Minggu, 12 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.11)

Suara ala Karen O dalam tarikan post punk serta buraian unsur riot dari Clanir Hutadjulu, mantan vokalis Amazing in Bed, sibuk melantukan penggalan lirik ”Romansick”, lagu kesukaan Rhino, di telinga kirinya, yang menghadap ke jendela, yang menghadap ke jalanan di luar.
Clanir, merupakan kontributor majalah Rhino juga teman baik, yang belakangan ini sering Rhino rindukan, karena Clanir sekarang tidak berada di Jakarta, melainkan di Belanda, di negeri di mana bunga tulip bermekaran dan kincir angin seukuran raksasa bebas berputar.
Sementara dari telinga kanannya, telinga yang menghadap kursi pengendara, yang sedang diduduki Ayahnya, sibuk menangkap dan mencerna rentetan keluh kesah sang Ayah tentang sang Ibu di rumah.
Perihal keluarga, entah bagaimana, selalu berhasil membuatnya penat.
Di mobil, Rhino selalu begitu, memasang ear plug-nya hanya sebelah kiri, karena telinga kanannya digunakan untuk mendengar celotehan sang Ayah. Dia takut dianggap tidak sopan jika tertangkap basah mendengarkan iPod ketika Ayahnya sibuk berbicara, entah memberi nasihat, atau berkeluh kesah soal pekerjaan atau Ibunya atau adiknya, atau ketika sedang berbagi lelucon yang kadang jenaka kadang tidak, tapi tetap Rhino akan tertawa geli untuk menunjukkan apresiasinya.
Rhino hanya sibuk mengangguk, mengangkat alis, atau bergumam kecil ”Oh…”.
Rhino tahu, perannya hanya pendengar, bukan perantara.
Ia tidak ingin masuk campur hubungan orangtuanya, kalau tidak terlalu mendesak.
Ayahnya punya mulut dan telinga, begitu juga Ibunya.
Mereka bisa berkomunikasi bersama jika menggunakan indera tersebut dengan efektif.

Novel, yang tadinya hendak dicicil dalam perjalanannya dari rumah menuju gereja, terpaksa dipensiunkan sejenak, dimasukkan kembali ke dalam tasnya, demi mendengarkan sang Ayah.
Paha kirinya bergetar, dua kali, tanda sebuah pesan telah masuk ke dalam inbox selularnya.
Dari desainer majalah.
Desainer baru, yang banyak tanya, dan selalu membuat Rhino menahan nafas panjang menahan amarah.
Sejak semalam, desainer itu bolak-balik bertanya, mana halaman yang harus dibuang, agar bisa masuk iklan, yang bulan ini kelebihan tiga.
Domino efek dari pihak marketing pencari iklan.
Tidak adil. Ketika jumlah iklan tidak sesuai target, Rhino harus memutar otak mencari berita untuk mengisi halaman yang kosong. Namun, ketika iklan berlebih, halaman artikel Rhino, yang sudah ditulis mati-matian oleh, entah jurnalisnya, entah kontributornya, harus menurut dibuang, didiamkan dalam simpanan arsip komputer, tidak meluncur ke percetakan untuk dipublikasikan.
Mamon, hendaklah kamu tidak menjadi hamba mamon.
Betapa uang bisa begitu membatasi kreatifitas.
Sama dengan maraknya musisi Indonesia yang begitu banal, mencipta aneka produk massal yang menyakitkan telinga, demi meraup uang yang menguntungkan perut buncit para bos besar di industri rekaman.

Sejak malam, desainer baru itu, yang ketakutan karena dikejar tenggat waktu, sibuk mengganggui Rhino, bahkan ketika Rhino semalam hendak beristirahat, setelah letih memandu sebuah acara ulang tahun ke-17 bersama Wina, ulang tahun adiknya Nadia.

Sekarang, yang bikin kesal, desainer itu minta dikirimkan beberapa artikel lewat e-mail, karena datanya ia tinggalkan di kantor. Ini tidak bisa ditolerir, dia yang salah, dia yang lupa membawa pulang data, sekarang meminta Rhino untuk bekerja di hari Minggu, hari yang selalu ia khususkan untuk beribadah.

To: Adel (+62178*******)
Maaf ya, tapi internet gw lagi mati. Lagian gw lagi enggak di rumah mau ke gereja, dan baru nyampe rumah lagi malem, banyak urusan. Siapa suruh enggak dibawa pulang datanya ke rumah. Ya udah tunggu aja besok.

Sementara besok, adalah harinya Final Check, hari di mana, versi digital majalah yang akan terbit akan dilihat oleh Rhino dan art director-nya. Rhino sebagai pemimpin redaksi bisa seenaknya meminta ganti layout jika ada desain yang tidak enak dilihat matanya, ya matanya.
Matanya yang diharapkan mewakili mata sejumlah target pembaca majalah tersebut.
Terkesan subjektif? Terserah.
Rhino adalah pemimpinnya.
Kualitas majalah tersebut menentukan performanya.
Si empunya majalah sudah mempercayakan selera Rhino untuk mewakili selera pembacanya.
Rhino yakin si desainer baru itu, pasti kelabakan membaca sambutan SMS Rhino. Tidak mungkin besok desainer itu datang ke kantor, dengan lima desain yang belum selesai, hanya karena alasan lupa membawa pulang data.

Belum lagi selular itu kembali masuk ke dalam lingkup tertutup kantong celana Rhino, sebuah pesan sudah kembali masuk.
Bukan dari si desainer, untungnya, tapi dari Girindra.
Maaf Ayah, kata Rhino dalam hati.
Celotehan sang Ayah jadi terdengar jauh, walau hanya berjarak beberapa senti dari telinga kanannya.
Rhino, tidak mampu membagi fokusnya ke dua hal secara bersamaan, sama seperti kebanyakan lelaki pada umumnya.
Girindra hanya mengabarkan bahwa dirinya telah sampai di gereja.
Rhino, Girindra dan Nadia sudah sepakat akan duduk bersama di gereja Minggu ini, sudah lama mereka tidak pergi gereja bersama, terpisah oleh kesibukan.
Minus Karina, tapi sudahlah, semua tidak akan bisa sama seperti dulu lagi.
Rhino, membalas pesan tersebut, memberi tahu Girindra bahwa dirinya sebentar lagi sampai.

Belum lagi selular itu masuk ke dalam kantong celana Rhino, sebuah pesan kembali masuk menggetarkan seluruh rangka selular.
Lagi, dari Girindra.

From: Girindra (+628170******)
Rhin, gw barusan liat cewe cakep banget!!! Parah!!

Tawa Rhino tertahan dalam pikiran, dalam hati, dan dalam perut, membuat otot perutnya mulas seketika.
Tawanya tidak bisa disemburkan keluar secara verbal melalui pita suara, karena Ayahnya pasti akan menoleh heran.
Sudah dua tahun dia berteman dengan Girindra, dua tahun mereka pergi ke gereja yang sama, dari awal bahasan mereka sama, kenapa sulit sekali menemukan perempuan, yang secara fisik, sesuai dengan standar cantik mereka, yang sesuai dengan tipe mereka, di gereja tersebut.
Bukan, sok memilih, bukan tidak ingin mencari perempuan dari luar gereja tempat mereka berjemaat, tapi ada baiknya, mencari pasangan yang pergi ke gereja yang sama.
Karena, pola pikirnya tentang kerohanian bisa disamakan, karena asupan pengajaran rohaninya bisa disamakan, prinsipnya bisa disamakan.
Walaupun akhirnya, Girindra lebih memilih menjatuhkan hatinya pada Tasya, yang ditemukannya di kampus.
Dulu ada, satu perempuan, yang selalu bisa menarik perhatian dua bersahabat ini, Izabel.
Tipe wanita cantik, begitu rupa, yang setiap masuk ke dalam ruangan dapat dipastikan semua mata menoleh kepadanya.
Tapi Izabel tidak terjangkau, usianya pun terpaut beberapa tahun di atas mereka.

Rhino geli sendiri membayangkan sahabatnya yang masih sendirian di gereja, menemukan pemandangan langka itu. Sampai meng-SMS Rhino segala, seperti tidak sanggup menahannya, bagai baru melihat fenomena alam yang tidak mungkin terulang dalam puluhan tahun ke depan.
Bisa saja Girindra, pikir Rhino. Mentang-mentang Tasya sedang liburan di Thailand, dia asik cuci mata.
Tapi tak apalah, sekali-kali sahabatnya harus dibuat senang.
Toh Rhino tahu, walau pikiran Girindra bisa jalan-jalan ke perempuan lain, hanya Tasya yang mampu bertahta di hatinya, setelah Tuhan, tentunya.

To: Girindra (+628170******)
Hahaha, siapa Gir siapa?? Coba fotoin terus MMSin ke gw, gw penasaran! Kalo gw cuci mata gapapa masih halal, kalo elo udah haram!

From: Girindra (+628170******)
Enggak tau gw siapa, enggak kenal. Gw musti cari tau, nih!

Tidak ada komentar: