman terdekatnya.
Rhino percaya akan kekuatan doa.
Doa satu orang cukup punya kekuatan, apalagi doa banyak orang.
Maka itu setiap kali memiliki masalah, Rhino tidak sungkan untuk meminta teman-teman terdekatnya mendukung dia dengan doa.
Masalah mereka benar-benar mendoakan atau tidak, Rhino tidak begitu perduli, yang penting Rhino tahu bahwa ia tidak sendirian, bahwa teman-temannya ada untuknya dan mendukung dia di mana pun mereka berada.

Guys, bokap gw masuk rumah sakit. Tolong bantu doa ya, semoga cepet sembuh. Thanks.

From: Viona (+628180******)
Pasti didoain Rhin, elo juga jaga kesehatan ya jangan sampe sakit.

From: Nadia (+628180******)
Sakit apa cum? Pasti didoain. Salam ya buat papa mertua. Haha.

From: Wina (+628137******)
Sakit apa bo?? Didoakan pastinya fo sho!

From: Girindra (+628170*****)
Sakit apa emangnya? Makanya jangan suka ngatain orang batak! Haha, joke. I wish him to get better soon! Take care.

Akhirnya Rhino dibuat sibuk dengan membalasi SMS mereka satu per satu, kemudian mereka membalas lagi, sampai akhirnya Rhino sibuk SMS-an, hingga tak terasa, taksinya sudah berhenti di depan lobi kampus.

Rhino pun melompat turun, menutupi kepalanya sedikit dari gerimis yang masih turun dengan buku catatannya. Kemudian bergegas masuk ke dalam kampus, masuk ke dalam lift, dan langsung menuju kelasnya. Untung belum terlambat. Pintu ruang kelas ujian belum dibuka, teman-teman sekelasnya masih berkerumun di luar sibuk dengan catatan masing-masing.

”Halo Ma, gimana Papa?”
Rhino segera menelpon Ibunya begitu ia selesai mengumpulkan lembar pertanyaan dan bergegas keluar dari ruang ujian.
”Ya gitu lemes, bolak-balik ke WC.”
”Sakit apa sih emangnya?”
”Radang maag katanya.”
”Oh, badung sih ya makannya.”
”Alah, kayak kamu enggak badung aja. Liat aja kalo kamu terus-terusan males makan, entar kayak Papa, Mama sih enggak mau ngurusin.”
”Bodo, ada suster ini. Hahaha... Btw, Mama nginep dong di rumah sakit?”
”Iyalah, Papa kamu manja gitu. Enggak mau diurusin suster, maunya apa-apa sama Mama.”
Rhino tertawa, ternyata sifat manjanya merupakan warisan gen dari sang Ayah.
”Aku juga mau deh nginep di sana. Ini aku udah selesai ujian, pulang ke rumah, terus langsung ke rumah sakit. Besok pagi langsung berangkat ke kantor.”
”Bareng Mama aja, ini Mama mau pulang, beresin baju, terus balik lagi. Nanti Mama tunggu di rumah, ya.”
”Ok.”

Minggu, 16 November 2008

Fiksi atas Fakta (pt.25)

Suara alarm yang sudah di-setting untuk berbunyi setiap pukul 06.30 di pagi hari berhasil membangunkannya.
Rhino membuka matanya, menyelusupkan tangannya ke bawah bantal, kemudian meraih selularnya.
Ia selalu tidur dengan selularnya yang dibiarkan terjaga sementara ia terlelap.
Ia ingin selularnya selalu aktif, agar ia bisa dihubungi kapan saja, jika sebuah keadaan darurat mendesaknya di malam hari.
Walau kata orang tidak bagus tidur dengan selular yang aktif dengan posisi di dekat kepala.
Radiasinya mampu mengaktifkan sel-sel kanker di otak, konon begitu katanya.

Seperti kebiasaannya setiap pagi, begitu membuka mata, Rhino harus selalu mengecek apakah ada telepon atau SMS yang masuk ketika dia sedang tidur.
Kadang bunyi-bunyian penanda telepon dan SMS masuk tidak mampu menjangkau area dunia mimpinnya.
Setelahnya, ia akan mengecek tanggalan, untuk melihat agendanya hari itu.
Hal-hal apa yang harus ia lakukan, acara apa yang harus ia datangi, siapa yang harus dia telepon, siapa yang harus dia e-mail, hingga hal-hal sepele, seperti sebuah reminder agar tidak lupa meng-upload foto-foto terbarunya, hasil jalan-jalan kemarin dengan Diandra, ke Facebook.

Kemarin dia dan Diandra sepakat untuk gereja bersama, kemudian pergi makan siang setelahnya dan lanjut ngobrol-ngobrol di emperan Menteng, ketawa-ketawa, membicarakan orang-orang yang berlalu lalang.
Lebih nyaman begitu rasanya, pikir Rhino.
Ketimbang pacar, dia lebih menyenangkan untuk dijadikan teman baik.

Agendanya hari ini ternyata hanya ujian lisan mata kuliah metodologi penelitian.
Setiap anak harus mengajukan memilih topik, judul serta studi kasus akan penelitian yang mereka angkat, kemudian membuat proposalnya, hingga ke bab 3.
Jika bagus, maka skripsi bayangan ini boleh mereka revisi dan lanjutkan nanti di semester depan, tapi jika tidak, terpaksa semester depan mereka harus memutar otak mencari topik baru yang bisa diangkat.
Karena itu sebaiknya setiap anak mengerjakan skripsi bayangan ini dengan sungguh-sungguh, agar tidak perlu bekerja dua kali di semester depan.
Lebih baik bayar harga di depan daripada di belakang, karena pada intinya, di depan ataupun di belakang tidak ada bedanya, kita akan tetap harus membayar sesuatu.
Tinggal pilih, mau susah dulu, kemudian senang di kemudian hari, atau senang-senang dulu baru sengsara di kemudian hari.

Menurut Girindra, yang diperlukan untuk bisa fokus membuat skripsi adalah niat.
Rhino bertanya kepada Girindra, karena sekarang dia tengah fokus membuat skripsinya.
Namun, dia terjebak di bab 2, karena rasa malas lebih besar dari niatnya.
Bab 2 berisi segala macam teori yang harus dikumpulkan dari sekian banyak buku dan sumber-sumber lain yang harus dibaca satu per satu, demi menyokong hipotesis yang kita angkat.

Membuat skripsi tidak dikenakan tenggat waktu.
Jika bisa selesai tepat waktu, gelar sarjana bisa langsung dipegang.
Jika tidak, gelar sarjana harus ditunda.
Konsekuensinya hanya sebatas itu, namun dapat berdampak panjang.

Maka berbekal sebuah kata itu, Niat, Rhino mulai membuat skripsi bayangannya.
Ia membuat agenda bahwa skripsi itu bisa dikerjakannya dalam tiga hari.
Satu hari untuk satu bab.
Maka selama tiga hari dikumpulkanlah niatnya tersebut.
Mulai dari bertanya kepada teman sekelasnya yang terkenal paling pintar, minta pendapat langsung kepada dosennya, minta didoakan teman-temannya, mencari buku hingga semua data yang diperlukan di internet, dan rela tidak tidur hingga jam empat pagi ditemani dua cangkir kopi selama tiga hari berturut-turut.

Masalahnya, Rhino baru bisa fokus mengerjakan skripsinya sepulang dari kantor.
Di tengah deadline yang kadang mengharuskan Rhino lembur hingga jam sepuluh malam, Rhino masih harus memikirkan skripsinya bab per bab ketika sampai di rumah, melawan segala keinginan untuk berbaring kemudian tidur lelap hingga pagi.
Statusnya di Facebook, YM, MSN hingga Plurk dalam tiga hari tersebut berbau skripsi.

Zacrhino Tjakraditya lagi brainstorming judul skripsi.
Zacrhino Tjakraditya sedang berkutat dengan bab 1.
Zacrhino Tjakraditya says hore, bab 1 selesai, selamat datang bab 2!
Zacrhino Tjakraditya lagi ditemani dua cangkir kopi.

Maka selesailah skripsi bayangan tersebut dalam tiga hari.
Dan hari ini, Rhino harus mempresentasikannya di hadapan sang dosen, kemudian sang dosen akan memberikan tiga pertanyaan seputar skripsi Rhino.
Ketiganya berhasil dijawab, walaupun proses tanya jawab itu berlangsung begitu cepat.
Sehingga ketika pertanyaan ketiga dijawab, Rhino seperti tidak terima dan minta ditanya lebih lagi.

Sebelum pulang, Ayahnya menelepon.
”Rhin, kamu masih di kampus?”
”Masih. Kenapa, Pa?”
”Pulang jam berapa?”
”Ini udah selesai, mau pulang.”
”Pulang naik taksi, kan?”
”Iyalah, kenapa?”
”Bisa jemput Papa enggak di sini? Papa demam nih enggak bisa nyetir sendiri.”
”Ok.”
”Ya udah nanti kalau udah deket telpon ya, nanti Papa tunggu di lobby.”

Jarak kantor Ayah Rhino dengan kampusnya memang hanya berjarak 6 sampai 7 bangunan.
Si Ayah, tumben-tumbenan sakit.
Padahal olahraganya rajin, pola makannya pun terjaga.
Tidak seperti Rhino yang pemakan segala sesuatu yang enak di lidah, tapi belum tentu bagus untuk tubuh, dan malas berolahraga, bahkan tidak pernah olahraga semenjak ia lulus SMA, karena sudah tidak ada lagi pelajaran Pendidikan Kesehatan Jasmani yang mengharuskannya lari keliling lapangan basket sekolah sebanyak lima putaran.
Tidak ada lagi ekstra kurikuler Pasukan Pengibar Bendera, dengan para senior yang mengharuskan ia push-up dan sit-up hampir setiap 15 menit.
Dulu perutnya rata, dan sedikit membentuk 4 kotak kecil hasil sit-up.
Sekarang perutnya membuncit.

Baginya, berjalan kaki dari pintu masuk gerbang area parkir kantor menuju kantornya, setiap hari, sudah bisa disebut olahraga.
Padahal salah satu resolusi Rhino tahun ini adalah rutin berolahraga, sedikit stretching, pemanasan, sit up, push-up, dan weight lifting setiap hari, minimal setengah jam, ketika bangun tidur.
Tapi hal tersebut hanya mampu dilaksanakannya hingga bulan Maret.
Selebihnya, ketika bangun tidur, Rhino memilih untuk langsung turun ke ruang makan, sarapan, kemudian mandi.
Ternyata untuk bisa hidup dengan pola yang sehat serta bugar, sama seperti membuat skripsi, diperlukan niat yang besar.

Minggu, 09 November 2008

Fiksi atas Fakta (pt.24)

Langkah kakinya diperbesar, wajahnya tertunduk ke bawah.
Seperti sundal yang tertangkap basah kemudian diarak keliling kampung.
Menatapi ragam tanah yang diinjaknya.
Mulai dari jalanan beraspal yang meruap karena digauli matahari.
Tanah merah, sedikit basah sisa hujan semalam.
Hingga lantai ubin coklat-coklat yang disusun serupa potongan motif argyle.

Ternyata masih musim persinggungan.
Dikira Rhino musim hujan sudah benar-benar datang.
Hujan badai kemarin, bisa terganti panas terik hari ini.
Matahari seperti belum rela bertukar posisi dengan awan hujan.
Tidak seperti McCaine yang sudah mengalah kepada Obama.
Tunggu, mungkin McCaine tidak mengalah, tapi tahu bahwa dia memang harus kalah terhadap Obama.

Baru semenit status online-nya mengendap di window YM, Diandra sudah mem-buzz-nya.

NonaDiandra: Mas, boleh minta saran enggak?
Rhino melepasan ear plug iPod-nya, menaruh tasnya di bawah meja, mengeluarkan flash disk-nya dari dalam tas, mencolokkannya ke komputer, merapikan barang-barangnya di meja, bekas pekerjaan kemarin,
baru kemudian membalas ketikan Diandra.

RadityaRhino: Boleh banget. Ada apa?
NonaDiandra: Gw enggak jadi nanya soal masalah ML itu ke laki gw. Tapi ada masalah lain, kemaren dia ngasarin gw, gara-gara gw cipika cipiki sama temen cowok gw pas ketemu di Senayan City.Dia teriak-teriak dalem mobil, biasanya gw akan diem aja bahkan minta maaf nangis-nangis, tapi semalem gw decided untuk ngomelin dia balik. Gw enggak tahan, gw tegor dia. Duh maaf ya gw engak bisa berenti cerita, nih.

RadityaRhino: It's ok, keep goin Di, I'm listenin.
Rhino memutuskan untuk memeriksa inbox e-mailnya, menyicil pekerjaan sisa kemarin, sambil membiarkan Diandra asik mengetik di YM.

NonaDiandra: Gw bilang, gw enggak terima diginiin terus. Kalo dia mau teru gunain cara kasar untuk ngungkapin maksud dia, gw enggak bisa sama dia lagi. Dia musti deal sama emotional issue-nya. Kalo dia butuh bantuan, gw mau bantu. Tapi intinya, gw enggak terima diteriakkin terus kayak gini, kayak babu. Gw ngomongnya udah sampe nangis gemeteran. Dia tetep enggak mau kalah, sampe akhirnya dia diem dan bilang, "gw capek, gw mau pulang". Ya udah gw bilang, "thanks, udah nganterin", terus gw turun masuk ke rumah. Tapi dia enggak kontak gw lagi, padahal sebelum tidur gw sms bilang gw mau tidur dulu. Dan dia masih enggak kontak gw SAMPE SEKARANG! Gw penasaran, kan dia yang salah, apa dia gengsi kontak gw duluan? Gw pengen telpon nanya dia di mana bla bla bla, tapi gw juga gengsi. Kalo lo jadi gw, elo bakal gimana, Rhin?

BUZZ

Rhino yang sedang memeriksa artikel liputan konser Avenged Sevenfold dari Kris, jurnalisnya, terpaksa menghentikan dulu aktifitas sejenaknya untuk menanggapi pertanyaan Diandra.

RadityaRhino: Kalo gw jadio lo gw bakal cuek aja. Eh enggak ding, gw bakal kontak dia sekali lagi, nanya "Kamu ke mana? Kok malah jadi kamu yang nyuekin aku, ya? We need to talk bla bla bla".
NonaDiandra: Sms aja apa telpon?
RadityaRhino: Telpon aja, kalo enggak diangkat, baru sms. Diandra, that guy clearly has an unfinished issue from his past to fix, whatever it is. Elo enggak bisa rubah dia Di, dengan cara apapun juga. Kalau dia mau berubah, ya dia musti sadar dan ambil keputusan sendiri untuk berubah.

Karena perubahan di dalam diri kita, tidak terjadi atas keputusan orang lain. Orang lain hanya memberi
pengaruh, tapi keputusannya ada di tangan kita.

RadityaRhino: Jangan sampe elo wasting time sama dia, Di.
NonaDiandra: Iya, temen-temen gw sampe bilang, gw tuh tinggal waktu aja sampe gw bener-bener eneg banget sama dia terus putus.
RadityaRhino: Iya, elo jangan mau jadi kayak cewe-cewek di luar sana yang stuck di tipe relationship seperti ini. Inget, mikir juga pake otak, jangan ngikutin hati mulu.

Karena perempuan lebih banyak menggunakan perasaan, ketimbang pria yang lebih banyak menggunakan akal.

NonaDiandra: Iya, Rhin. Kemaren tuh gw kemajuan banget bisa ngomong gitu ke dia, biasanya kalo dia bentak gw, gw bakal diem dan minta maaf ke dia. Dia tuh demand perhatian banget, kayak gw cowok, dan dia ceweknya, Rhin.
RadityaRhino: I see.
NonaDiandra: Gw salah enggak sih kalo gw pengen kita menghargai dunia masing-masing? Kan enggak selalu kegiatan gw dia harus involve. Gw pengen kita punya dunia sendiri-sendiri, enggak kemana-mana berdua terus. It's not that I don't love him, it's just that I think.. I'm a bit independent.

RadityaRhino: It's not about being independent or not sih, Di. It's about being a totally full single, ngerti enggak?
NonaDiandra: That's what I mean.

Rhino punya prinsip, bahwa untuk memulai sebuah hubungan yang ideal, seseorang harus menjadi satu individu yang penuh terlebih dahulu. Istilahnya menjadi SINGLE, totally single first.

Bingung?

Begini maksudnya, Rhino menganalogikan kehidupannya seperti sebuah gelas.
Ketika lahir gelas itu kosong, kemudian sedikit demi sedikit gelas ini akan diisi oleh air.
Air menggambarkan pelajaran-pelajaran yang didapatnya sejak kecil.
Tapi bukan hidup ini bukan perihal menerima, tapi juga soal memberi.
Ada kalanya air, yang dituang ke dalam gelas kehidupan kita harus dituang ke gelas lain.
Itu namanya berbagi.

Rhino percaya, bahwa hidup kita baru maksimal ketika gelas ini akhirnya meluap penuh, saking banyaknya air yang diisikan ke dalamnya. Ketika penuh dan melimpah, sang pemilik gelas, akan mengganti kapasitas penampungan gelas tersebut dengan gelas yang lebih besar, bisa saja berubah menjadi baskom, kemudian ember, kemudian bak mandi, apapun itu. Karena hidup merupakan sebuah proses untuk selalu naik dan bukan turun.

Maka itu, menurut Rhino, sebaiknya sepasang kekasih, masing-masing haruslah terlebih dulu memiliki gelas berisi air yang melimpah. Supaya bersama, mereka menjadi berkelimpahan. Agak sedikit timpang, jika sebuah gelas penuh dipasangkan dengan gelas yang berisi air, seperempat, setengah, ataupun tiga per empat.

Bisa dibayangkan? Gelas yang penuh, harus membagi kepenuhannya kepada si gelas yang belum penuh.
Yang lebih buruk, jika dua gelas belum penuh bertemu. Bisa bayangkan bagaimana waktu mereka hanya akan habis untuk berusaha memenuhi gelas pasangannya?

Prinsip ini juga digunakannya dalam memilih teman. Rhino termasuk tipe yang penyendiri dan pemilih. Dia bisa bersikap ramah terhadap siapa saja, tapi bukan berarti dia bisa berteman dengan semua orang. Ada dua tipe teman di dunia ini menurutnya, air mineral dan minuman soda.

Pilihannya ada di tangan setiap manusia, dengan siapa mereka mau berteman, dengan air mineral atau minuman soda. Seperti kita semua tahu, air mineral tentu jauh lebih sehat dari minuman soda. Teman-teman yang membawa dampak serta kontribusi bagus dalam hidupnya diibaratkan sebagai air mineral. Rhino memilih untuk berteman dengan segenap air mineralnya, Nadia, Wina, Girindra, Viona, Karina, dan beberapa yang lain.

Karena masa depan seseorang dapat ditentukan dari pergaulannya, inner circle-nya. Karena pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.

Rhino pernah berteman dengan segerombolan pemalas yang punya konsep berpikir ”go-with-the-flow”, ”que-sera-sera”, maka jadi samalah dia dengan gerombolan tersebut. Beda setelah sekarang dia kenal dengan orang-orang dominan yang ada di sekelilingnya, para pemikir yang berpikir panjang, well-orgazined, well-planned, dan tahu akan ke mana mereka membawa hidup mereka 10 tahun ke depan.

NonaDiandra: Dia tuh haus perhatian banget, Rhin. Gw harus cari-cari dia, kalo enggak dia bakal marah-marah ke gw. Tapi gilirian gw baikkin, dia bilang gw gombal. Maunya apaaa cobaa? The only thing that stands in my way is feeling gw ke dia, coz we’ve been together for like 10 months.
RadityaRhino: Ya udah, pokoknya sekarang elo musti contact dia dulu ajak ngomong.
NonaDiandra: Ok, gw coba telpon dia dulu deh ya. Tapi kalo dia nyolot gimana, Rhin?
RadityaRhino: Kalo dia nyolot, ya elo musti tetep tenang. Elo jelasin elo nelpon dia pengen ngomong baik-baik, kalau dianya kayak gitu, ya elo mendingan telpon lagi nanti kalo dia udah bisa kontrol emosinya. Nah, langsung tutup deh telponnya. Nanti maleman, telpon lagi, tanya, udah bisa diajak ngomong baik-baik atau belum.
NonaDiandra: Gitu, ya? Ok deh, kau pintar juga Mas. Ya udah aku telpon dia dulu, elo stay here, ya. Brb.
RadityaRhino: Ok.

Akhirnya. Paling tidak sambil menunggu Diandra menyelesaikan masalahnya, Rhino bisa kembali fokus kepada pekerjaannya yang dari tadi belum disentuh, karena harus meladeni Diandra.

”Rhino, coba tolong cek e-mail kantor, ada e-mail dari Pak Danu, katanya ada masalah sama desain cover yang kemarin kita ajuin.”

Lia, Managing Director majalahnya tiba-tiba muncul di belakang pundaknya.
Rhino menoleh, mengangguk, kemudian langsung membuka Microsoft Outlook-nya.

From: danuchandra@creativeads.com
To: raditya.rhino@beatmagz.com

Subject: Revisi Cover dan Advertorial

Dear Beat team,

Untuk yang advertorial, kata-katanya bisa dipersingkat enggak?
Untuk yang cover, kayaknya kalian salah tangkep, kalau bisa jangan ada gambar tissue berserakan, terus kalau bisa fotonya pake PC, jangan pake laptop, karena akan terkesan itu lagi kerja di rumah. Sementara kita mau nuansa lembur di kantornya itu dapet.

Mungkin bisa ditambahin tumpukan kertas, ada dua, satu tumpukan kertas untuk pekerjaan yang sudah selesai, satu tumpukan lagi untuk yang belum, kemudian kalau bisa ada bantal kecil, seperti bantal mobil atau bantal sofa gitu, untuk ngegambarin bahwa saking niatnya orang itu lembur di kantor, dia sampe bawa bantal segala.

Ditunggu ya feedback-nya.

Thanks.

Kepala Rhino langsung penat.
Proses pemotretan cover bulan ini cukup kompleks dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Adalah satu perusahaan rokok yang ingin memasang iklan di majalah Rhino, di halaman muka, setiap bulan selama setahun.
Namun, perusahaan rokok ini ingin iklan yang ada di majalah Rhino berbeda dengan yang ada di majalah-majalah lain, karena itu setiap bulan Rhino harus mengembangkan tema yang mereka berikan untuk diangkat menjadi cover majalahnya,

Tema yang diberikan bulan ini adalah lembur. Tidak seperti biasanya, di mana Rhino hanya mengajukan tiga konsep, bulan ini Rhino harus menyuguhkan tujuh konsep, karena enam konsep sebelumnya ditolak semua. Sekarang setelah konsep ketujuh yang diajukan disetujui dan sudah selesai produksinya, Rhino diminta melakukan proses pemotretan dan desain ulang.

Rhino langsung menelpon Pak Danu.

”Halo selama siang Pak Danu,”
”Dari mana?”
”Rhino, Beat Magazine.”
”Oh iya, udah terima kan e-mail saya?”
”Udah, Pak Danu, soal cover-nya, itu yang berserakkan bukan tissue lho. Tapi kertas yang diremas-remas. Lalu kalau bisa memang saya maunya pake laptop, toh di konsep yang saya ajukan juga disebutkannya laptop. Karena ini majalah musik Pak, saya mau kesan dinamisnya keliatan. Kalo pemotretan pake PC biasa, itu kesannya terlalu pegawai kantoran yang formal. At least kalau mau PC yang flat screen atau produknya Mac, enggak pa-pa, ya.”
”Enggak masalah, yang mengganggu cuma kertas-kertas itu yang jadi keliatan seperti tissue. Lebih baik dihilangkan saja, kemudian ditambahkan unsur bantal yang saya sebut. Kemudian dibanyakkin tumpukan kertas, dipisahin, yang satu melambangkan kerjaan yang belum selesai, ditaruh aja di dalam folder atau boks gitu, yang satu yang belum.”
”Ok, ada lagi, Pak?”
”Itu aja, sih. Saya mau meeting nanti telpon lagi ya, kalau ada apa-apa.”
“Ok Pak, makasih.”

Setelahnya Rhino harus langsung menghubungi fotografer majalahnya.

”Ari, jam satu nanti bisa ke kantor? Kita musti pemotretan ulang untuk cover.”
”Bisa kok, Rhin.”
”Ok, thanks.”

Akhirnya Rhino menunda jam makan siangnya untuk membantu art director-nya menyiapkan properti dan memikirkan sudut-sudut pengambilan gambar yang bagus untuk pemotretan. Meja Rhino digunakan, dipenuhi dengan tumpukan kertas, ada secangkir kopi, komputernya ditempeli post-it, dll.

Beginilah kalau harus berhubungan dengan klien. Klien adalah raja.

NonaDiandra: Dia gengsi mau ngaku salah.

Rhino baru membaca pesan dari Diandra, ketika sesi pemotretan selesai dan Rhino akhirnya bisa kembali duduk di hadapan komputer.

NonaDiandra: Tadi dia bilang gini Rhin, ”Gw enggak suka kalo lo jadi di atas gw gini.” WASALAM. Udah tanda-tanda banget ya ini cowok bermasalah. Gw beneran tunggu moment banget, nih. Kalo dia tetep bikin gw eneg, gw harus tinggalin dia. Dia pasti bakal sakit banget, gw juga.. tapi mau gimana lagi.
RadityaRhino: Ya ampun nunggu moment apa lagi sih, Di? Nunggu tanda apa lagi, nunggu tanda kiamat? Bloon deh lo.
NonaDiandra: Hehe.. iya, abis kan mutusin orang enggak gampang. Dia mau nelpon gw nih, terus mau jemput kita mau ngobrol. Kayaknya dia mau baikkan. Gw mau mandi dulu deh, ya.
RadityaRhino: Ok