Selasa, 21 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.20)

From: Nadia (+628180*******)
Cum, lagi di mana? Udah bangun belom?

Dengan berat, Rhino membuka matanya.
Sinar-sinar matahari pagi menyusup masuk dari jendela kamarnya, membuat silau mata yang selama tidur terpejam dan hanya memandang kegelapan.
Setelah sibuk mengerjap agar matanya terbiasa dengan intensitas cahaya yang diterima secara mendadak, dan terpaksa, Rhino membaca SMS dari Nadia perlahan
Isinya singkat, namun otaknya seperti perangkat keras komputer tua, yang harus dipanasi terlebih dulu.
Rhino berusaha mencermati isi SMS tersebut, sambil berusaha berkonsentrasi.
Tadi malam, tepatnya tadi pagi, ia tidur jam tiga pagi.
Setelah selesai melanjutkan enam episode serial “How I Met Your Mother”, akibat rasa kantuk yang belum juga menghinggapinya.
Maka dicarinyalah aktifitas yang bisa menemaninya terjaga.
Ia turun ke bawah, berjingkat menuruni tangga, pelan-pelan merayap ke ruang makan, kemudian menyelundupan sebuah botol peanut butter, setoples kacang, dan segelas air putih ke dalam kamarnya. Menonton kurang sedap tanpa kudapan.

To: Nadia (+628180*******)
Di rumah. Ini baru bangun gara-gara elo SMS. Hehe. Semalem tidur telat, gara-gara asik nonton DVD. Kenapa?

Disekanya keringat yang membanjir di kening, mengalir ke leher, lalu ke pundaknya turun.
Dilihatnya pendingin ruangannya sudah mati. Sudah jam sepuluh pagi.
Rhino selalu men-set pendingin ruangannya agar secara otomatis mati setiap pukul tujuh pagi, demi penghematan listrik, dan upaya bersahabat dengan bumi.
Alasan lainnya, agar ia bisa terbangun, dengan harapan, ketika pendinginnya mati, ia akan merasa kegerahan, dan terbangun.
Tapi kali ini gagal, buktinya sudah tiga jam ia tidur, dengan tingginya suhu udara Jakarta, walau hari masih terhitung pagi, hingga berkeringatlah dirinya ketika terbangun.
Sudah beberapa minggu belakangan ini Rhino menjadi makhluk nocturnal.
24 jam sehari seperti tidak cukup, begitu banyak hal yang harus ia kerjakan hingga larut, dan esoknya harus bisa kembali bangun tepat waktu.
Begitu setiap hari, kantung matanya mulai menghitam.
Melebam dihajar kerinduan akan waktu beristirahat yang proporsional.

From: Nadia (+628180*******)
Gw sama Karina mau pergi makan sore ini. Elo mau ikut enggak?

To: Nadia (+628180*******)
Ya kalian, kalo hari Senin sama Selasa kan gw kuliah sore.

From: Nadia (+628180*******)
Oww.. ya udah besok aja, deh. Elo bisa ajak Girindra juga enggak?

Rhino berpikir sejenak.
Nadia memiliki niat yang bagus, mengumpulkan kami lagi seperti dulu.
Tapi bukankah masa lalu tidak bisa diulang?
Masa lalu hanya bisa dipandangi, dikagumi, disesali, atau disyukuri.

Untuk bisa pergi lagi berempat, dengan sejarah yang dimiliki Karina dan Girindra, seperti akan menciptakan sebuah produk kecanggungan dalam jumlah yang masif.
Hubungan bagaikan sebuah tali.
Begitu terjadi konflik, maka tali itu seperti terputus karena terkena sesuatu yang tajam.
Ketika terjadi rekonsiliasi, maka tali yang sudah putus tersebut seperti disambung kembali.
Berhasil. Tersambung.
Tapi sekarang, ada benjolan simpul penyambung tali di bagian tengahnya.
Maka tali itu jika disusuri dari ujung awalnya, tidak akan semulus dulu ketika belum terpotong, karena sudah ada sesuatu yang mengganjal di tengahnya.

To: Nadia (+628180*******)
Ok, besok will do. But still not sure bout Gir, I’ll try to contact him. Ok.

Hari ini ada karena keputusan yang diambil di hari kemarin.
Maka Rhino penasaran di mana letak kesalahan yang ia lakukan hingga kualitas majalahnya dari segi desain bulan ini begitu hancur?
Seperti majalah yang baru pertama kali meluncur ke pasaran.
Rhino sendiri kaget begitu melihat kiriman beribu-ribu eksemplar yang dikirim percetakan.
Si desainer, seperti bekerja dengan asal, dan malangnya, ketika Final Check, versi digital-nya tidak diperiksa dengan detail oleh art director.
Maka terjadi begitu banyak kesalahan yang membuat Rhino pusing.
Akan ada begitu banyak permohonan maaf dan ralat untuk edisi depan.

Rhino pun memutuskan untuk kabur dari kantor lebih cepat.
Ia butuh bersantai sejenak, butuh sesuatu yang mengalihkan pikirannya untuk sementara.
Untung, Nadia mengajaknya untuk makan siang bersama.
“Rhin, semalem gw kan ngobrol sama Girindra di Plaza Indonesia.” ujar Nadia sambil membawa nampan berisi potongan somay dari salah satu konter makanan yang ada di foodcourt Mal.
“Oh, kalian berdua ketemu di sana. Terus ngobrolin apa?”
“Dia nanya soal Dasa, dan soal Vadim.”
“Oh iya sih, semalem pas pulang juga dia cerita ke gw, dia tau soal Vadim. Tapi selama kita ngobrol, ada satu hal yang mengganggu gw.”
“Apa, Nad?”
“Matanya Girindra.”
“Kenapa matanya?”
“Kosong. Kayak orang yang enggak punya gairah kehidupan. Emang gitu atau gw yang aneh ya, Rhin? Apa mungkin karena gw udah lama enggak ngobrol tatap muka lama sama dia kayak kemaren?”
“Bisa jadi. Gw juga khawatir sama dia, tapi ya dia kan gitu, cuma cerita sesuatu kalo dia mau cerita. Dan kalo dia ceritain sesuatu, kita enggak punya hak tanya.”

“Yang aneh, kemaren dia juga nanya, soal masa lalu. Dia tiba-tiba mau tahu, seberapa buruknya sih gw di masa lalu. Kan aneh banget tiba-tiba dia nanya gitu. Dia minta detail, tapi gw enggak jawab.” lanjut Nadia sambil mengaduk bumbu kacang pada porsi somaynya.
“Kadang dia emang egois, ya. Suka nanya, minta detail, tapi kalo ditanya detail enggak mau.”
“Iya. Tapi gw enggak cerita ke dia. Bukannya gw enggak percaya, tapi gw ngelakuin ini demi dia juga, karena gw sayang sama dia.”
“Iya gw ngerti poin lo. Cara gw dan Girindra menerima sesuatu itu beda. Mungkin elo bisa cerita banyak hal ke gw, karena gw cuma suka mendengar. Kalo gw suka cerita lo, gw simpen, jadiin pelajaran. Kalo enggak, ya gw dengerin aja, abis itu gw buang. Kalo Girindra enggak bisa gitu, dia terlalu pinter. Elo kasih dia sesuatu, dia akan pikirin sesuatu itu terlalu jauh sebelum dikonsumsi. Dia kritis, tapi sedikit berlebihan.”

Rhino kemudian bercerita soal konsep pengampunan yang semalam Girindra bagi dengannya.

“Iya emang susah ya, Rhin. Ada satu orang yang nyakitin gw parah banget waktu gw kecil, dan gw pikir gw udah forgive orang ini. Padahal kalo ketemu orangnya gw masih suka keinget sama apa yang dia bikin ke gw, bahkan gw saking bencinya, gw kayak pengen nusuk orang ini. Kemudian gw sadar, ternyata gw cuma memaafkan tapi enggak melupakan.”
“Untuk manusia bisa melupakan sesuatu itu susah banget, Nad, karena otak kita punya kemampuan nyimpen sesuatu, unless elo kena amnesia. Makanya di situ tantangan dari konsep pengampunan, karena ketika kita mengampuni kita musti melupakan. Padahal sebagai manusia yang punya akal dan ingatan, melupakan sesuatu itu susah, apalagi waktu sesuatu itu pernah meresap banget di ingatan kita. Mungkin, elo belum sepenuhnya maafin orang itu.”
“Iya. Gw pikir dengan mengucapkan kata maaf aja itu udah cukup. Tapi ternyata enggak, butuh banyak hal untuk bisa maafin seseorang.”
“Yang paling penting butuh waktu dan proses. Kayak gw maafin bokap gw itu enggak gampang, Nad.”

Hati Rhino pilu ketika mengakhiri perkataannya, ia tidak pernah menyangka ia bisa mengatakan hal tersebut.

“Butuh waktu lama buat gw, dari yang sekedar maafin, terus berusaha ngelupain, sampe akhirnya gw mau coba untuk akrab lagi sama dia. Dulu gw benci banget sama bokap gw, Nad. Gw selalu menghindar ketemu dia di rumah, gw meminimalisir aktifitas ngomong gw ke dia. Sebisa mungkin, gw enggak mau ngomong sama dia. Gw cuma nyari dia kalau gw butuh. Nyokap gw beberapa kali minta gw untuk bisa pergi berdua bokap, kayak dulu waktu kecil bokap ngajak gw jalan, tapi gw selalu nolak.”
“Emang bokap lo bikin salah apa sama lo?”
“Dia enggak literally bikin salah sama gw sih, Nad. Dia enggak pernah ngelukai gw secara langsung. Tapi dia beberapa kali bikin gw kecewa. Gw anak hasil MBA, Nad. Anak di luar nikah, bokap nyokap gw beda agama, dan hubungan mereka ditentang keluarga dua belah pihak, gw hampir digugurin. Untungnya nyokap insist pengen ngelahirin gw. Waktu gw umur 8 tahun, mereka akhirnya bisa nikah, bokap gw pindah agama, dia dibaptis. Gw merasa tenang, karena selama 8 tahun hidup gw, gw merasa seperti anak yang diperebutkan. Nyokap gw sibuk mendoktrinasi gw dengan ajaran Nasrani, bokap gw sibuk mendoktrinasi gw dengan ajaran agamanya. Bokap gw pernah maksa gw untuk janji mau belajar melakukan kegiatan agamanya kalau gw udah gede. Waktu gw cerita itu ke nyokap, nyokap cuma bisa nangis, sambil bilang ke gw, ‘Kamu janji sama Mama, apa pun yang terjadi, kamu enggak akan ikutin apa yang Papa minta. Papa kamu bisa aja ninggalin kamu, tapi satu hal yang kamu perlu tahu, kamu punya Bapak di surga sana yang enggak akan pernah ninggalin kamu.’ Maka sejak itu, kepercayaan dan keyakinan gw mulai terbentuk.”

Rhino menyeruput, air mineralnya sedikit sebelum melanjutkan ceritanya.
“Waktu itu gw masih kecil, gw bingung. Makanya waktu mereka akhirnya nikah, punya agama yang sama, gw merasa tenang. Gw kira, hidup gw bisa normal kayak anak-anak lain. Gw enggak perlu cerita, bahwa weekend kemaren gw spend the time with my dad, then the next weekend gw spend time with my Mom, parahnya mereka enggak cerai, mereka emang enggak nikah. Gw merasa sangat abnormal. Tapi kemudian setelah nikah tiga bulan, bokap gw kembali ke agamanya. Nyokap gw sakit hati banget, merasa ditipu, dan hampir bunuh diri kalo enggak inget gw. Tapi untungnya nyokap gw bisa control her feeling, dia ingat bahwa dia udah bikin satu keputusan, maka dia harus terima resikonya. Lagipula, apa yang sudah disatukan Tuhan tidak bisa diceraikan manusia.”

Nadia mendengarkan, dengan mata yang prihatin.

“Kemudian nyokap hamil adik gw. Waktu itu bokap enggak mau ngurusin nyokap, karena sebenernya mereka enggak plan untuk punya anak lagi. Tapi begitu adik gw lahir, bokap jadi sayang banget sama dia. Dia mendidik adik gw dengan ajaran agamanya, plus iming-iming hadiah yang banyak. Dia menggunakan materi untuk memikat adik gw pada agamanya. Anak perempuan, masih kecil, siapa yang akan menolak kalau terus-terusan dikasih hadiah bagus. Gw pun jadi insecure, gw merasa dianggap beda, karena gw enggak bisa bikin dia bangga, karena gw enggak ngikutin apa maunya dia, gw merasa dia lebih sayang adik gw. Segala sesuatu yang adik gw minta bisa langsung dibeliin, enggak perduli berapa harganya.”

“Tapi jangan dikira adik gw seneng, karena ternyata semakin besar, dia sadar, bahwa dia ngelakuin semuanya cuma supaya dapet hadiah dari bokap, dan bahwa hadiah yang bokap kasih enggak akan bisa membeli kesenangannya.”

“Dia udah terlanjur milih. Dia takut kalo bokap gw tahu, bahwa sebenernya adik gw setengah hati ngikutin maunya dia. Adik gw pernah curhat sambil nangis ke nyokap, tapi nyokap dengan besar hati nasihatin adik gw, ‘Adek, kamu udah milih agama kamu. Kamu harus ngejalanin, jangan karena takut sama Papa. Tapi karena takut sama Tuhan. Kamu pilih agama apa pun, kamu tetep anak Mama. Mama enggak akan ngerasa ditinggalin sama kamu, sayang.’ Gw semakin insecure, dan ngerasa keluarga gw sangat enggak normal, sementara gw seorang yang perfectionist, gw mau segala sesuatu berjalan sesuai kemauan gw, sesuai standar gw. Tapi enggak bisa, I have to learn the hard way, that life is never perfect.”

“Itu secara garis besarnya aja, ada banyak detail lain yang enggak bisa gw cerita. Saking bencinya sama bokap, gw enggak mau jadi sama kayak dia. Gw benci liat gitar, karena gitar ngingetin gw sama dia. Gw enggak suka olahraga terutama sepak bola, karena itu bikin gw inget dia. Temen-temen gw dari SMP ngecap gw anak laki-laki yang enggak normal, karena enggak suka sepak bola dan enggak suka main gitar. Ironis, sebuah kenormalan diukur dari sepak bola dan sebuah gitar. Maka tumbuhlah gw dengan pola pikir yang gw terima dari orang-orang bahwa gw abnormal, datang dari keluarga yang juga abnormal. Di rumah gw merasa enggak cukup dapet perhatian, jadilah gw cari perhatian ke temen-temen yang mau terima gw apa adanya. I put all the blames on my Dad.”

“Mungkin itu juga sebabnya, kenapa gw enggak pernah berani memulai sebuah hubungan sampai sekarang. Mungkin alasan gw sebenarnya bukan karena gw pengen mapan, tapi karena gw takut, takut punya keluarga kayak keluarga gw dulu. Gw takut jadi bokap yang sama kayak bokap gw. Gw juga takut dapet pacar yang enggak sempurna, sehingga keluarga gw nantinya enggak sempurna. Tapi itu semua udah lewat, Nad. Gw sekarang udah bisa jalan berdua bokap, ngobrol sama dia, dan nunjukkin bahwa gw sayang dia. Itu butuh proses, pengampunan itu sebuah karunia, sebuah hadiah, hadiah dengan harga mahal yang harus kita beri ke orang-orang yang sebenernya enggak layak untuk terima hadiah itu.”

Tidak ada komentar: