Kamis, 16 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.15)

Masih, masih sama ganasnya benda langit itu membara.
Seperti membumihanguskan Jakarta secara perlahan.
Masih, masih menangis kulit ini ketika bersinggungan langsung dengan raungan sinarnya yang dihamparkan pada udara bebas.
Ingin rasanya berteriak minta ampun, meminta berdamai.
Aku tidak melukai alam, kaumku yang melakukannya!
Aku tidak ambil andil, bagai pengecut, ingin Rhino meraung.
Tidak berandil? Bagaimana dengan pemborosan kertas yang sering dilakukan, bagaimana dengan penggunaan tisu yang berlebihan, bagaimana dengan pemakaian listrik serta air secara berhambur di rumah maupun di kantor.
Masih berani kau bilang, kau tidak melukai alam?
Mungkin begitu matahari akan menyahut balik padanya.
Rhino berjengit, seperti merasa disengat lebih tajam oleh matahari.

Rhino berjalan tergegas meninggalkan pagar rumah.
Hari ini ia terbangun agak siang, akibat tertidur agak larut.
Tak ada salahnya sesekali membuka mata ketika matahari sudah tinggi menyapa di atas kepala.
Tapi selalu lebih baik jika membuka mata ketika matahari masih malu-malu menyembul keluar dari ufuk timur.

Baru sebentar ia di kantor, Nadia sudah menghubungi mengajak makan siang.
Sahabatnya itu rupanya sudah kembali ke kantor.
Sudah tidak bermusuhan lagi dengan ususnya, yang kemarin sempat membengkak dan membuat dia terpaksa mendekam di rumah sementara.
Nadia sibuk bercerita tentang Dasa, tentang keputusannya untuk menjauhi Dasa, atau keputusannya untuk rela dijauhi Dasa.
Entah siapa menjauhi, entah siapa dijauhi.
Mungkin ada sedikit luka pada hatinya, menganga, perih, tapi masih bisa diobati.
Nadia kuat. Dia pernah mengalami lebih dari ini.
Rhino tidak perlu khawatir.

Ketika kembali di kantor, Diandra mengganggunya.

NonaDiandra: Hei Mas, lagi di mana?

Rhino terpana sebentar. Sudah begitu lama ia tidak melakukan aktifitas chatting dengan Diandra.
Mereka lebih sering berkirim pesan lewat Facebook, atau SMS. Dia lupa Diandra sudah ada di Jakarta, sudah kembali dari Sydney.

RadityaRhino: Di kantor.
NonaDiandra: Mas, aku norak nih, baru ngeliat Jakarta lagi, kayak orang kampung. Baru tau, tarif baru taksi itu 6000, baru tau ada sop buntut seharga 60000, baru tau sekarang ada mall yang punya perosotan. Aneh-aneh aja.
RadityaRhino: Eh bertemu yuk, gosipan, ngopi-ngopi.
Diandra: Ayo ayo, aku juga pengen. Mas, ke mana yuk.. hehe.. aku pengen joged, nih.

Diandra, kamu masih liar, masih begitu muda dengan keriaan yang tak terbendung.
Adakah sedikit keseriusan dalam pikiranmu?

RadityaRhino: Ayo, nanti aja Sundaze, kita pergi bareng aja abis gereja nanti. Jam tiga sore kok, bisa pergi bareng sama Nona Marsya dan Nona Tita.
NonaDiandra: Wah asik, asik! Mauu, Mas! Aku ajak temen-temen yang lain juga, biar ramai, ajak pacarku juga! Hehe...

Rhino seperti tersentak.
Aku lupa kamu sudah dimiliki.
Aku lupa kita hanya sahabat.

RadityaRhino: Ayo, ayo, boleh ajak aja biar rame.. seru-seruan bareng.
NonaDiandra: Asik... Eh Mas, kamu gimana? Ada enggak wanita-wanita yang mengganggu pikiran? Cerita, dong.

Aku menunda.
Aku banyak belajar semenjak kamu, Diandra.
Terima kasih sudah mengajarkan aku untuk menunda.

RadityaRhino: Ada sih, tapi aku tetap bertahan.. hehe. Fokus fokus fokus sama masa depan. Masih jauhlah itu. Buat apa bilang sayang kalau enggak bisa kasih komitmen. Bukannya kalian perempuan butuh komitmen dan tidak suka digantungi?
NonaDiandra: Iya, sih. Tapi kan banyak cewek yang bisa dibodohi dan mau digantungi tanpa komitmen.
RadityaRhino: Aku enggak mau cewek bodoh, Di. Aku mau cari perempuan bijak, tidak hanya sekedar pintar.
NonaDiandra: Wah kamu wise banget Mas!!
RadityaRhino: Lagian enakkan begini, hati ku utuh, jadi nanti pas ketemu orang yang tepat, hati yang aku kasih utuh.

Walaupun setahun lalu mungkin aku sempat terpikir untuk menyerahkan sebagian hatiku untuk kamu.
Untuk dikenakan bak perhiasan.
Untuk dirawat.
Untuk dirusak.
Untuk diledakkan.
Untuk dikubur.
Terserah kamu.
Untungnya tidak jadi kuserahkan hatiku.

RadityaRhino: Sekarang sih aku investasi aja dulu.. hehe. Tebar-tebar di tempat yang kira-kira berpotensi, nanti kalau pas waktunya, tinggal tuai! Hahaha...

Aku percaya hukum tabur-tuai, tahukah kamu?

NonaDiandra: Cewek yang buat fun juga enggak ada, Mas?
RadityaRhino: Dasar, ya enggaklah.
NonaDiandra: Iya sih, kalau udah sembarangan bikin komitmen gitu kan musti serius jadinya, udah ribet. Hidup juga kayaknya udah terikat. Kayak saya ini.. hehe. Tapi yaaahh, kalo saya sih jalani dulu aja. Kalau Tuhan ijinkan lanjut, kalau tidak ya stop.
RadityaRhino: Iya, kalau kayak elo yang udah terlanjur made decision ya mau enggak mau harus stick to it, apapun resikonya. Yang bisa elo lakuin cuma do the best, supaya kalo pun ternyata elo enggak meant to be sama dia, at least lo udah kasih kontribusi yang baik buat hidup dia. Betul, enggak?
NonaDiandra: Wahh, kok kamu wise banget, sih?? Ini baru bener, bener Mas! Saya setuju!

Saya wise karena belajar.
Salah satu pelajaran yang membuat saya wise adalah kamu.
Ada harga yang harus dibayar untuk setiap hal.

Semalam seorang teman Rhino, Rian, menyodorkan sebuah pertanyaan kepadanya.
“Kalau elo bisa dilahirkan kembali, elo mau hidup sebagai siapa?”
Sebagai siapa? Rhino langsung berpikir keras.
Ada sederet wajah, sederet kehidupan yang bikin saya penasaran, akan seperti apa rasanya jika saya terlahir sebagai dia, sebagai mereka?
Tapi seperti ada benturan yang menahan, membarikade, membuatnya berpikir, apa iya kehidupan mereka jauh lebih baik dan menarik darinya?
Rhino seperti tidak rela jika kehidupan ini ditukar dengan milik orang lain.
Terlepas dari naik turunnya alur peristiwa yang sudah dilewati, Rhino tetap bersyukur telah dilahirkan sebagai seorang Zacrhino Tjakraditya.
Karena setiap kegagalan yang sudah lampau, pasti ada hikmahnya di kemudian hari.

Seperti kata Wina, suatu hari, “Gw enggak pernah ngeliat diri gw gagal dalam hidup, yang gw tau gw selalu berhasil melewati segala tantangan yang ada, dan gw sukses naik kelas.”
Semua hanya perkara cara berpikir, maka itu tanamkanlah bahwa, hati kita ada di otak.
Segala sesuatu yang dirasakan, tersaring oleh jernihnya kekuatan pikiran.

Saya unik, saya berharga, saya adalah sebuah mahakarya.

Jika menginginkan kehidupan ini ditukar dengan kehidupan orang lain (yang saya kira) lebih menarik, sama saja seperti saya berteriak, “Pencipta, kamu salah menciptakan saya, seharusnya kamu membuat saya seperti dia!” Bukankah itu murtad?
Bukankah itu hanya membuat Dia sedih?
Maka itu ingatlah, tidak ada dari kita yang sempurna, hanya Tuhan yang sempurna.

Lucu, jika pertanyaan serupa disodorkan pada Rhino dua tahun yang lalu.
Mungkin dengan cepat dia bisa menjawab, menyebut nama siapa saja yang menurutnya memiliki hidup yang jauh lebih baik.
Tapi apa sebenarnya definisi hidup yang baik?
Rhino yang mendefinisikan, maka itu tak dapat disebut objektif, tapi subjektif.

Rhino dulu pribadi pencemburu, minderan, tidak pernah merasa layak, bahkan cenderung beriri.
Adakah beda antara cemburu dan iri?
Cemburu menjelaskan perasaan ingin untuk mendapatkan sesuatu yang orang lain miliki, karena menganggap miliknya kurang.
Intinya, dia memiliki, hanya dia tidak puas pada miliknya.
Iri mejelaskan perasaan ingin untuk mendapatkan sesuatu yang orang lain miliki, karena ia memang tidak pernah punya miliknya sendiri.
Intinya, dia tidak memiliki, sampai kapan pun, dia hanya bisa mengingini.
Karena itu, cemburu berobat, sementara iri beracun.

Tapi sekarang, dua tahun lewat, Rhino sudah banyak berubah.
Lebih matang, tahu apa yang mau dicapai, tahu bahwa antara butuh dan sekedar ingin tentu berbeda, tahu tentang jelas mengenai konsep dirinya.

Tidak ada komentar: