Jumat, 15 Agustus 2008

Comfort Zone

Sudah dua hari ini saya mengalami perbincangan menarik dengan beberapa teman dekat.

Biasalah, mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir.. yang selama ini asyik bergantung hidup sama orang tua, sebentar lagi harus berhadapan dengan yang namanya kerja praktek alias magang alias internship, sebentar lagi wisuda, dan dilepas ke dunia nyata berusaha bertahan hidup dengan usaha sendiri.

Dua hari kemarin dengan seorang teman baik, di mobil dalam perjalanan pulang ditemani macet Jakarta, kita bicara soal nikah, hidup sendiri, dan kemapanan. Agak mengerikan..

Tadi siang, selepas makan siang, kembali saya dan beberapa teman mengangkat topik yang sama.

Siap enggak sih kita-kita ini yang udah segitu enaknya selama kurang lebih 20 tahun bergantung hidup sama orang tua, mulai mandiri.. tinggal, cari duit, dan mengurus segala-galanya sendiri, tanpa harus lagi mengusik dan membebani orangtua?

Seorang teman yang tinggal sendiri, bilang, betapa dia kangen orangtuanya yang tinggal di daerah lain di pulau Jawa. Berasa gimana ribetnya ngurus rumah sendiri, bayar tagihan sendiri, kerja, belanja dan ngatur uang sendiri.

Seorang teman bilang dia enggak sanggup untuk kerja dan membayangkan dirinya tinggal jauh dari orangtua, plus enggak ada pembantu pula.

Bayangan-bayangan rumit pun mulai menjajah. Bayangan segenap kebutuhan yang harus dimiliki dengan usaha sendiri, mobil, rumah layak tinggal dengan perlengkapannya, biaya kebutuhan sehari-hari, uang sekolah anak (yang enggak tau berapa mahalnya ketika angkatan saya mulai berkeluarga nanti), belum perintilan-perintilan lain, misalnya anak minta dirayakan ulang tahunnya.

Yang perempuan ketakutan, apa iya bisa dapat suami yang memenuhi taraf hidup mereka.
Yang laki-laki ketakutan juga, apa iya kita bisa memenuhi taraf hidup kita, istri kita nanti, yang punya orangtua juga, which is kita harus bisa tanggungjawab juga ke orangtua sang istri, serta biaya kehidupan anak-anak?
Mengingat jaman sekarang yang apa-apa serba susah dan mahal?

Salah enggak sih kita dilahirkan pada generasi ini? Generasi MAHAL. Well, enggak pernah ada yang salah si di dunia ini, segala sesuatu itu ada alasan dan maknanya sendiri.

Bayang-bayang gila sempat terlintas. Kebetulan tahun ini saya berusia 21 tahun. Ingin rasanya merayakan perpindahan umur di stage 20an ini dengan meriah. Tapi gara-gara pembicaraan tadi justru malah ketakutan dan kesuraman yang datang ke dalam imaji.

Hidup yang semakin penuh tuntutan dan tanggungjawab, serta rasa malu kalau masih bergantung pada orangtua. Saya jadi ingin merayakan ulang tahun saya dengan tema hitam-hitam, dengan makanan basi, ikan asin, dan minuman-minuman pahit seperti jamu, untuk menandai keengganan untuk beranjak lebih tua.

Sekarang kita semua mengerti, kenapa ibu kita suka survey tempat belanja kalau mau belanja bulanan. Beli kebutuhan beras, minyak, gas, air, listrik, sampai yang kecil-kecil kayak kebutuhan mandi. Kita selama ini tinggal pakai, enak minta orangtua. Sementara mereka yang pusing harus putar otak, gimana caranya supaya kita, anak-anaknya, bisa hidup dengan layak dan enggak kekurangan.

Sekarang kita juga ngerti, kenapa kadang-kadang si ayah suka ribut kalau kita boros pake listrik, nyalain lampu sembarangan, atau mungkin enggak mau makan di rumah, karena menunya kurang enak. Kadang kita juga enggak ngerti, kalau kita minta sesuatu, dan permintaan kita harus ditunda oleh orangtua.

Mungkin selama ini kita udah terlalu nyaman ada di comfort zone yang diberikan oleh orangtua. Mau apa-apa tinggal minta. Nah, sekarang giliran kita mau dilepas sendiri.. agak berat rasanya, tapi mau enggak mau harus dijalani kalau memang mau maju.

Hmm.. ya sudah, seperti apa nanti hasil dari perbincangan saya dan teman-teman di kemudian hari? Mari sama-sama berdoa dan berharap melihat hari depan yang moga-moga sukses dan bahagia. Amin.

Tidak ada komentar: