Minggu, 19 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.17)

Hari kedua Soulnation Festival agak lebih lengang dari hari sebelumnya.
Kali ini Rhino dan Marsya ditemani Nadia, yang datang bersama teman barunya, Okky.
Okky ternyata pemilik sebuah perusahaan label yang pernah bekerja sama dengan majalah Rhino.
Tapi ternyata tidak semua kerja sama itu berhasil, ada satu yang lolos dari pengamatan Rhino.
Ulah si marketing.
Rupanya, ada satu artis dari label Okky, yang dijanjikan akan mendapat space untuk mengangkat profile-nya sebagai pendatang baru, serta space untuk ulasan albumnya.
Asalkan, majalah Rhino bisa memasang logo di setiap cetakan cover album artis tersebut, dan di setiap iklan albumnya.
Harusnya, si marketing, meminta approval dari Rhino.
Jika ya, maka ya, jika tidak, maka tidak.
Ternyata si marketing membuat keputusan sepihak. Diiyakannya kerja sama tersebut tanpa meminta pendapat Rhino terlebih dulu, kemudian ditinggalnya kabur si Okky.
Alhasil, logo majalah Rhino sudah ada di mana-mana mendukung promosi si artis, tapi si artis sendiri belum pernah dimuat dalam salah satu edisi bulanan majalah Rhino.
Rhino langsung panas mendengarnya.
Untung Okky lumayan baik, dan menjadikan semuanya layaknya cerita guyon.
Sehingga Rhino tidak terlalu memperbesar rasa tidak enaknya kepada Okky.
Paling tidak, terima kasih pada Okky, Rhino punya alasan untuk memarahi si marketing tersebut.

Melalui Okky, Rhino dan Nadia dikenalkan kepada salah seorang artis Indonesia, yang lumayan terkenal membawakan lagu-lagu bernafaskan religi.
Sudah beristri, beranak pula.
Tapi malam itu, ternyata dia datang dengan selingkuhannya, dan mengajak Okky duduk bersama, sehingga sudah pasti Okky mengajak Rhino dan Nadia ikut duduk dengan mereka.
Sengaja dibuat ramai, padahal baru kenal, agar jika tertangkap basah kamera wartawan haus pemburu gosip dari berbagai infotainment, dia bisa beralasan, bahwa dia datang tidak hanya sendiri, atau tidak hanya berdua dengan selingkuhannya, tapi ramai-ramai dengan teman-temannya.
Teman yang baru dikenalnya beberapa menit lalu.
Marsya tidak harus ikut kena sial seperti ini, karena sebagai fotografer, dia mendapat tempat khusus untuk memotret dari bibir panggung.
Setelah tiga lagu, Marsya pamit pulang, ingin lanjut ke Public, menghadiri ulang tahun seorang teman.
Tinggallah Rhino dan Nadia yang menjadi saksi (belagak) bisu, ulah menjijikkan artis tersebut.
Di luar menyandang gelar sosok yang alim, seorang suami dan ayah yang sempurna.
Ternyata manusia tetaplah manusia.
Berdosa, bernafsu, berkeinginan.

Sama seperti kemarin, penutupan Soulnation Festival hari ini, sekaligus tahun ini, juga diakhiri pukul setengah satu dini hari.
Rhino, Nadia dan Okky melanjutkan malam di pinggiran Menteng, ditemani nasi goreng gila, sate padang, roti bakar, serta pengamen sebagai sajian penutup.
Dari situ Rhino diantar pulang ke rumah oleh Nadia.
Di tengah perjalanan, Nadia melakukan hal bodoh.
Keceplosan.
Seperti pipa air yang mendadak bocor, menyemburkan literan air ke mana-mana.
”Gw sebel sama Vadim! Punya pacar tapi berasa kayak enggak punya pacar.”
Rhino mencerna ulang kalimat itu dengan cepat.
Sudah larut, tapi otaknya masih mampu bekerja, apalagi setelah baru saja diasupi makanan.
Dia yang punya pacar, kenapa elo yang sebel? Rhino bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Atau jangan-jangan elo emang pacarnya? Rhino semakin heran.
Toh, baru-baru ini Nadia memang sudah mengganti statusnya di Facebook, ”no longer listed as single”, membuat cukup banyak orang bertanya keheranan.
Namanya juga Nadia, dia bisa sepintar apapun menyembunyikan sesuatu.
Padahal, sebenarnya, Nadia bukanlah tipe orang yang jago menutupi sesuatu.
Berbohong adalah kelemahannya.

”Elo keceplosan ya, Nad?” Rhino tersenyum jahil.
”Hah?”
”Itu barusan elo ngomong, sebel sama Vadim soalnya dia kayak berasa enggak punya pacar. Kalo bukan elo pacarnya kenapa harus elo yang sewot, kan kesannya elo pacarnya, dan elo merasa enggak dianggep sebagai pacar.”
”Aaahhhhhh!! Sialaann!!” Nadia merutuki dirinya sendiri.
”Bego bego bego!” Nadia menepuki keningnya.
”Kok gw bisa keceplosan, sih?” Nadia nyengir.
”Jangan bilang siapa-siapa ya, cumi.” Nadia memelas.
Rhino terbahak.

”Bisa-bisanya ya elo jadian gitu aja. Maen-maen doang ya lo? Rebound ya lo buat ngelupain Dasa?”
”Hehe.. enggak tau deh ini apaan. Mungkin iya kali rebound doang. Gw juga enggak berharap ini serius kok. Gw juga enggak tau kenapa gw iyain. Ya udahlah, ya...”

Rhino menggelengkan kepalanya heran.
Kenapa orang bisa begitu gampangnya memandang sebuah komitmen?
Beberapa minggu lalu Stanisha, saudaranya, jadian dengan alasan yang sama, main-main aja.
Tidak melibatkan hati.
Hasilnya, putus setelah tiga hari.

”Thanks ya, Nad. Ati-ati ya pulangnya,” ujar Rhino ketika melompat turun dari mobil.
”Heh awas lo jangan bilang siapa-siapa!” Nadia berteriak dari dalam mobil.
”Nothin comes for free these days, lady.” ujar Rhino sambil menutup pintu mobil, kemudian mengerling.
”Sialan!” suara Nadia tenggelam hilang, berbarengan dengan pintu yang tertutup.

Letih rasanya tubuh ini.
Ingin segera membenamkan diri di kasur, setelah ganti baju dan membersihkan badan.
Besok, harusnya Rhino gereja, tapi dia seperti ingin di rumah saja.
Having a me time, nonton DVD, melanjutkan mengetik novel.
Entah apa lagi.

Tapi keesokannya, diurungkan niatnya untuk berdiam saja di rumah.
Sebuah SMS masuk membuat ia terbangun dari nyenyaknya tidur.
Dari Girindra. Mengajak Rhino datang gereja, kebaktian jam setengah satu.
Rhino membalas. Belum tahu.
Kemudian kembali tidur.

Beberapa jam kemudian, ia kembali dibangunkan, lagi-lagi dengan sebuah SMS.
Dari Girindra juga. Kembali mengajak Rhino ke gereja.
Huff.
Ya sudah, akhirnya ia bangun, bersiap-siap.
Pasti Tasya tidak bisa menemani Girindra gereja hari ini, sampai sahabatnya itu, pagi-pagi sudah dua kali SMS mengajak Rhino gereja dengannya.

Di gereja, sebelum kebaktian dimulai, mereka bertemu Wina.
”Hei kamu, kemarin jadi ke Soulnation enggak sih sama Wira?” tanya Rhino.
”Jadi dong, tapi kemarin aku enggak lama-lama cuma nonton Pandji aja terus balik.”
”Oh.. kamu kok enggak SMS aku, sih? Eh, lagian percuma ding, aku kan dateng sama Marsya udah malem gitu. Enggak bakal ketemu juga.”
”Tuh kan...”
”Guys, what’s with the aku-kamu thing, ya?” Girindra bertanya sambil mengerutkan alisnya.
Wina dan Rhino pura-pura tidak dengar dan terus berjalan.
Apa spesialnya sih aku-kamu, tidak ada bedanya dengan gw-elo.
Buat Rhino, itu hanya perkara bahasa, memakai suatu yang lebih formal, belum tentu merubah maknanya.

Di dalam gereja, Rhino duduk berdua Girindra, sementara Wina duduk memisah, agak sendiri di depan.
Khotbah hari ini bagus. Tapi Rhino seperti tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan saking berjuang keras menahan kantuk, menahan kedua kelopak matanya agar tidak tiba-tiba menutup, lantas menghilangkan dia ke dunia mimpi.
Diliriknya sahabatnya, di sebelah kirinya.
Girindra bersedekap, dengan kepala tertunduk.
Apakah dia mendengarkan, apakah dia merenung, apakah dia tidur?
Dia tidur.
Rhino langsung menyikut Girindra.
Kepalanya langsung terangkat, ”Apaan sih lo Rhin? Gangguin orang berdoa aja.”
”Eh gila, jangan belagak gila ya. Orang lagi khotbah masa elo berdoa sendirian. Tidur kan lo?”
Girindra nyengir.
Rhino mendecak heran.

Selesai kebaktian, mereka kembali bergabung dengan Wina.
”Eh kalian pada ke mana? Makan siang bareng lagi, yuk.”
Rhino dan Girindra mengangguk.
”By the way, tau enggak sih Win, si Girindra tadi tidur pas khotbah! Mending sekali, dua kali jo!”
”Gw ngantuk banget soalnya. Hehehe...”
”Ya ampun Girindra, elo tuh, ya. Ck ck ck... bertobat deh bertobat.”
”Tau lo Gir, gw udah nyerah deh ah. Gw udah enggak tau lagi musti ngapain elo biar berubah.” tambah Rhino bercanda.

Tidak ada komentar: