Minggu, 12 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.12)

Mau mual rasanya Rhino, begitu tiba di lantai 12.
Ia memilih naik tangga dari lantai 2, dari jembatan penghubung yang menghubungkan Nikko Hotel dengan bangunan di belakangnya, tempat di mana gereja Rhino berada.
Lift yang tersedia hanya dua, dan selalu penuh, sementara ibadah sebentar lagi akan dimulai.
Rhino tidak mau terlambat.
Gerejanya memiliki budaya tepat waktu, sesuatu yang Rhino sanjung, ketepatan waktu.
Siapa telat, silahkan menunggu di luar.
Maka tangga pun dipilihnya, ketimbang katrol bermesin yang menarik lift dari lantai ke lantai membawa sekitar 10an orang di dalamnya.

Begitu sampai di lantai 12, setelah melewati security check, Rhino mendapati Nadia, tidak jauh di depannya.
Nadia mengenakan kemeja kebesaran yang dijadikan mini dress, serta sepasang gladiator di kakinya.
Saran Rhino akhirnya diikuti.
”Lho, gw kira lo bareng Girindra?”
”Enggak, tadi dianter bokap.”
”Tasya kenapa enggak ikut?”
”Lagi ke Thailand katanya, liburan. Liburan bareng Karina kali,” sahut Rhino iseng.
Nadia tersenyum.
Kebetulan Karina memang habis berlibur di Thailand, kemarin sudah kembali ke Jakarta, Rhino tahu dari SMS yang Karina kirim sebelum dia nge-MC bersama Wina.
”Heh, I’m home! So many stories to tell!” begitu isi SMS-nya.

Di dalam rupanya Girindra sudah menunggu, sudah menyiapkan dua bangku untuk mereka.
Begitu duduk, Nadia iseng bertanya kepada Girindra,
”Jadi Tasya lagi liburan bareng Karina di Thailand?”
Girindra tertawa.
Tepat beberapa menit sebelum ibadah dimulai, Wina berjalan masuk, spontan Rhino, Girindra dan Nadia memanggil, karena kursi di samping Girindra masih kosong.
Jadilah mereka duduk berempat, Girindra, Wina, Rhino, Nadia.

”Kok tumben datengnya mepet, bo?” tanya Nadia ke Wina, sambil mengeluarkan bungkusan permen mint dari tasnya.
”Iya bo, baru bangun. Capek banget basian semalem,” Wina berbicara dengan suara parau, menggeleng sebentar, menolak permen mint yang ditawarkan Nadia.
”Suara lo juga akibat semalem, ya?”
”Iya nih, ditambah gw jarang minum, udah deh, risiko pekerjaan,” jelas Wina yang memang berprofesi sebagai Radio Announcer di Hardrock FM Jakarta.

Yang berbicara di mimbar hari ini ternyata Ayahnya Diandra, Pendeta Charles, yang datang khusus dari Ambon.
Segera Rhino meraih selularnya, kemudian meng-SMS Diandra, yang sedang mengenyam pendidikan tingkat S1 di Sydney, Australia, yang akan kembali ke Jakarta besok malam untuk liburan sampai Februari tahun depan.
Rhino sudah berencana untuk pergi ke sejumlah party bersama Diandra, Marsya, dan mungkin juga Tita.
Dulu Rhino sempat dekat dengan Diandra, mereka bekerja di perusahaan yang sama, dengan posisi sebagai asisten, bedanya Rhino part-timer, Diandra full-timer.
Kalau sedang bosan di kantor, mereka, yang komputernya saling berbelakangan, akan menghabiskan waktu dengan chatting, membuat gosip tentang orang kantor, atau main truth or dare.
Mereka kerap mendapat tatapan aneh dari orang kantor karena sering tiba-tiba tertawa bersamaan.
Orang kantor tidak tahu, dua asisten ini, sebenarnya bukan bekerja, tapi makan gaji buta dengan asyik chatting.
Seiring waktu, Rhino mulai menaruh hati pada Diandra.
Sempat ragu waktu itu, akankah ia menyatakan perasaannya kepada Diandra, atau memendamnya sendiri dalam hati.
Toh, kalau ia menyatakan perasaannya, ia tidak bisa menjalin sebuah komitmen dengan Diandra, kalau pun Diandra membalas cintanya.
Bukan tidak mau, tapi belum mau.
Kemapanan merupakan syarat utama Rhino sebelum ia benar-benar bisa menjalin sebuah hubungan dengan seorang perempuan, sampai akhirnya ia settle down, sampai akhirnya menikah.
Menurut Wina, dan juga Izabel, yang dulu sempat menjadi tempat ia meminta pendapat soal hubungan laki-laki dan perempuan, sebaiknya Rhino memendam saja perasaannya, dan menanti hingga tepat waktunya.
Toh kalau jodoh tak akan kemana.
”Ngapain bilang sayang kalau enggak bisa jadian?” begitu kata Izabel.
Tapi Diandra akhirnya pun tahu, Rhino sendiri yang mengakuinya, namun setelah Diandra akhirnya sudah terlanjur berangkat ke Sydney.
Diandra menghargai perasaan Rhino.
Dan sejak itu mereka semakin dekat, hingga malah bisa dibilang berteman baik.

To: Diandra (+614502******)
Cin, bokap lo lg khotbah ni di gereja! Gila baru pertama gw denger khotbah dia, bagus bo!

From: Diandra (+6142502*****)
Bedeh, bagus kan cuy? Salam dong, hehe.

Lucu, seorang anak titip salam untuk Ayahnya sendiri melalui perantara orang lain.
Tentu tadi hanya bercanda, kalau serius, terdengarnya miris.
Diandra sudah banyak cerita mengenai susahnya hidup sebagai anak Pendeta.
Apa yang ia lakukan, mempertaruhkan nama dan reputasi sang Ayah.
Harus dituntut terlihat sempurna setiap saat, sementara Diandra hanyalah manusia biasa.

Tapi memang harus Rhino akui, apa yang Om Charles sampaikan benar-benar bagus.
Rhino, Nadia dan Wina sibuk ber-”Wow”.
Sementara Girindra seperti biasa tidak ada reaksi, hanya senyum sendiri, kalau merasa ada bagian yang menampar pipinya sebagai makhluk fana yang tidak luput dari dosa.

Salah satu yang berkesan yaitu ketika Om Charles membagikan cerita seputar kerusuhan yang dulu marak terjadi di Ambon.
Ketika perang saudara masih berkibar, ketika dua kubu agama Nasrani dan Islam bertarung, karena tersulut provokasi oknum-oknum picik.
Om Charles yang waktu itu masih tinggal di Bandung, menelpon saudaranya, untuk menyuruhnya lari dari Ambon, tapi saudaranya yang mempunyai iman sebesar biji sesawi namun dapat memindahkan gunung, memilih untuk tinggal di Ambon, berdiam di dalam gereja, dan berdoa di sana.
Satu jam kemudian, Om Charles mendapat telepon, saudaranya telah meninggal.
Dibunuh secara sadis, kepalanya ditebas ketika sedang berdoa di dalam gereja.
Rhino dan Nadia langsung memegangi leher masing-masing, spontan bersyukur karena kepala dan tubuh mereka tidak terpisah.
Kemudian Om Charles bilang, banyak orang mengatakan saudaranya mati konyol, mati demi membela keyakinannya.
Kata Om Charles, lebih baik begitu, lebih baik mati konyol daripada hidup konyol.
Untuk apa hidup dan mengaku beragama kalau bersikap seperti orang yang tidak punya agama?
PLAK! Perkataan barusan seperti menampar Rhino keras-keras di wajahnya.
Apakah hidupnya selama ini sudah berkenan di mata Tuhannya, atau malah terkesan konyol?
Semoga sudah berkenan, walau belum sempurna, harap Rhino.

Ada juga bagian yang lucu di mana Om Charles menyindir orang Ambon, Manado dan Batak.
”Sama saja semua itu, saya yang orang Ambon juga mengaku, kita memang senang pesta pora, sama saja dengan Manado dan Batak.”
Wina, Nadia, Girindra dan Rhino spontan terbahak.
Wina dan Girindra sesama Batak, Nadia dan Rhino sesama Manado.
”Kena semua deh kita, tukang hura-hura, bo.” ujar Wina.

Begitu ibadah selesai, dan mereka semua keluar dari dalam ruangan, bergabung dengan segenap jemaat lainnya yang mengerubung seperti semut di pintu keluar, Rhino mendapati Karina.
”Karina!” Ia pun langsung memanggilnya, Karina menoleh dan melambaikan tangan dengan semangat.
Rhino menghampirinya lekas-lekas, kemudian memeluk sahabatnya itu.
Sudah tiga minggu mereka tidak bertemu.
Karina asik liburan, dari Bandung, Surabaya, Yunani, Dubai dan Thailand.
Nadia menghampiri mereka dan ikut memeluk Karina.
Girindra dan Wina tak terlihat.
”Nice to be back,” kata Karina masih merangkuli Nadia dengan erat.
”Elo ke mana aja sih, Nad? Gw kangen banget!”
”Elo kali yang ke mana aja?”
”Duh gw banyak cerita nih, banyak yang mau gw tulis juga. Tungguin ya tulisan gw nanti di Facebook!”
”Gila, elo bener-bener mulai mengambil alih lahan pekerjaan gw, ya?” tanya Rhino.
”Dih, insecure banget sih lo! Eh pergi makan, yuk,” ajak Karina.
”Gw enggak bisa, mau ngajarin anak-anak sekolah Minggu nari,” jawaban Nadia membuat Karina sedikit kecewa, terlihat di matanya.
”Elo sama siapa, Kar?” tanya Rhino.
”Sama Mocil dan Silfi, kalian berdua aja?”
”Enggak sama Girindra dan Wina juga.”
”Ya udah, kalian cari mereka gih ajak makan juga, gw udah musti cabut, nih. Bye.” Nadia pun meninggalkan mereka berdua.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan Girindra yang tengah asik ngobrol dengan Mocil dan Silfi.
Mocil sedang menusuk-nusuk perut Girindra, ketika mereka mendekat.
”Apanya yang keras sih, Gir? Ini mah biasa aja,” kata Mocil.
”Masa, sih? Gw abis sit up lho tadi pagi, coba deh Rhin lo pegang perut gw.”
Rhino menjulurkan tangannya, kemudian tersenyum.
”Segini lo bilang keras? Gir, cuma karena lo sit up tadi pagi bukan berarti perut lo langsung jadi, ya. Biasanya juga buncit lo kayak babi.”

Tidak ada komentar: