Sabtu, 13 September 2008

Ironis(me)

Dalam sebuah tayangan berita sore yang sempat saya tonton kemarin, ada sebuah berita yang cukup membuat saya berdecak heran.

Seorang pedagang daging, terkena razia, karena ternyata daging yang ia jual merupakan daging olahan sampah dari hotel dan restoran.

Begitu ditanya, si penjual tersebut menceritakan bagaimana awalnya ia bisa terjun dan menjual daging-daging yang diolah dari daging sampah tersebut.
Rupanya, di beberapa hotel dan restoran di Jakarta, ada beberapa bos besar yang menjadikan ini sebuah bisnis. Daging-daging sisa makanan para pelanggan yang belum sempat dihabiskan ternyata dikumpulkan menjadi satu dan dijual kembali dengan harga sekitar 100rban per berapa banyak, saya tidak tahu.

Daging itu kemudian diolah oleh pembelinya agar tidak terlihat seperti daging sisaan, dan dijual seribu rupiah per kantong plastik. Dan si penjual yang tertangkap ini, mengaku sudah lama melakukan hal ini tanpa ia ketahui bahwa perbuatannya merupakan perbuatan yang illegal dan dapat menimbulkan penyakit bagi orang yang mengkonsumsinya.

Kebayang enggak, daging-daging sisa makanan kita di restoran dan di hotel, harus dimakan lagi oleh orang-orang di luar sana yang menganggap mengkonsumsi daging sebagai suatu kemewahan?
Saya sendiri jadi suka menyesal, karena suka beberapa kali tidak menghabiskan makanan yang saya pesan, padahal dari rumah orangtua selalu menanamkan bahwa setiap makanan yang ada di depan muka harus saya habiskan tanpa terkecuali. Makanan kamu adalah tanggungjawab kamu.

Secara tidak langsung, mungkin daging sisa makanan saya sudah masuk ke dalam perut orang lain.
Secara tidak langsung, saya sudah membantu si penjual itu.
Saya pun membulatkan tekad, untuk tidak sekali-kali tidak menghabiskan makanan yang sudah saya pesan.
Makanya, sebelum memesan sebaiknya dipikirkan seberapa banyak perut kita mampu menampung makanan, jangan seperti saya yang kalau sudah lapar, bisa kalap dan memesan apa saja, “lapar mata” istilahnya.
Seandainya semua orang (yang juga sering tidak menghabiskan makanan mereka) berpikir sama seperti saya sekarang, pasti kasus ini mungkin tidak pernah terjadi.

Beberapa hari lalu, dalam sebuah tayangan berita juga saya menonton kisah penangkapan seorang pembantu yang tega membunuh pasangan majikannya.
Bahkan parahnya, kepala sang korban ditebas dan direbus.
Si pelaku menceritakan semuanya sambil tersenyum-senyum.
Miris.

Beberapa minggu lalu, dalam perjalanan pulang dengan beberapa teman, salah seorang teman, mengungkapkan fakta bahwa sebenarnya di Negara kita ini sedang tersedia lapangan pekerjaan dalam jumah yang cukup besar. Sehingga, sebenarnya istilah “cari kerja jaman sekarang itu susah”, tidak bisa dikatakan benar.

Kemudian teman saya yang satu lagi langsung menimpali, “Iya, bener, lapangan kerja emang banyak.. tapi perusahaan sekarang lebih banyak milih lulusan luar,atau orang luar ketimbang masyarakat kita sendiri. Berarti kalo mau berasumsi, dari sekian banyak usia produktif yang ada sekarang, hanya sedikit sekali yang kompeten untuk bisa mengisi kekosongan tersebut, dengan kata lain, kalau mau disalahkan, ya sistem pendidikan kita masih kurang. Sebegitu banyaknya orang yang pengen kerja, tapi karena bodoh, ya jadinya pengangguran.”

Beberapa bulan lalu, saya sempat mendengar kabar sebuah terminal busway rute Kuningan, gelap gulita dan hanya menggunakan obor sebagai sumber pencahayaan. Kabarnya, listriknya diputus karena menunggak pembayaran. Buat pasangan yang ingin mencari nuansa romantis yang lain mungkin bisa mampir ke situ, berduaan ditemani pencahayaan obor waktu malam meliputi Jakarta. Kasihan.

Seorang teman saya, beberapa saat lalu, setelah sebuah mata kuliah selesai (mata kuliah yang mempelajari tentang budaya berbagai Negara dan bagaimana menyiasatinya dengan sistem komunikasi yang benar), menghampiri dosen yang berasal dari Negara lain, kemudian berkata begini,
“Sir, this might sound so silly.. but I just need to tell you this.”
“Yes?”
“I just think that there’s nothing from Indonesia yang bisa bikin saya bangga. Okelah SDA-nya banyak, tapi tidak ada satu pun yang bisa dimanfaatkan secara maksimal demi kepentingan Negara ini. SDM-nya banyak tapi tidak kompeten, kalau enggak bodoh, ya egois, mikirinnya diri sendiri aja.”

Hmm.. saya bingung melihat berbagai isu ini.
Sebagai generasi muda yang katanya pionir masa depan bangsa, saya merasa ada sesuatu yang harus saya lakukan.
Sehingga ke depannya, ketika generasi di bawah saya menggantikan posisi saya, mereka bisa setidaknya berdecak kagum melihat Negara ini.
Saya tidak ingin, nasionalisme yang harusnya mereka rasakan, berubah menjadi ironisme.

Tidak ada komentar: