Selasa, 30 September 2008

Fiksi atas Fakta (pt.2) - Sehari Di Rumah

Dilakukannya ritual sehabis mandi.
Sebuah kebiasaan yang entah mengapa disebut ritual, karena ritual seharusnya bersinggungan dengan upacara keagamaan atau sesuatu yang sakral.
Apanya yang sakral dari aktifitas memakai krim penghalus kulit tubuh dan krim perawat kulit muka?

Tidak banyak yang Rhino lakukan hari ini.
Hari pertama dari dua minggu libur Lebaran kampus dan seminggu libur Lebaran kantor.
Jika biasanya Rhino dituntut untuk produktif, di masa libur ini Rhino ingin berhiatus sejenak.
Bersikap tidak produktif sementara.

Ada sebenarnya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Sebagai pemimpin redaksi sebuah majalah berkonsep gratisan Jakarta, ada begitu banyak hal yang harus berjalan di bawah pengawasannya.
Kualitas majalah tersebut menentukan performanya dalam bekerja.
Ada juga sebenarnya tugas kampus yang harus tetap dibuat dan dikirim segera lewat surat elektronik.
Sebagai mahasiswa komunikasi semester akhir, kegiatan berkuliahnya di kampus memang semakin berkurang intensitasnya.
Bukan berarti, hidupnya menjadi lebih mudah.
Ke kampus memang hanya seminggu dua kali, tapi tugas yang dibebankan membuat Rhino merasa bahwa seminggu tidaklah cukup terdiri dari tujuh hari.

Hari ini ketika pertama membuka mata, yang ingin Rhino lakukan hanyalah membaca.
Merampungkan sebuah buku yang harus ia ulas untuk majalahnya, agar bisa segera melahap novel tebal yang kemarin baru ia beli.
Lihat? Membaca saja merupakan pekerjaan baginya.
Selepas membaca, bukan berarti bersantai ia bisa.
Masih ada sebuah artikel ulasan yang harus ia buat, dan diserahkan ke pihak desain sebelum tenggat waktu mengejarnya ke garis batas.

Maka, membaca lah agenda ”produktifitas”-nya hari ini.
Sampai kegiatannya terhenti, karena ibu menyuruhnya mandi, karena ayah mau mengajak seluruh anggota keluarga kecil ini ke Mal, karena adiknya, Thirza, minta dibelikan janji jika ia mampu menunaikan aktifitas berpuasa sebulan ini dengan penuh.

Maka, ditutup novel itu yang sepertinya sudah memakan lama waktunya, namun ternyata ketika diintip angka kecil di sudut bawah halaman, Rhino baru menginjakkan perhatiannya di halaman 95.
Masih di ambang sebuah kisah panjang yang harus tertuntaskan.
Setengah perjalanan saja belum.

Agak malas sebenarnya dia untuk mandi kemudian pergi bersama keluarganya.
Bukan karena ia tidak sayang keluarganya.
Namun karena ia memang sedang gontai bergerak ke mana-mana.
Bukan juga ia tidak suka mandi.
Rhino termasuk peduli dengan kebersihan dirinya, hanya sebatas dirinya, kebersihan di luar dirinya, ia tidak begitu perduli, ada banyak orang di luar sana yang bisa dibayar untuk membersihkan kamarnya, rumahnya, bahkan mejanya di kantor, hingga kelasnya di kampus.
Namun, karena seharian ia tidak bersinggungan langsung dengan sinar matahari.
Tidak sedikit pun ia berpeluh.
Terima kasih atas teknologi pendingin ruangan, serta hembusan angin sore melalui teras atas rumahnya.
Ia merasa tidak harus membersihkan diri.
Toh tadi pagi sikat gigi dan cuci muka sudah ia lakukan.
Kenapa harus membasahi sekujur tubuh segala?

Tapi Nadia tadi memberinya pesan singkat melalui selularnya, agar mau ia melewatkan waktu bersama keluarganya.
Hitung-hitung menginvestasikan waktu berharga yang jarang ia dapatkan di hari biasa.
Maka di sinilah ia sekarang, duduk di kamarnya, menghadapi pantulan wajahnya di cermin.
Sembari memperhatikan bekasan jerawat yang mulai memudar.
Ia pun mulai memoleskan krim perawat mukanya, yang seharusnya digunakan setiap pagi, bukan sore seperti ini.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, pikir Rhino.
Kemudian diambilnya sebuah botol lagi, kali ini krim untuk dibalurkan ke kulit tubuhnya.

Laki-laki punya hak yang sama untuk merawat dirinya.
Selama tidak berlebihan, dan tidak terlihat lebih cantik dari perempuan.
Karena kalau begitu jatuhnya menjijikkan.
Setelahnya, ia berjalan menuju lemari pakaian dan mulai menimbang pakaian apa yang ia kenakan untuk malam ini.

Rhino selalu berusaha mengemas dirinya secara menarik dengan keahliannya dalam memadu-madankan pakaian.
Apa pun acaranya, kemana pun ia pergi, ia tidak ingin terlihat seadanya.
Menurutnya, ada banyak aib dan cacat dalam kehidupannya yang harus disembunyikan dari dunia luar.
Cukup dia dan Tuhan saja yang tahu.
Tugasnya adalah menyembunyikan semua kecacatan itu begitu melangkah keluar dari batas rumah.
Bukan, ini bukan soal munafik.
Ini soal memiliki privasi.
Apalah makna hidup tanpa sebuah privasi?
Toh tidak ada manusia yang sempurna, semua bercacat, hanya Tuhan yang sempurna.
Tapi bukan berarti ketidaksempurnaan, karena sesuatu yang lumrah, lantas layak untuk menjadi sesuatu yang diumbar, bukan begitu?

Senin, 29 September 2008

Fiksi atas Fakta (pt.1)

Beberapa hari sebelum bulan Ramadhan ditutup oleh kaumnya, jalanan lengang menjadi pemandangan menyenangkan hati.
Rhino menikmati pemandangan ini, di depan matanya, saat menunggu kendaraan menunggu tempat tujuan.
Jalanan yang lengang, membawa sekilas kenangan masa kecil kembali ke depan matanya.
Jakarta 14 tahun yang lalu.

Selain kelengangan tersebut, warna warni masyarakat yang tengah bergerombol membawa sejumlah barang, kardus, dan tas besar juga menandai penutupan bulan Ramadhan setiap tahunnya.
Mudik, istilahnya.

Rhino tiba di Mal tersebut lebih cepat dari yang ia perkirakan.
Keadaan di dalam Mal dengan di luar ternyata sangat jauh berbeda.
Ketika jalanan lengang dari kendaraan dan asap knalpot berkarap, para warga Jakarta yang tersisa ternyata berkumpul di sini.
Ramai.

Agoraphobia-nya sempat melesak keluar.
Rhino tidak terlalu suka berada di keramaian yang berlebihan seperti ini.
Dipercepat langkah kakinya.

Ia berakhir di sebuah meja, bergumul dengan bongkahan kentang berbalur keju yang dilelehkan.
Mengisi perut sambil menunggu Stanisha datang.
Orang sibuk berlalu-lalang, Rhino tidak perduli.
Seorang teman dari masa SD-nya lewat di depan mata, segera Rhino menundukkan kepalanya dan berlagak sibuk mengunyah sambil riang jarinya menekan-nekan tombol-tombol tak bersalah pada tubuh selularnya.

Rhino tidak ingin dikenali.
Rhino tidak ingin disapa.
Tidak untuk saat ini.
Dia sedang tidak ingin berbasa-basi.

Seorang teman dari masa SMA juga ikutan lewat di depan mejanya.
Langkah yang sama untuk menyembunyikan diri dari pandangan temannya segera Rhino lakukan.
Fajar, salah satu teman sepermainannya dulu.
Apa kabar dia?
Rhino, ingin tahu, tapi dia tidak ingin dikenali serta ditegur oleh Fajar.

Setelah Fajar lewat, Rhino kembali merasa lega.
Namun rasa kesepian menyerangnya secara berkelimpahan.
Ironis baginya.
Ia suka sendirian, tapi ia tidak suka perasaan kesepian.
Cepat ia buang pikiran negatif itu.
Dia tidak pernah kesepian. Dia tahu ada begitu banyak orang yang sayang padanya.
Hanya saja saat ini, mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

Stanisha datang, seperti biasa, mengusung dua warna kesukaannya, hijau dan ungu.
Hijau untuk kaos, ungu untuk sendal.
Stanisha selalu melakukan hal yang sama di setiap kesempatan.
Jika memungkinkan, Rhino yakin Stanisha akan mengecat paru-paru sebelah kirinya dengan warna hijau, dan yang kanan dengan warna ungu.
Atau mungkin untuk batu ginjalnya.
Atau bola matanya.
Idealisme akan warna ini sudah menjadi ciri khas Stanisha sejak lama.

Berdua mereka sepakat untuk menonton karya terbaru dari Riri Riza, ”Laskar Pelangi”.
Setelah tiket didapat, mereka mampir sebentar ke sebuah toko buku.
Rhino dan Stanish terlibat dalam kegiatan saling merekomendasikan buku.
Mereka berdua sama-sama suka membaca.
Suka terhadap cerita yang katanya njelimet.
Tapi tetap bermakna.
Apakah ini karena mereka, biar bagaimana, memiliki darah yang sama yang mengalir di dalam tubuh mereka?
Tidak juga, ada banyak orang dari keluarga besar mereka yang sama sekali tidak menunjukkan minat pada buku.
Soal buku, Rhino dan Stanish hanyalah minoritas.

Kedai kopi jadi tempat tujuan mereka berikutnya sambil menunggu waktu bergulir menuju waktu yang tertera di tiket bioskop mereka.
Berdua di sana, dengan ice lemon tea masing-masing, mereka larut dalam diam.
Membiarkan mata mereka menyusuri susunan abjad di novel pilihan masing-masing.
Membiarkan pikiran mereka bekerja, mencerna dan memaknai awal cerita novel.
Membiarkan hati mereka disentuh, dengan entah unsur perasaan apa yang diangkat oleh penulis novel tersebut.
Di luar, lampu jalanan serta kendaraan yang berlaluan menemani aktifitas bisu ini.

Rhino melarikan sebentar fokusnya ke luar novel.
Ia penasaran apa kira-kira pendapat orang jika melihat dirinya dan Stanisha.
Kedai kopi biasanya dijadikan wadah berkumpul dan bercerita dua orang atau lebih.
Kalau pun ada yang datang dan berniat menghabiskan waktunya dengan membaca, pasti sendirian.
Tidak berdua begini.

Karina dan Viona sudah pasti tidak bisa diajak seperti ini.
Dua temannya yang memiliki karakter sanguinis ini sama-sama bisa gila jika ditinggal dalam keheningan demi sebuah buku bacaan.
Dengan cepat Karina dan Viona akan mengaku bosan.
Karakter sanguinis, entah kenapa, memandang bicara sebagai sebuah kebutuhan hidup.
Tidak akan tahan mereka lama-lama berdiam diri jika tahu ada manusia di depan mata, yang mereka kenal, yang sebenarnya bisa diajak bicara.

Girindra?
Mereka memang sama-sama diam.
Kebanyakan waktu yang mereka lalui bersama habis oleh diam.
Diam karena sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tapi dengan bacaan masing-masing?
Entahlah, belum pernah dicoba.

Dengan Wina, mungkin
Wina suka membaca, dan Wina juga lumayan suka sendiri.
Tapi setiap Rhino dan Wina pergi ke kedai kopi, atau ke tempat mana pun, mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu mereka untuk berbicara, dan saling meng-update cerita tentang kehidupan masing-masing.

Satu-satunya yang bisa menggantikan Stanisha sekarang hanya Nadia.
Versi perempuan Rhino.
Nadia dan Rhino sama-sama betah berlama-lama berdua, tapi sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Kegiatan ini mereka namai ”Auties Moment”.
Pernah di sebuah cafe di Mal di bilangan Senayan, mereka duduk di sebuah meja, berdampingan.
Nadia tenggelam dalam novel yang baru saja ia beli.
Rhino larut dalam jaringan dunia maya melalui sebuah layar laptop.
Jam berlalu, ketika mereka sadar, mereka tertawa, karena sama-sama kaget bahwa ternyata mereka tidak sendiri.
Nadia lupa Rhino. Rhino lupa Nadia.

Hmm.. di mana ya mereka sekarang?
Viona pasti sedang menghabiskan waktu dengan calon suaminya, Fardha.
Girindra, sepertinya sibuk mengerjakan skripsinya di rumah.
Karina berlibur di Dubai.
Wina saling melepas kangen dengan ibunya, yang baru kembali dari luar negeri.
Nadia, sibuk dengan pekerjaannya. Kantornya masih beroperasi, padahal sebagian besar kantor sudah memberlakukan jadwal libur lebaran hari ini.
Kalau pun Nadia tidak kerja, ia pasti sedang sibuk dengan kehadiran pria baru dalam hatinya, Dasa.

Struk Pembelian

Mungkin sebagian orang meremehkan lembaran putih ini.
Meremasnya seketika lembaran ini disodorkan ke dalam genggaman tangan.
Kemudian membuangnya seketika tempat sampah terdekat ditemukan.

Tapi sebagian orang tanpa sengaja mengaku memujai lembaran putih ini.
Potongan kertas kecil dari mesin penghitung total pembayaran akan transaksi yang baru saja kita lakukan.
Struk pembelian.
Ada yang langsung menaruhnya di dalam dompet, untuk kemudian dijadikan referensi perhitungan pemasukan dan pengeluaran demi pengaturan keuangan yang lebih baik.

Saya adalah tipe yang kedua.

Saya selalu menyimpan struk belanja saya di dalam dompet, untuk sebulan lamanya.
Di akhir hari saya selalu merekap pengeluaran saya.
Kemudian di akhir bulan saya rekap lagi semuanya, demi mengetahui apakah bulan ini saya lebih boros atau lebih hemat dari bulan sebelumnya.

Hari ini, saya baru saja menghadiahkan sebuah novel kepada seorang saudara.
Kami duduk di satu tempat kemudian diam di sana membaca, sembari menunggu jarum jam berputar ke kisaran angka yang telah disepakati.

Mata bertemu dengan deretan abjad merangkai cerita yang menarik, membuat pikiran bekerja, memainkan perasaan.
Diam. Hening. Mencerna bacaan masing-masing.

Sampai saudara saya bersuara.
Dia menemukan robekan kecil di bagian bawah salah satu halaman novelnya.
Mengganggu tentunya.
Apa yang tadinya sempurna, dan seharusnya sempurna, menjadi bercacat.

Segera kami membawa novel itu kembali ke tempat di mana dia dibeli, dengan membawa struk pembeliannya yang kebetulan masih disimpan, sebagai barang bukti.
Untungnya pihak toko buku, bersahabat dan tidak banyak berargumen.
Mereka mengganti novel tersebut dengan yang baru.

Masalah pun selesai.
Sebuah kehidupan individu dibuat senang oleh selembar kertas putih tersebut.
Struk pembelian.

Minggu, 21 September 2008

Kalian....

Gw enggak ngerti, bisa cari di mana lagi ya temen kayak elo.

Jadi atasan pernah. Jadi spiritual leader juga pernah, masih bahkan sampai sekarang. Enggak ngerti apa yang bisa bikin kita cocok. Padahal kepribadian ini sangat bertolak belakang. Elo ceria dan penuh percaya diri. Gw pendiam dan cenderung pesimis. Tapi banyak hal yang berubah dari hidup gw sejak kenal elo. Elo udah bawa banyak kontribusi positif buat gw. Elo salah satu pion yang udah berhasil memutar 180 derajat karakter gw. Kita udah pernah berapa kali ya berantem? Tapi kita selalu bisa rujuk lagi. Lucu. Yang bisa menyatukan kita itu cara pikir kita yang suka kelewat serius dan mendalam, serta kesamaan hobi kita untuk menyusun rangkaian abjad pada selembar kertas kosong, seperti yang sekarang sedang gw lakukan.

Gw enggak ngerti, bisa cari di mana lagi ya temen kayak elo.

Ayah kita beda. Ibu kita beda. Kita benar-benar datang dari keluarga yang beda. Tapi gw heran, kenapa kita bisa sebegitu miripnya, ya? Cara berpikir, sifat, pilihan makanan yang dipesan. Oh, satu yang beda! Selera, selera gw jauh lebih baik.. haha. Usia kita lumayan berjarak, tapi setiap gw deket elo, gw berasa seumuran. Elo yang kekanakkan, atau gw yang ketuaan? Elo ngajarin gw banyak hal, terutama hal memberi, dan menjadi dewasa. Gw juga kagum sama rasa perduli lo ke orang-orang. Dari elo gw belajar jadi temen yang cerita dan bertanya. Makasih ya udah percayain banyak banget cerita ke gw.

Gw enggak ngerti, bisa cari di mana lagi ya temen kayak elo.

Gw ngeliat elo seperti berkaca. Kita kayak berbagi otak, tapi sebenernya enggak juga, karena cara pikir kita tetep ada perbedaannya. Selera kita bisa dibilang sama, tapi sebenernya enggak juga, karena selera kita juga lumayan beda. Bertemen sama elo enggak bisa ditebak. Elonya yang susah buat ditebak. Cara berpikir elo enggak bisa gw ngerti, kadang-kadang. Bisa jadi temen baik lo juga tantangan tersendiri buat gw. Elo bikin gw iri dalam banyak hal. Dulu, kalo deket elo gw berasa minder. Kita bukan tipe temen yang ngobrol dan sharing banyak hal. Kita cuma ngobrolin hal-hal yang mendalam dan sedikit serius, tapi itu enaknya bertemen sama elo. Seperti punya sparing sekaligus sharing partner.

Gw enggak ngerti, bisa cari di mana lagi ya temen kayak elo.

Gw enggak pernah nyangka bisa segini deketnya bertemen sama elo. Dari segi apapun kita berbeda. Kepribadian, karakter, selera, cara berpikir. Semua beda. Bahkan gw suka pusing sendiri kalo liat elo. Apalagi kalo gw harus menjustifikasi telinga ini untuk mendengar dialek lo yang khas. Tapi harus gw akui, bertemen sama elo, membawa warna sendiri dalam hidup gw. Bikin gw ramai. Bikin gw bisa ketawa dan geleng-geleng kepala heran ngeliat tingkah lo yang konyol. Gw suka cara elo ngomong, cara elo nasihatin gw, ketika gw lagi bego. Dan gw juga seneng, karena giliran elo yang bego, elo selalu mau cerita dan terbuka ke gw.

21

Di malam yang memaknai pergantian hari dari Sabtu ke Minggu,
yang sekaligus menandai perubahan usia saya dari 20 ke 21.
Saya memutuskan untuk tidur.
Mata ini tidak bisa diajak berkompromi.
Beda dengan malam di tahun-tahun sebelumnya.
Saya selalu dibuat terjaga karena banyaknya sms dan telpon yg masuk.
Malam tahun ini, saya putuskan untuk mengaktifkan simbol ketenangan pada selular saya.

Dari sekian banyak sms masuk, ada dua yg seperti langsung melepaskan sekarung besar endorfin di otak saya.
Membawa saya ke tingkat kesenangan yang membuai, serta disentuhi oleh rasa haru.
Dua sms dari sahabat.

Yang satu menyelipkan kalimat ini di bagian akhir ucapan ”selamat ulang tahun” panjang yang ia kirimkan, ”Thanks for being a really great friend for me”.

Yang satu juga menyelipkan kalimat serupa di ujung rangkaian ucapan selamatnya, “Thanks for being here at most of the time.”

Saya bersyukur, setidaknya sebagai individu, saya telah berhasil mengukuhkan eksistensi diri saya, dalam area persahabatan.

Selain dua hal tersebut, yang cukup membuat haru malam itu
adalah komunikasi yang saya panjatkan kepada sang Khalik.
Rasa syukur tak terbendung atas penyertaan-Nya dalam hidup.
21 tahun, sudah begitu banyak berkat, kesempatan, dan pintu yang dibukakan.
Sehingga saya, di usia yang masih tergolong muda ini, sudah menerima cukup banyak.
Saya pun minta ditemani dalam langkah kaki saya menuju tahun-tahun berikutnya kehidupan.
Semoga semakin banyak hal-hal besar yang bisa saya capai.
Mimpi-mimpi nan liar yang seakan sulit digapai, semoga bisa direalisasikan.

Setelah selesai, dan hendak menutup mata, seorang sahabat menelpon.
Berbeda dengan telpon lain yang saya diamkan, yang ini saya angkat, walaupun mata ini hanya mampu membentuk garis kecil untuk mengintip nama penelponnya.
Walaupun suara ini berat dan beraroma bantal.

”Mau minta apa, til?”
”Pasangan hidup?” gurau saya.

Sabtu, 13 September 2008

Yang Tua dan Yang Kecil

Mungkin sempat mengernyit waktu melihat judul yang saya pilih.
Yang tua lawannya yang muda, yang kecil lawannya yang besar.
Tapi untuk cerita yang ingin saya bagi di sini, mengharuskan saya mengkomparasikan yang tua dengan yang kecil.

Apanya?
Hatinya.

Setiap hari untuk menuju kantor saya yang terletak di sebuah kawasan niaga (baca: kompleks ruko), saya harus melewati satu blok yang di salah satu bangunannya terdapat sebuah taman kanak kanak ala internasional.

Saya sering, pagi-pagi, melihat rombongan anak kecil berlarian, riuh, ceria, memegangi kertas gambar mereka yang besar sambil diikuti oleh para nanny yang menggantikan tugas ibu mereka.
Satu hari, dalam perjalanan menuju kantor, dari arah berlawanan saya diserbu oleh rombongan anak kecil tersebut.
Sekitar 10an anak, tersisa dua di belakang, anak perempuan.
Tidak berapa jauh dari posisi saya, dua anak perempuan tersebut, bersenggolan, menyebabkan yang satu jatuh dengan posisi berlutut.
Yang menyentuh hati saya, anak perempuan yang menyenggolnya, mengulurkan tangan, membantunya berdiri, kemudian bertanya dengan nada yang begitu lugu, ”Is it hurt?”
Si anak yang terjatuh menggelengkan kepalanya, sambil sibuk membersihkan lututnya, ”No.. I’m ok.”
”I’m really sorry, it hurts, doesn’t it?” timpal temannya dengan wajah memelas.
“No it’s ok, I’m good, thanks!”
Si teman yang sepertinya dibanjiri rasa bersalah kemudian tersenyum percaya, dan mereka berdua kembali berlari menyusul rombongan yang telah jauh di depan.

Saya kemudian melanjutkan langkah menuju kantor sambil tersenyum.
Terharu.
Betapa hati seorang anak kecil bisa sebegitu lugunya, bisa sebegitu tulusnya.
Andai semua orang ketika perlahan menua, bisa memiliki hati yang sama seperti anak kecil.

Di lain kesempatan, teman saya bercerita, seputar pengalaman dirinya (yang serupa) dengan kejadian yang tadi saya lihat.
Teman saya ini, punya sedikit masalah dengan penglihatannya, terutama ketika sore menjelang.
Penglihatannya bisa menjadi terbatas, dan berjalan harus sedikit berhati-hati serta meraba.
Dia kerap bepergian menggunakan busway.
Busway. Kita semua yang tinggal di Jakarta, mungkin tahu, seberapa gilanya proses pergantian koridor di berbagai tempat, sebut saja Harmoni, Dukuh Atas, dan Senen.
Pemandangan orang-orang berjejalan berebut tempat terdepan, terutama di jam-jam ramai, sudah menjadi sebuah kelumrahan.

Nah, teman saya ini, satu hari, ketika hendak transit koridor di Harmoni, dengan penglihatannya yang terbatas, tentunya harus berjuang mati-matian untuk tetap berjalan dengan hati-hati di tengah desakan penumpang lain yang tidak sabar ingin berebut tempat terenak di dalam busway.
Waktu dia masuk ke dalam busway, dia melihat ada satu tempat kosong, dan ke sanalah dia melangkah dengan perlahan.
Namun, seorang bapak, mendorongnya hingga teman saya ini hampir terjatuh, hanya untuk merebut kursi tersebut.
Bahkan setelah si bapak duduk dengan enak, tidak ada kata maaf yang diburai keluar dari mulutnya.
Mungkin memang dia tidak merasa bersalah.

Tapi, terlepas dari ketidaktahuan si bapak bahwa teman saya ini punya keterbatasan dalam melihat, tidak selayaknya ia melakukan hal tersebut.
Saya yakin, teman saya kalau melihat bapak itu, juga dengan sopan akan mengalah, dan tentunya membiarkan yang tua yang duduk.

Tapi begitulah sikap kebanyakan orang sekarang.
Hanya tahu saya, saya, saya, dan saya.
Saya ini mungkin bisa diangkat menjadi suatu bentuk paham baru, kepercayaan, aliran, atau trend kekinian.
SAYA.

Ketika ditanya pendapatnya mengenai kejadian tersebut, teman saya hanya tersenyum sambil melempar sebuah gurauan.
”Ya namanya juga Indonesia, pejabatnya di atas sana sibuk berebut kursi pemerintahan, rakyatnya pun enggak mau kalah, berebut kursi busway.”
Lagi-lagi, hanya karena nila setitik, sebelanga susu dirusakkan.
Gara-gara kelakuan seorang, satu lagi cap jelek disodorkan pada Indonesia.

Seandainya, semua orang memiliki hati setulus dan selugu si anak kecil yang tadi saya lihat.
Ketika Saya, tidak lagi melulu tentang Saya, tapi perlahan bisa dibengkokkan menjadi, Kamu, Mereka, Kita.
Seandainya hati si kecil, bisa diberikan kepada si tua.

Punyamu Panjang atau Pendek?

Apanya yang panjang atau pendek?
Pikiran, atau lebih tepatnya cara berpikir.

Enggak akan pernah bosan saya menulis seputar topik ini.
Cara berpikir.
Seperti tiga hal yang baru-baru ini saya alami dengan tiga orang yang berbeda.

Sahabat saya, minggu lalu bercerita seputar pengalamannya berbincang dengan saudara seumurannya yang datang dari daerah dan tidak lama lagi akan menikah. Sebut saja sahabat saya ini I, dan saudaranya U.

U: Kamu kenapa enggak pengen nikah muda?
I: Bukannya enggak pengen. Pengen sih pengen. Tapi ada beberapa hal yang musti aku capai atau aku punya dulu.
U: Misalnya?
I: Misalnya, aku punya mobil dulu atau apartemen. Enggak harus udah lunas, masih nyicil pun enggak apa-apa, yang penting ketika aku nikah aku punya sesuatu yang bisa aku jaga sebagai aset.
U: Untuk apa? Toh kan nanti ada suami yang bakal biayain hidup kamu dan beliin barang-barang itu untuk kamu?
I: Emang. Tapi aku enggak mau gitu. Aku mau tetep punya simpanan sendiri buat jaga-jaga. Ya pahitnya, kita enggak pernah tau apa yang terjadi di depan. Amit-amit, sih, tapi kalo sampe aku ngalamin dicerai suami, paling enggak aku punya pegangan untuk biayain hidup aku, tanpa harus ngarepin harta suami. Aku bisa tetep nyenengin anak-anak aku tanpa harus bergantung sama suami.
U: Oh, aku sih enggak mikir sampe ke sana lho. Tapi kan papa kamu sebenernya mampu.
I: Ya, tapi kan papa aku enggak selamanya bisa support hidup aku. Aku juga malu kalo musti minta terus. Papa aku juga mikirnya kalo aku udah nikah, udah kerja ya udah, aku bukan tanggungan dia lagi. Aku juga enggak mau nyusahin dan bergantung sama dia terus. Dia kan enggak selamanya ada buat ngebiayain hidup aku.

Sahabat saya, empat harian lalu, bercerita seputar tentang hubungan yang baru ia jalin selama tiga bulan dengan pacarnya, namun sudah memiliki rencana panjang jauh ke depan untuk prospek hubungan mereka. Dia pun menanyakan pendapat saya, sebut saja saya I, dan sahabat saya U.

U: Menurut lo kecepetan enggak sih kalo kita bikin rencana sampai sejauh itu? Emang sih kita baru tiga bulan, tapi kita serius banget ngejalanin ini.
I: Menurut gw, kecepetan sih mungkin iya kecepetan. Tapi kalo emang kalian serius dan punya rencana sampai sejauh itu bagus. Karena masa depan kita enggak ada yang pernah tau seperti apa, kita sebagai manusia cuma bisa bikin segudang rencana dan menyiapkan antisipasinya. Menurut gw, kalo kalian udah punya rencana seperti itu, ya udah stick to it, jalanin keputusan yang kalian ambil dengan maksimal. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan juga yang menentukan. Nah, kalo ternyata rencana kalian enggak sesuai sama apa yang Tuhan mau, dan kalian gagal di tengah jalan, at least penyesalan yang kalian rasakan bisa diminimalisir karena masing-masing sudah melakukan bagiannya dengan terbaik dan sudah membawa kontribusi yang baik untuk kehidupan masing-masing.

Sahabat saya, dua harian lalu, bercerita seputar kedekatannya dengan seseorang. Lagi-lagi, sebut saja saya I, dan sahabat saya U.

U: Iya kita lumayan mulai ngobrol dan saling kenal. Cuma gw emang belum mengeluarkan pertanyaan pamungkas gw.
I: Emang apaan pertanyaan pamungkas lo?
U: Pertanyaan pamungkas gw, ”Elo melihat diri lo lima tahun ke depan itu sebagai apa?” Kalo dia bisa jawab, kalo dia bisa melihat masa depannya seperti apa, berarti dia udah tau dia mau ke mana, dia udah tau apa yang harus dia lakukan, apa yang mau dia capai. Dia juga pasti tau mau bawa gw ke mana. Percuma punya pacar ganteng, tajir, segala macem, tapi enggak tau masa depannya kayak apa. Masih mikir, ”let it flow” aja.

Menarik.
Saya bersyukur dikelilingi dengan tipe sahabat yang semuanya punya cara pikir panjang.
Jadi, kalo punya kamu panjang atau pendek?

Ironis(me)

Dalam sebuah tayangan berita sore yang sempat saya tonton kemarin, ada sebuah berita yang cukup membuat saya berdecak heran.

Seorang pedagang daging, terkena razia, karena ternyata daging yang ia jual merupakan daging olahan sampah dari hotel dan restoran.

Begitu ditanya, si penjual tersebut menceritakan bagaimana awalnya ia bisa terjun dan menjual daging-daging yang diolah dari daging sampah tersebut.
Rupanya, di beberapa hotel dan restoran di Jakarta, ada beberapa bos besar yang menjadikan ini sebuah bisnis. Daging-daging sisa makanan para pelanggan yang belum sempat dihabiskan ternyata dikumpulkan menjadi satu dan dijual kembali dengan harga sekitar 100rban per berapa banyak, saya tidak tahu.

Daging itu kemudian diolah oleh pembelinya agar tidak terlihat seperti daging sisaan, dan dijual seribu rupiah per kantong plastik. Dan si penjual yang tertangkap ini, mengaku sudah lama melakukan hal ini tanpa ia ketahui bahwa perbuatannya merupakan perbuatan yang illegal dan dapat menimbulkan penyakit bagi orang yang mengkonsumsinya.

Kebayang enggak, daging-daging sisa makanan kita di restoran dan di hotel, harus dimakan lagi oleh orang-orang di luar sana yang menganggap mengkonsumsi daging sebagai suatu kemewahan?
Saya sendiri jadi suka menyesal, karena suka beberapa kali tidak menghabiskan makanan yang saya pesan, padahal dari rumah orangtua selalu menanamkan bahwa setiap makanan yang ada di depan muka harus saya habiskan tanpa terkecuali. Makanan kamu adalah tanggungjawab kamu.

Secara tidak langsung, mungkin daging sisa makanan saya sudah masuk ke dalam perut orang lain.
Secara tidak langsung, saya sudah membantu si penjual itu.
Saya pun membulatkan tekad, untuk tidak sekali-kali tidak menghabiskan makanan yang sudah saya pesan.
Makanya, sebelum memesan sebaiknya dipikirkan seberapa banyak perut kita mampu menampung makanan, jangan seperti saya yang kalau sudah lapar, bisa kalap dan memesan apa saja, “lapar mata” istilahnya.
Seandainya semua orang (yang juga sering tidak menghabiskan makanan mereka) berpikir sama seperti saya sekarang, pasti kasus ini mungkin tidak pernah terjadi.

Beberapa hari lalu, dalam sebuah tayangan berita juga saya menonton kisah penangkapan seorang pembantu yang tega membunuh pasangan majikannya.
Bahkan parahnya, kepala sang korban ditebas dan direbus.
Si pelaku menceritakan semuanya sambil tersenyum-senyum.
Miris.

Beberapa minggu lalu, dalam perjalanan pulang dengan beberapa teman, salah seorang teman, mengungkapkan fakta bahwa sebenarnya di Negara kita ini sedang tersedia lapangan pekerjaan dalam jumah yang cukup besar. Sehingga, sebenarnya istilah “cari kerja jaman sekarang itu susah”, tidak bisa dikatakan benar.

Kemudian teman saya yang satu lagi langsung menimpali, “Iya, bener, lapangan kerja emang banyak.. tapi perusahaan sekarang lebih banyak milih lulusan luar,atau orang luar ketimbang masyarakat kita sendiri. Berarti kalo mau berasumsi, dari sekian banyak usia produktif yang ada sekarang, hanya sedikit sekali yang kompeten untuk bisa mengisi kekosongan tersebut, dengan kata lain, kalau mau disalahkan, ya sistem pendidikan kita masih kurang. Sebegitu banyaknya orang yang pengen kerja, tapi karena bodoh, ya jadinya pengangguran.”

Beberapa bulan lalu, saya sempat mendengar kabar sebuah terminal busway rute Kuningan, gelap gulita dan hanya menggunakan obor sebagai sumber pencahayaan. Kabarnya, listriknya diputus karena menunggak pembayaran. Buat pasangan yang ingin mencari nuansa romantis yang lain mungkin bisa mampir ke situ, berduaan ditemani pencahayaan obor waktu malam meliputi Jakarta. Kasihan.

Seorang teman saya, beberapa saat lalu, setelah sebuah mata kuliah selesai (mata kuliah yang mempelajari tentang budaya berbagai Negara dan bagaimana menyiasatinya dengan sistem komunikasi yang benar), menghampiri dosen yang berasal dari Negara lain, kemudian berkata begini,
“Sir, this might sound so silly.. but I just need to tell you this.”
“Yes?”
“I just think that there’s nothing from Indonesia yang bisa bikin saya bangga. Okelah SDA-nya banyak, tapi tidak ada satu pun yang bisa dimanfaatkan secara maksimal demi kepentingan Negara ini. SDM-nya banyak tapi tidak kompeten, kalau enggak bodoh, ya egois, mikirinnya diri sendiri aja.”

Hmm.. saya bingung melihat berbagai isu ini.
Sebagai generasi muda yang katanya pionir masa depan bangsa, saya merasa ada sesuatu yang harus saya lakukan.
Sehingga ke depannya, ketika generasi di bawah saya menggantikan posisi saya, mereka bisa setidaknya berdecak kagum melihat Negara ini.
Saya tidak ingin, nasionalisme yang harusnya mereka rasakan, berubah menjadi ironisme.

Rabu, 03 September 2008

Kapan Nikah?

Seorang teman bercerita saat sedang istirahat makan siang.
Tentang perdebatan yang baru saja ia alami dengan ibunya.
Biasa, topic sensitive, seputar masalah kapan nikah.
Ibunya pusing, kenapa anaknya belum juga nikah.
Anaknya bersikukuh berusaha mengutarakan alasan kenapa sampai sekarang ia belum juga menikah, bahkan belum mendapat pasangan yang tepat untuk diajak ke arah pernikahan.

Begini kira-kira lontaran kalimat sang ibu.
Ibu: Kamu sih, kenapa sih kebanyakan milih? Gaya-gayaan kamu pake sok pilih-pilih segala. Kalo udah ada yang klik udah langsung aja.

Huff.. saya tidak habis pikir.
Kadang orangtua bilang mereka tau dan mengerti apa yang terbaik untuk anak mereka, but do they really?
Anaknya itu milih-milih juga kan bukan karena belagu, tapi memang anaknya berpikir panjang ke depan.
Cari pasangan hidup kan enggak gampang.
It’s like a one way ticket, kalo kita enggak suka di tengah jalan, enggak mungkin balik.
Ada komitmen, ada janji yang dibuat di hadapan Tuhan, apa yang sudah dipersatukan enggak bisa diceraikan.
Dan tentunya untuk mencari si orang yang tepat itu, yang akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat nanti, tentulah harus orang yang memenuhi kriteria, standar, dan semua ekspektasi yang dimiliki si anak, atau teman saya ini.
Kata teman saya, kalau dia mau menikah sekarang juga dia bisa. Ada orang yang bisa diajak menikah sembarangan, cuma berlandaskan rasa cocok dan suka semata. Tapi apa iya pernikahan mereka akan sukses ke depannya?

Saya enggak ngerti dengan kultur di sini. Ketika seseorang sudah menginjak usia dewasa, pernikahan seperti dijadikan sebuah indikator kesuksesan dan kewajaran. Seakan jika sudah berumur dan masih belum menikah merupakan sebuah kesalahan besar, sebuah keabnormalan yang dibesar-besarkan. Padahal di luar sana, banyak usia dewasa yang masih melajang.

Saya sendiri pernah mengalami kejadian serupa tapi tak sama.
Masih seputar topik pernikahan.

Saya lahir dalam keluarga manado yang sangat lekat unsur budayanya.
Sebuah keluarga besar, yang suka berkumpul, ketawa, makan-makan bersama.
Untuk itu, keluarga besar saya, selalu rutin mengadakan acara arisan keluarga sekali sebulan.

Salah seorang saudara yang lebih muda dari saya 2 tahun, generasi ketiga di dalam keluarga, tahun lalu menikah “terpaksa” dengan seorang perempuan yang lebih tua 6-7 tahun darinya.
Waktu bertemu dengan dia, dan keluarganya, ibunya, tante saya, nampak bangga memamerkan sang anak (yang ingat, dua tahun lebih muda dari saya, tapi punya istri 6-7 tahun lebih tua) dan sang menantu.
Si tante ngomong gini, “Wah Henry, kamu kalah ya dari dia (anaknya). Dia aja udah married lho, kamu pacaran aja belum.”
Spontan saya dan orangtua saya saling berpandangan, kemudian sama-sama tersenyum.

Gila ya, dari situ saya belajar, betapa mungkinnya otak kita, cara berpikir kita, jadi sebegitu ceteknya kalo enggak kita jaga dengan benar.
Seperti tante saya, yang mendefinisikan pernikahan “mendadak” anaknya sebagai sesuatu yang layak dibanggakan.

Dalam hati, saya sebenernya ingin membalas gini, (u guys kno me, mr sarcastic):

Oh ya? Berarti definisi menang-kalah kita beda dong ya, Tan. Menurut saya, saya sih enggak kalah. Lagian masih muda gini, ngapain nikah buru-buru, kerja aja belum settle. Kalo kayak anak tante, kerja aja belum ya, kuliah juga belum selesai, masih minta lagi sama Tante dan Om, terus pulang-pulang bawa hadiah menantu. Hebat banget. Saya bersyukur banget dapet orangtua kayak Papa Mama, seenggaknya saya tau didikan mereka BENER.

Tapi saya hapuskan niat itu. Buat apa melawan yang enggak harus dilawan?

Senin, 01 September 2008

Belajar (lagi) dari Ceting

Lagi-lagi, kemarin saya terlibat dalam satu pembicaraan menyenangkan dan inspiratif dengan seorang teman melalui medium pesan instan via jaringan internet, yang buntutnya (lagi-lagi), cukup membuat saya belajar sesuatu.

U: Nah, itu dia bo, elo harus jaga hati. Jangan berprasangka buruk sama siapa pun, jangan mau wondering kayak gini. Next time, trust no one, just trust God and do your thing! Gw waktu itu udin bilang kan sama lo bo.
I: Huhu.. iya, dan gw kayak nyesel banget sekarang.
But as a Christian gw musti tetep berani punya faith, dan berani ngarep.. hehe.
U: Ya udah, ini pelajaran.
Gw aja bingung waktu itu, elo lebih dengerin dia daripada gw yang jelas-jelas wants the best for u. Ya suw, next time, main lebih cantik aja. Jangan mau diganggu sama orang lain bo. Orang kalo mau naik pasti ada yang narik turun.
I: Iya, iya, tapi sumpah susah ya. Sekarang gw udah sober sih udah yang bener-bener mau jadi bener lagi, and be faithful, kemaren-kemaren gw masih suka ”nyikut” orang kiri kanan, tapi lama-lama gw capek sendiri. Tapi sekarang pas mau balik lagi, kayak berasa gitu capeknya fight.
U: Susah, tapi mungkin. Makanya lo komen di posting gw ”ini cerita lama”, bener, tapi kelasnya udah beda til. Sakit kan lo diginiin sama mereka?
I: Iya, at the end, gw sadar, secuek-cueknya gw, compare to them gw kayak masih yang innocent.
U: Abiesss.. tapi gw ngomong gini enggak merasa lebih baik dari mereka. One day gw mungkin ‘fall’ to the same pit at they are, but I pray that with Jesus, that wouldn’t happen!

U: Gw enggak pernah liat diri gw ‘gagal’ dalam belajar. Yang gw tau, gw ’sukses’ dalam bertahan untuk belajar dan naik kelas.
I: Aww.. duh thanks, lega juga ngobrol sama lo. U’re my ’SM’.. hehe.
U: Iya iya.. emang gitu kok. That’s how it supposed to work, generasi membangun generasi. Yang gw yakin, makin ke bawah harus makin ok. That’s my faith saying it. Sekarang liat aja, Si Mentor is big, tapi chance gw to be bigger udah di mata, so when u see me now, u are gonna be bigger.
J
I: Ameen!

U: Gw banyak berubah, nih.
I: Berubah dari segi apa? Kayaknya kalo gw liat enggak ada yang ekstrim.
Cuma one thing fo sho, lo emang berubah jadi lebih percaya diri dan lebih ceria.
U: Haha.. sumber dari itu semua emang enggak keliatan, hasilnya itu yang lo liat, karena yang berubah hatinya, Hen. Hati lo ada di otak lo. Kontrol otak lo, then hati lo akan baik-baik saja.

U: Gw banyak berubah karena hasil dari merubah satu hal itu. Hati. Gw lebih happy, lebih memandang positif, lebih enggak curigaan sama orang, lebih santai. Hidup jadi enak. Lo percaya kan, kalo Tuhan mau bawa lo naik, mau orang jahatin lo.. seribu rebah di kana kiri lo, siapa yang lawan lo, Hen? Tapi kuncinya ya itu, have God on ur side. Let Him take control ur mind (in this case, means ur heart too). Apalagi tipe lo, nanda-nanda logika, pake otak mulu. Kalo gw kebanyakan pake hati. Truth is, kalo teori “otak lo adalah hati lo”, elo lebih banyak pake hati daripada gw. Bener, enggak?
I: Hah?
Bentar-bentar gw cerna dulu kata-kata lo.

U: Hati itu imbasannya. Misalnya, lo banyak makan, enggak olahraga, jadi gemuk. Kalo lo gemuk, lo bisa do something untuk kurus, yaitu kontrol makan dan olahraga. Gw di sisi imbasan, gw butuh pake otak lebih artinya, kan? Sementara elo di sebab, gw akibat. Jadi gw lagi jaga makan dan olahraga, sementara elo lagi banyak makan tapi lupa olahraga. Ngerti enggak?
I: Ngerti so far.
U: Ini hubungan sebab akibat.
Kalo gw udah terlanjur makan banyak, untuk kurus gw harus do something about it. Nah elo tugasnya lebih berat, Kan mencegah lebih baik daripada mengobati. Mencegah lebih susah kan daripada mengobati? Tapi ruginya lebih banyak di mengobati. Tapi paling enggak kalo lo ngobatin, lo udah tau sakit itu enggak enak. Sakit itu rugi.
I: Waw.. true.
U: Elo belom rasa sakit, tapi lo harus cegah. Karena lo mungkin lagi pake hati lebih banyak (akibat), karena terlalu pake otak (sebab).
Bagusnya sih, semua balance dan sinkron, Hen. Untuk balance, we need God. Yin dan yang itu enggak bisa diraih manusia, for we have sinned. Bisa cuma kalo involve Tuhan. So in conclusion, janganlah merasa ‘aman’ kalo lo banyak pake logika. Rasalah ‘aman’ kalo udah ada Balancer, and it’s Him, the one and only. Tekenin tuh di point ‘otak lo adalah hati lo’. Makanya renewing the mind itu penting banget kan. Kalo motivational speaker yang bagus gitu kan bukan menangin hati (kalo berhasil juga enggak tahan lama karena cuma akibat), tapi menangin otak (sebab). Semua disembuhin lewat akar, bukan buah.

I: Yap, yap.. cihuy banget deh lo!
U: Hasil dari tidur 4 jam, til. Otak gw kembali normal setelah seminggu cuma tidur 4 jam sehari. Haha... 4+4 sama dengan 8, kan? Jadi normal deh otak gw.
I: Ahahaha.. gebleg!