Rabu, 15 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.14)

Jakarta semakin tengik, semakin terik.
Seperti ingin berpayung ketika keluar menyapa matahari.
Bintang yang tadinya hanya berfungsi menerangi dan memberikan rasa hangat, berubah menjadi mesin penghancur secara perlahan.
Tubuh ini seperti tidak tahan terhadap sengatannya.
Pori-pori kulit ini seperti menangis, terus-menerus mengeluarkan air mata, yang disebut keringat.
Dan seluruh bagian tubuh pun bersedih.
Bersedih disengat matahari.
Berkulit tetapi menangis.
Teknologi pendingin ruangan seperti tidak dapat diandalkan.
Mungkinkah ini respon dari sang surya, terhadap kejahatan yang selama ini dilakukan terhadap alam?
Karena adanya pendingin ruangan di mana-mana, adanya lemari pendingin, keduanya, kita tahu mampu membuat ozon jadi berlubang.
Ditambah lagi dengan pencemaran, limbah, penebangan hutan, sampah plastik, polusi udara, begitu banyak dosa manusia terhadap alam.
Maka alam pun berbicara, melalui matahari.
Melalui hujan, melalui banjir, melalui badai.

Rhino berjalan cepat menyusuri pekarangan parkir kompleks perkantorannya, melewati blok demi blok, menutupi wajahnya dengan buku, cepat-cepat masuk ke dalam kantor.
Masuk ke dalam ruangan berpendingin udara dan bercahayakan bola lampu.
Kulit tanganku, tengkukku, tak apa kau gerogoti, matahari.
Asal jangan kulit wajahku. Sulit merawatnya.
Wajahku adalah asset, kekuranganku di lain tempat bisa diakali, bisa ditutupi.
Kekuranganku di wajah tidak dapat disembunyikan.
Masakkan aku berkeliaran dengan muka bercadar atau kepala bertudung?

From: (+628114*****)
Mas, gw udah nyampe Jakarta, nih. Gila ya Jakarta panas banget, membara nih gw. Ni nomor gw, kabar-kabaran ya, Mas.

Rhino tersenyum.
Segera ia balas SMS itu sambil menyalakan komputernya.
Diandra, sudah kembali ke ibukota.
Rhino tahu, walau SMS itu tak bernama, tak beridentitas, hanya satu orang di dunia ini yang memanggilnya Mas, Diandra.
Dulu panggilan ini terjadi karena guyonan.
Guyonan yang berlanjut menjadi kebiasaan. Rhino pun tak keberatan dipanggil Mas, mungkin orang akan mengira namanya Thomas.

To: Diandra (+628114*****)
Hei Di, welcome back. Btw kemaren gw ketemu Nasya lho.

From: Diandra (+628114*****)
Eh baru gw mau SMS nyebutin nama.. hehe. Tadi lupa. Oh ya? Ketemu di mana?

To: Diandra (+628114*****)
Enggak perlu, I kno u’re the only one yang manggil gw Mas. Ketemu di Starbucks City Walk. Kantornya di lantai 19. Gw lagi nunggu temen gw mau balik ke kantor juga eh ketemu dia, lagi mau meeting. Sekarang kita berbeda, dunia sudah berubah, kita sudah jadi orang kantoran.

To: Diandra (+628114*****)
Iya dunia sudah berubah, ya. Aku mau dong jadi bagian perkantoran kalian selama masih bisa berhura-hura. Hehe…

Semalam memang Rhino bertemu dengan Nasya, saudaranya.
Yang sekarang sudah bekerja.
Waktu berjalan begitu cepat, seperti baru kemarin dia dan Nasya saling bertanya, “Elo mau kuliah di mana? Ambil jurusan apa?”
Sekarang masing-masing telah berkantor.
Telah naik satu kelas lagi dalam kehidupan.

Hari ini terasa melelahkan.
Selain panas, kantuk pun datang seperti bonus akhir tahun.
Semalam, atau mungkin sepagi, Rhino tidur begitu larut.
Jam setengah tiga pagi.
Ia baru saja memecahkan rekor terbarunya lembur di kantor, jam dua pagi!
Berduaan dengan si desainer, menghabiskan waktu untuk final check, sebelum materi majalah bisa dikirim ke percetakan.
Melelahkan. Tapi di sinilah gairahnya berlabuh.
Maka seberapa pun lelahnya, Rhino tetap menikmatinya.

Kemarin dari kampus ia diantar kembali ke kantor oleh Mocil, yang kebetulan kantornya di sebelah kampus Rhino.
Pertanyaan pertama Mocil begitu Rhino masuk ke dalam mobilnya adalah, “Gimana Girindra? Ada update enggak?”
Aneh. Update apa? Baru juga kemarin mereka pergi bersama sepulang gereja, Mocil, Rhino, Girindra, Wina, Karina dan Silfi.
“Enggak ada update apa-apa,” jawab Rhino datar, seperti tidak bersemangat.
Kadang ia ingin orang mengerti, walau ia sahabat Girindra, bukan berarti dia tahu semua hal tentangnya, Rhino bukan yellow pages, bukan buku panduan menuju kehidupan seorang Girindra.
Yang lucu, waktu ada teman mereka yang naksir Girindra, orang itu malah bertanya ke Rhino, “Kalo gw suka sama Girindra boleh enggak, ya?”
Pertanyaan bodoh.
“Ya bolehlah, elo ngapain nanya gw? Emang gw bapaknya?” jawab Rhino.
Begitu juga waktu orang-orang lama tidak melihat Girindra, yang mungkin sibuk dengan skripsi atau ujiannya di kampus.
“Girindra mana sih, Rin?”
“Kembaran lo mana?”
“Hopeng lo mana?”
Ketika sudah tidak tahan Rhino hanya akan mengangkat pundaknya, atau malah pura-pura tidak mendengar.

“Lagian kalo cowok mah enggak suka saling update cerita, ya. Kalo cewek kan tiap ada kejadian apa, langsung update ke temennya,” Mocil bersuara sambil mengaitkan sabuk pengaman.
Rhino mengangguk.
Kalopun Girindra meng-update dia dengan cerita, atau meminta pendapatnya, biasanya belakangan.
Seperti dulu waktu sejarahnya dengan Karina baru dimulai.

Dulu waktu Karina mengaku kepada Rhino, di telepon, bahwa dirinya dan Girindra sudah saling mengakui perasaan masing-masing, bahkan ketika Girindra membubuhkan kecupan bukti sayang di keningnya.
Rhino langsung menelepon Girindra setelahnya.
“Jujur deh Gir, elo sama Karina tuh hubungannya gimana?” begitu tanya Rhino.
“Gimana apanya?”
“Well I sense something is happening between you guys. Gw enggak buta.”
“Kita deket aja.”
“Deket as in, pendekatan yang mengarah ke hubungan yang lebih serius, atau deket as in temen deket aja?”
“Temen deket,” jawab Girindra pelan.
Maka kecewalah hati Rhino.
Kecewa karena sahabatnya berbohong, menganggap dirinya mungkin tidak layak menyimpan sebuah pengakuan yang harus dirahasiakan.

Rhino kemudian kembali menelepon Karina, setengah jam kemudian, karena teleponnya bicara.
“Kata dia, kalian cuma temen deket,” begitu ujar Rhino.
“Gw tau, barusan dia telepon gw.”
“Dan elo sama sekali enggak bermasalah?”
“Kenapa harus bermasalah?”
“Karina! Dia enggak mau ngakuin elo, bahkan ke gw! Temennya!! Kalian maunya apa?? Sayang-sayangan tanpa komitmen? Pake physical touch segala? You know I’m all against the stupid Hubungan Tanpa Status thing! Enggak sehat. Ngapain bilang sayang, kalo enggak bisa kasih komitmen?”
Rhino merentet panjang lebar.
Tapi tidak ada gunanya.
Ketika perempuan dilanda cinta, pikirannya disfungsional, hati dan emosinya berjalan.
Maka marahlah ia waktu itu pada kebodohan Karina dan Girindra.
Marah sekaligus sedih.

Sedih, karena hingga akhir sejarah mereka ditutup, Girindra masih belum juga mengaku.
Sampai Rhino memutuskan untuk mengirim e-mail kepadanya.

To: girindra@yahoo.com
Subject: I know.

I know what’s been happening to you and Karina.
Dan gw sedih aja, karena dari awal sampai sekarang udah selesai, which I’m glad, elo enggak pernah mau cerita ke gw.
You’re my best friend. It is killing me to see my friend walking to the wrong direction, while there is nothing that I can do to save you from free-falling.
Next time, please don’t do this again.
But it’s your choice, gw enggak mau maksa, gw enggak mau kepo.
Gw cuma mau elo tau, you can rely on me.
Elo bisa percayain gw apapun, sampah lo, atau apapun itu.
Friends don’t’ judge.

Begitu kira-kira apa yang terjadi sekitar enam bulan lalu.
Karina dan Girindra yang bersahabat kental, harus rusak hubungannya karena tidak mampu menahan luapan emosi sesaat.
Karena tidak mengerti timing.
Rhino meyakini paham, right person at the right time is the right thing.
But right person in a wrong time still a wrong thing.
Hubungan itu tidak bisa dipaksakan. Butuh lebih dari sekedar cinta untuk memulai sebuah hubungan, butuh kesiapan, kedewasaan, pengertian, komitmen, banyak.
Hubungan itu butuh tahap, perkenalan, pertemanan, persahabatan, keintiman.
Keintiman hanya bisa terjadi jika ada komitmen.
Banyak orang, hari-hari ini, ingin lompat dari tahap pertemanan, langsung ke tahap keintiman.
Baru kenal dekat, menjadi pacar, bahkan pasangan hidup.
Tidak heran banyak terjadi kasus perceraian.

Memilih orang yang tepat di saat yang tepat sama dengan memilih baju untuk bepergian.
Ketika pergi ke Negara beriklim panas, kita tidak ingin memenuhi koper kita dengan pakaian yang tebal.
Walaupun mungkin, ada jaket tebal buatan Prada, yang baru kita beli, dan ingin segera kita pakai kemudian pamerkan.
Tapi kita harus menunggu sampai musim dingin tiba, agar jaket Prada tersebut bisa digunakan sesuai fungsinya secara maksimal.
Dibutuhkan kesabaran dan juga hikmat.

“Cum, gw mau tanya, dong,” suara kekanakkan Nadia membuyarkan lamunannya.
Mereka dalam perjalanan menuju McDonald, kabur sebentar dari kegilaan kantor untuk makan siang.
“Tanya apa?”
“Kalo elo punya temen, yang punya masalah, minta dibantuin, minta didoain, minta dikasih nasihat, tapi dikasih tau enggak ngerti-ngerti, bahwa dia tuh salah, parahnya dia bahkan enggak merasa bersalah, dan elo udah eneg banget sama dia, tapi dia sahabat lo, apa yang bakal elo lakukan?”
“Enggak ada,” Rhino menjawab singkat.
“Enggak ada?”
“Iya enggak ada. Gw udah melakukan segala cara untuk bantuin dia, tapi dia enggak sadar juga, ya udah. Toh gw udah omongin, gw udah melakukan tugas gw sebagai temen. Toh entar yang ngerasain resiko dari perbuatannya kan dia juga, bukan gw. Gw sebagai temen cuma bisa seneng kalo temen gw seneng, dan sedih kalo temen gw sedih, gw cuma ikut merasakan tapi enggak mengalami. Biarin aja, kadang-kadang orang emang butuh jatuh untuk tau rasanya sakit, walaupun gw prefer kalo bisa ya jangan jatuh supaya enggak perlu ngerasain yang namanya sakit.”
“Umm.. tapi lo bakal tetep mau temenan sama dia?”
“Ya iyalah, selama dia masih punya kontribusi bagus dalam hidup dia. Kayak gw bertemen sama elo, atau Girindra. Kalian kan enggak sempurna, tapi cacatnya kalian itu bisa digantikan sama sifat kalian yang lain yang bikin gw seneng. Temen kan harus bisa nerima temennya apa adanya, sampah-sampahnya.. kecuali kalo temen lo itu emang udah cacat banget ya, udah enggak ada lagi kontribusi positifnya buat hidup lo, ya it’s about time for you to cut the friendship off.”
“Oh.. gitu, ya?”
“Iya. Emang kenapa sih nanya gitu? Siapa yang kayak gitu?”
“Adalah temen gw.”

Tidak ada komentar: