Minggu, 19 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.16)

”Rhin! Rhino!!”
Rhino melepas ear plug-nya, kemudian menoleh.
Marsya tersenyum dari balik kemudi, di dalam Kijang hijau, dengan kaca yang diturunkan.
”Lo mau ke mana?” tanya Marsya setengah berteriak, sambil menunggu mobil di depannya bergerak.
”Mau ke toilet bentar, elo parkir dulu aja.”
Marsya mengangguk.
Rhino memasang kembali ear plug-nya, kemudian melangkah melewati security check dan masuk ke dalam hembusan pendingin ruangan Plaza Senayan, yang cukup menyegarkan, dibanding dengan kegersangan matahari yang dipantulkan oleh aspal jalanan di luar.
Matahari masih tidak bersahabat.

Hari ini, Rhino dan Marsya punya tugas meliput acara Soulnation Festival, yang setelah tiga kali batal, akhirnya tahun ini bisa diselenggarakan.
Acara ini serupa dengan JavaJazz Festival, yang tentu saja menghadirkan ragam musisi jazz, atau Jakarta Jam!, yang menghadirkan ragam musisi rock.
Soulnation Festival memboyong para musisi Soul, Hip-Hop, dan R&B, baik dari dalam maupun luar negeri.
Acaranya digelar dua hari, dengan Akon dan Ashanti sebagai klimaks acara di masing-masing hari.
Marsya adalah teman gerejanya, yang juga sama-sama anak komunikasi, dan memiliki bakat dalam bidang jurnalistik plus fotografi. Maka direkrutlah Marsya sebagai kontributor majalahnya.
Kebetulan Marsya juga penggila party dan penikmat musik R&B.
Rhino sebetulnya jarang pergi liputan seperti ini, biasanya dia asik mengirimkan salah satu jurnalis atau kontributornya.
Dia tinggal menanti laporan mereka masuk lewat e-mail, di-edit, kemudian diserahkan ke bagian desain.
Hanya acara-acara tertentu, Rhino pergi meliput, tidak ada salahnya sesekali menggunakan hak prerogatifnya sebagai seorang pemimpin redaksi.
Liputan terakhirnya adalah ketika Incubus datang ke Jakarta, dan seperti mimpi, Rhino bisa bertemu favoritnya, Brandon Boyd, sang vokalis.
Hal ini, membuat Girindra, yang juga cinta mati dengan Incubus, iri berkepanjangan.

Rhino, mempercepat langkahnya, takut Marsya sudah mendapat parkir, Rhino tidak ingin membuat Marsya menunggu, menuju basement Plaza Senayan, mencari Guardian, untuk membeli plester untuk tumitnya yang lecet.
Untung tadi dia dengar suara Marsya yang memanggilnya.
Jika kedua ear plug-nya sudah menempel di telinga, maka Rhino seperti memiliki dunianya sendiri.
Suara-suara riuh di luar seperti hilang tergantikan susunan lagu di iPod-nya.
Matanya lurus ke depan, seperti dipasangi kacamata kuda, tidak melihat kiri atau kanan.
Maka ia kerap dipanggil si bocah autis.
Karena ketika ia sedang sendiri, ia seperti tidak sadar diri.
Seperti sosok Isaac Mendez, di serial saga Heroes, yang matanya berubah putih ketika sedang sibuk melukis masa depan di atas kanvas.
Pandangan Rhino pun mendadak putih jika ear plug sudah menempel di telinganya.
Reyot-reyot rangka angkutan umum bisa tergantikan makhluk-makhluk imajinari dari dunia bawah sadarnya.

Nama Marsya berkelap-kelip di layar selularnya.
”Halo?”
”Rhin, elo di mana?”
”Di Guardian lagi nyari plester bentar.”
”Oh, jalan ke Senayan-nya bareng, dong.”
”Oke, elo di mana?”
”Di deket atm BCA.”
”Ya udah gw ke situ ya, gw lagi bayar, nih.”

Dalam hitungan menit, setelah menukar sejumlah uang dengan enam potong plester, mengambil salah satu kemudian segera merekatkannya di tumit yang mulai memerah, Rhino sudah berjalan bersisian dengan Marsya, menuju Istora Senayan.
Rhino mengalungkan identitas pers-nya di leher, sambil menyerahkan identitas pers milik Marsya, yang juga langsung mengalungkannya di leher dengan bangga.
”Gw norak, nih. Gw suka pake ID pers gini, berasa penting. This is my second time, Chris Daughtry was my first time.” Marsya tersenyum.
Maka mengalunlah pembicaraan seputar apa saja, menemani mereka menuju keriuhan yang ditawarkan para calo penjual tiket, menuju dentuman musik yang menggaung dari arena dalam Istora Senayan, menuju panji-panji besar promosi acara.
Mereka pun tiba pukul empat sore, ketika matahari mulai sedikit meredup.
Masih bercahaya, namun tidak ganas.

Esoknya, Rhino dan Marsya, sepakat untuk datang agak terlambat.
Jam tujuh malam, karena mereka harus menghadiri sebuah acara terlebih dulu di, Upperroom.
Setelah semalam asik mengenang kebebasan masa SMA melalui beat-beat R&B yang dilemparkan Akon, dan ditelan mentah-mentah dengan lepas oleh Rhino dan Marsya, hari ini badan terasa sedikit pegal.
Mata pun agak menggelayut, karena semalam acara baru selesai jam setengah satu dini hari.

Kebetulan di Upperroom, mereka bertemu Izabel, yang dengan baik hati mau mengantar mereka kembali ke Istora Senayan.
”Nadia jadian sama siapa sih, Rhin? Gw liat tuh di Facebook.” tanya izabel ketika mereka masuk ke dalam mobil, setelah sebelumnya sempat bolak-balik lantai dua, lantai tiga, lantai satu gedung parkir Nikko Hotel, karena Izabel lupa letak persis di mana Jazz-nya diparkir.
”Umm.. enggak tau, ya. Enggak cerita, dia kan sama gilanya kayak elo, jadi ya unpredictable.”
”Sialan.”

Izabel, adalah tempat Rhino bercerita dan bertanya seputar hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dia ahlinya.
Waktu Rhino jatuh hati kepada Diandra, Izabel sempat jadi salah satu telinganya.
Sebuah nasihat terakhir yang Izabel berikan kepadanya adalah, ”Jangan pernah nurunin standar untuk mencari pasangan hidup. Elo harus tau apa yang elo mau, elo harus punya list-nya, then stick to it. Kalo fisik bisa dikompromi, kalo nyari orang yang cakep banget itu susah, yang penting karakternya. Jangan pernah elo kompromi sama karakter. Elo enggak bisa ngerubah karakter orang, gimana pun caranya. Liat gw, at the end, I got what I want.”
Rhino mengangguk setuju.

“Tapi gw capek juga, kadang banyak banget yang bilang gw tuh pathetic, karena sampe sekarang belum mau pacaran juga. Masalahnya sekarang, gw pacaran tujuannya buat apa? Supaya punya temen jalan? Gw punya banyak orang yang bisa gw ajak jalan. Temen ngobrol? Gw juga punya banyak yang bisa gw hubungi kapan aja dan mau dengerin gw ngobrol. Untuk belajar komitmen? Bullshit. Komitmen bisa diliat dari cara gw handle kerja sambil kuliah. Kerja sambil kuliah aja gw pusing banget, apalagi mesti punya pacar, kasian nanti pacar gw cuma akan dapet ampas dari perhatian gw.” rentet Rhino panjang kepada Izabel suatu hari.
”Setuju, lagian komitmen itu enggak butuh belajar. Yang dibutuhin untuk memulai suatu hubungan, yang benar dan serius, adalah kesiapan mental, kesadaran, kedewasaan, dan realistis.” ajar Izabel.
”Tapi kadang enggak gw pungkiri, gw emang pengen banget pacaran, Bel.”
”Pengen itu wajar banget kok, Rhin. Tapi bagus banget elo udah bisa ngebedain antara mana yang elo pengen dan mana yang elo perlu. Elo masih 21, perjalanan masih panjang, Rhin, enjoy your life, fokus aja dulu sama karir dan establishing your financial life. Ngapain buang-buang waktu pacaran enggak jelas kayak kebanyakan anak muda di luar sana, kasihan hati lo nanti.”

”Udah, pokoknya inget, jangan pernah discount. Soalnya kalo gitu lo harus bayar di belakangan. Compromise di depan sama dengan bayar belakangan.” Izabel mengakhiri kuliah singkatnya sambil menepuk pelan pipi Rhino, kemudian tersenyum manis.

Izabel dan Rhino, bisa cocok berteman, walau usia mereka terpatut 6 tahun, Izabel lebih tua dari Rhino, karena punya background yang hampir sama, pernah sama-sama merasa minder, merasa kurang mendapat kasih sayang dari rumah, hingga berangkat mencari kasih sayang ke orang lain, ke teman-teman dan lingkungan pergaulan mereka.
Tapi itu dulu, waktu mereka masih merasakan masa-masa berseragam putih biru.
Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mengalami proses pendewasaan yang cukup membuat mereka berubah menjadi lebih matang.

Satu kesamaan mereka yang aneh, sama-sama punya teman bayangan.
Bedanya, Rhino punya satu, Izabel punya dua.

Teman bayangan Rhino bernama, Zachary Cedric.
Dipanggilnya teman tak kasat mata itu, Zac.
Zac selalu muncul sesuka hatinya, dalam bentuk Rhino versi dewasa, mengenakan setelan jas rapi, dengan potongan rambut klimis.
Zac kerap muncul untuk memperingati Rhino sebelum membuat sebuah keputusan, dan akan kembali muncul, ketika Rhino menghiraukan peringatannya.
Biasanya Zac akan muncul, kemudian berkata, ”Gw bilang juga apa. Nyesel kan lo enggak dengerin gw,” sambil tersenyum
Tapi Zac sekarang tidak pernah kelihatan lagi. Mungkin karena Rhino sudah cukup bijaksana membuat keputusannya sendiri, dan siap menerima apapun resikonya.

Teman bayangan Izabel, bernama Lucy, dan yang lainnya bernama Polka.
Izabel tidak pernah cerita rupa mereka seperti apa.
Yang pasti Lucy dan Polka, sama seperti Zac, sering mengingatkan Izabel agar tidak berbuat bodoh.
Lucy dan Polka, sering muncul membawa cermin ke hadapan Izabel, kemudian memaksa Izabel berkaca sambil memarahinya, ”Ngaca lo, liat muka lo sendiri, malu kan lo udah ngelakuin itu.”
Biasanya Izabel akan segera berteriak, ”Diem!”, membuat orang-orang di sekelilingnya menengok.
Membuat Izabel sedikit malu, karena lupa, bahwa tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa melihat Lucy dan Polka.
Disangka mereka Izabel tidak waras.

Tidak ada komentar: