Minggu, 12 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.13)

Gerombolan itu akhirnya memilih Hong Kong Cafe sebagai tempat makan siang mereka.
Wina juga ikut bergabung, kebetulan setelahnya Wina harus siaran, kantornya berada tepat di seberang Hong Kong Cafe.
Rhino pergi semobil bertiga dengan Girindra dan Wina, sementara Karina dengan yang lain.

”Eh Gir, muka lo kok sekarang jerawatan banget, sih?” tanya Wina begitu masuk ke dalam mobil.
Girindra pun mengintipi wajahnya di spion tengah.
”Iya nih, enggak tau. Pake obat apa ya yang bagus?”
”Ya elah cowok mah enggak usah pake obat atau ke dokter segala, tanya aja nih sama Rhino pake apaan.”
”Iya, gw enggak pake facial atau obat dokter, bisa jaga muka. Yang penting telaten, sih.”
”Gw jarang bersihin muka, sih. Jadinya kotor, deh.”
”Ah elo, muka kotor, pikiran juga kotor,” perkataan Rhino ditimpali tawa Wina.

”Elo gimana Win, masih deket sama gebetan lo itu?”
”Masih, lumi lah,”
”Kenapa enggak pacaran aja, sih?”
”Ya gw kan beda sama lo, gw nanda-nanda penuh pertimbangan, enggak mau gw terburu-buru kayak elo.”
”OUCH,” Rhino iseng menimpali dari belakang.
”Lagian pacaran kan susah,” lanjut Wina.
”Pacaran enggak susah, kali,” tentang Girindra.
”Iya, pacaran doang enggak susah, tapi pacaran yang bener kan susah.” Wina mengerling kepada Rhino.
Mereka berdua tersenyum.
”Pacaran gw bener kok,”
”Ya siapa yang bilang pacaran elo enggak bener sih, Gir? Sensitif amat jadi orang,”
”OUCH,” Rhino lagi-lagi menimpali dari belakang, disambut tawa Wina.
”Iya deh, emang gw mah hidup untuk di-bully, buat diketawain mulu sama orang-orang kayak elo,”
”Yaaaa.. dia sensitif beneran! Gir, Gir, lo kan tau, kalo gw nyela lo murni joke doang.” Rhino menepuk pundak Girindra.

”Elo mau pesen yang ini ya, Rhin?” tanya Girindra sambil menunjuk sebuah gambar yang ada di buku menu Hong Kong Cafe.
”Iya, tapi bingung antara yang ini atau yang itu,” Rhino menunjuk satu gambar lain.
Girindra memperhatikan kedua gambar itu dengan seksama, ia seperti tertarik juga pada gambar lain yang Rhino tunjuk, kemudian kembali bicara, ”Ya udah gw ini, elo yang ini aja,”
Rhino bengong. Ini anak dominannya keterlaluan. Emang gw minta pendapat dia, minta dipilihin makanan yang mana? Rhino merepet sendiri dalam hati.
”Tapi kalo gw punya gw ternyata enggak enak gimana? Elo musti tuker sama makanan lo ya?”
”Ya udah kita sharing aja entar, setengah-setengah,” Girindra memberi solusi.

Makanan yang datang pertama makanan Girindra, baru makanan Rhino. Jeda agak lama, baru makanan para perempuan menyusul.
Waktu makanan Rhino diantar, Wina berkomentar, ”Wah punya lo aromanya enak banget! Kayaknya enak!”
Karina, Mocil dan Silfi mengangguk setuju.
Untung tadi Girindra milihin gw yang ini, batin Rhino.
Di seberangnya, Girindra pelan-pelan menunduk kemudian mengendus makanannya sendiri.
Seperti bertanya pada dirinya sendiri, ”Makanan gw kenapa enggak dikomentarin juga, ya? Apa aromanya kurang enak? Apa jangan salah-salah gw pesen?”
”Hahahaha.. ya ampun enggak mau kalah banget sih lo dari gw!”
”Emang dia ngapain?” Wina yang melewatkan pemandangan tadi bertanya penasaran.
”Dia barusan ngendus makanannya sendiri pas lo bilang makanan gw aromanya enak!”
Girindra hanya tersenyum asam.
Karina, Mocil dan Silfi puas tertawa.

Semua yang ada di meja itu tahu, entah kenapa, walau bersahabat, Girindra dan Rhino seperti berkompetisi. Girindra selalu tidak mau kalah dari Rhino.
Waktu ada yang memuji penampilan Rhino, Girindra pasti akan langsung bertanya kepada si pemuji, ”Kalo gw gimana?”
Waktu mereka sama-sama baru potong rambut, orang banyak yang memuji rambut Rhino, Girindra tetap tidak mau kalah, dia menanyai semua yang memuji Rhino, ”Kalo gw bagus enggak?”
Kalau sedang jalan dengan Nadia dan Karina, mereka senang menggelayuti lengan Rhino, atau memeluk pinggang Rhino, suatu hari Girindra pun bertanya, ”Kenapa sih kalian lebih suka pegang atau peluk Rhino? Emang apa bedanya gw sama dia?”
Rhino geli sendiri.
Bersahabat dengan Girindra, kadang membuat dia merasa seperti punya adik kecil yang tidak mau direbut mainannya. Padahal secara teknis, Girindra lebih tua 9 bulan dari Rhino.
Tapi sudah banyak yang berpendapat Girindra memang jauh lebih kekanakkan dari Rhino.
”Elo tuh sahabat gw, I can always trust you, rely on you. Kalo ke Girindra gw enggak tau kenapa, gw nganggepnya adik,” ujar Wina suatu hari.
Nadia juga pernah melontarkan kalimat serupa, “Iya enggak tau kenapa, gw sayang sama Girindra itu sebagai adik gw, apalagi gw pengen banget kan punya adik cowok. Tapi kalo ke elo Rhin, gw sayang sebagai sahabat.”
Rhino selalu memberikan respon yang sama kepada siapa pun yang berpendapat begitu, ”Mungkin karena fakta dia anak bungsu, dan gw anak sulung. Itu enggak bisa dirubah, gw di rumah dari kecil selalu diperlakukan layaknya anak sulung. Dari kecil diomongin, gw tuh tulang punggung keluarga kalo tiba-tiba terjadi sesuatu pada Ayah. Gw harus bisa mengurus adik gw, harus bisa memegang tanggungjawab. Sementara Girindra, anak bungsu, laki-laki satu-satunya pula. Elo tau kan, seberapa bangganya orang Batak terhadap anak laki-lakinya? Girindra udah pasti diperlakukan bak pangeran.”

”Btw, elo kenapa sih Gir diem aja?” tanya Wina begitu makanannya habis.
Dari tadi, selama makan, Rhino dan yang lain sibuk bertukar cerita, sementara Girindra seperti tidak ingin terlibat dalam pembicaraan, ia seperti punya dunia sendiri, dunianya dengan makanan yang sedang ia lahap.
”Kangen ya ditinggal Tasya?”
”Iya, kangen.” jawabnya singkat.
”Ya elah kangen apaan, baru juga ditinggal berapa hari, tadi SMS gw gitu,” Rhino ingat SMS Girindra tadi yang ia terima dalam perjalanan menuju gereja.
”Heh, awas lo, ya!” Girindra mengacungkan telunjuknya kemudian menggoyangkannya ke kiri dan kanan.
Seperti orangtua yang melarang anak kecil berbuat nakal.
Rhino tertawa.

Dua jam berlalu, banyak sekali yang sudah mereka bahas.
Kebanyakan sih mendengar cerita Karina dan Silfi mengenai negeri Thailand yang baru mereka tandangi.
Kemudian beralih ke masalah penyakit campak dan cacar air.
Silfi langsung memeriksa tangannya, “Duh gw belom pernah kena campak, atau cacar, nih. Enggak lucu banget kalo gw kena udah gede gini. Di badan gw enggak ada merah-merah, kan ya?” kata Silfi sambil mengintip ke dalam bajunya.
”Sini gw liatin,” kata Girindra sambil tersenyum nakal.
”Ck ck.. Gir, dua kali ya lo hari ini.” Rhino mengingatkan. Pertama, cuci mata di gereja, dua jahil flirting ke Silfi.
”Untung, gw kenal elo duluan baru Tasya, jadi gw mau enggak mau berpihak ke elo. Coba kalo gw temenannya sama Tasya, udah gw laporin lo.”
Yang lain tertawa.

Percakapan sempat juga beralih ke gosip soal hubungan.
Perihal hubungan laki-laki dan perempuan memang selalu menarik untuk dibicarakan.
Entah karena apa-apa, Rhino tidak terlalu memperhatikan, Karina tiba-tiba bicara begini ke Wina, ”Well, this heart is not to be broken, Win.”
“Yakin enggak bisa dipatahin hatinya?” goda Wina.
”Emang siapa yang pernah matahin hati lo?” tanya Girindra.
”Eh diem aja deh, enggak ada yang nanya pendapat lo. Kenapa? Emang lo ngerasa pernah matahin hati Karina?”
Rhino, Silfi dan Mocil langsung tertawa, sementara Girindra kembali tersenyum asam.
Semua yang ada di meja itu tahu mengenai sejarah Girindra dan Karina.
Seperti rahasia umum.

Sampai akhirnya mereka membahas film yang tengah naik daun, ”Laskar Pelangi.”
Para perempuan sibuk bercerita betapa terharunya mereka ketika menonton film itu.
Sementara Girindra dengan santai berkomentar, ”Biasa aja filmnya.”
”Ya elo mah emang enggak punya compassion! Enggak punya hati, enggak punya perasaan!” sembur Wina.
”Itu kan based on reality, kebayang enggak sih di Indonesia masih ada anak-anak kayak mereka, yang pinter, tapi mau sekolah susah karena enggak ada uang,” Wina merentet panjang.
”Rhino juga enggak bilang filmnya bagus!” Girindra mencari kawan.
”Enak aja, gw bilang filmnya bagus, gw suka, tapi enggak bagus banget seperti apa yang orang-orang bilang,” Rhino membela dirinya.
”Enggak, elo enggak bilang gitu waktu lo cerita ke gw! Munafik lo!” Girindra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rhino hanya tersenyum.
Terserah, munafik atau tidak, bukan Girindra yang punya hak untuk menentukan.

Sampai ketika Wina sudah pergi lebih dulu karena harus siaran, mereka berakhir dengan membahas Dasa.
Laki-laki yang sedang dekat dengan Nadia.
Ternyata Mocil dan Karina punya pendapat sama, mereka tidak terlalu suka dengan kepribadian Dasa yang tengil, dan tidak perduli perasaan orang lain.
Untungnya semalam melalui SMS, Nadia sudah bilang bahwa dia dan Dasa sudah tidak punya perasaan apa-apa.
Nadia memutuskan untuk menjauh, menjadi single dan siap berbaur lagi dalam pencarian cinta.

Dalam perjalanan pulang, di mobil, Girindra kembali membandingkan dirinya dengan Rhino.
”Elo sekarang lebih putih dari gw sih, Rhin?”
Ia mengulurkan lengannya, mendekatkannya ke lengan Rhino, ketika mereka berhenti di lampu merah, kemudian membandingkannya agak lama.
Aneh memang, kulit Girindra sekarang kecoklatan. Padahal dulu ia begitu putih, seperti anak rumahan yang tidak tahu main ke luar, tidak tahu kena matahari. Bukan sepertinya, tapi memang kenyataannya begitu sebenarnya.
”Ya elo sih enggak terawat.”
”Tangan elo juga lebih panjang dari gw,”
”Iyalah gw kan lebih tinggi dari elo.”
”Tapi enggak bagus ah putih kayak elo, pucat. Bagusan warna kulit gw.” Girindra tersenyum.
”Itu kan elo yang bilang, pendapat elo subjektif banget, jadi gw enggak perduli,” Rhino juga tersenyum.

”By the way, kok sekarang gw ngerasa enggak nyambung ya ngomong sama Karina? Sama sekali enggak nyambung.” Girindra tiba-tiba mengangkat topik itu.
”Enggak tau, karena elo udah il-feel kali.”
”Mungkin, ya. Atau gw yang udah banyak berubah? Wina bilang gw banyak berubah. Emang gw berubah ya, Rhin?”
”Enggak, sih.”
Elo enggak berubah, ke arah baik maupun buruk, elo stagnan, bahkan mendekati terjun bebas sekarang, kata Rhino dalam hati sambil memperhatikan lampu berganti hijau.

Tidak ada komentar: