Seorang teman bercerita saat sedang istirahat makan siang.
Tentang perdebatan yang baru saja ia alami dengan ibunya.
Biasa, topic sensitive, seputar masalah kapan nikah.
Ibunya pusing, kenapa anaknya belum juga nikah.
Anaknya bersikukuh berusaha mengutarakan alasan kenapa sampai sekarang ia belum juga menikah, bahkan belum mendapat pasangan yang tepat untuk diajak ke arah pernikahan.
Begini kira-kira lontaran kalimat sang ibu.
Ibu: Kamu sih, kenapa sih kebanyakan milih? Gaya-gayaan kamu pake sok pilih-pilih segala. Kalo udah ada yang klik udah langsung aja.
Huff.. saya tidak habis pikir.
Kadang orangtua bilang mereka tau dan mengerti apa yang terbaik untuk anak mereka, but do they really?
Anaknya itu milih-milih juga kan bukan karena belagu, tapi memang anaknya berpikir panjang ke depan.
Cari pasangan hidup kan enggak gampang.
It’s like a one way ticket, kalo kita enggak suka di tengah jalan, enggak mungkin balik.
Ada komitmen, ada janji yang dibuat di hadapan Tuhan, apa yang sudah dipersatukan enggak bisa diceraikan.
Dan tentunya untuk mencari si orang yang tepat itu, yang akan mendampingi hidupnya sampai akhir hayat nanti, tentulah harus orang yang memenuhi kriteria, standar, dan semua ekspektasi yang dimiliki si anak, atau teman saya ini.
Kata teman saya, kalau dia mau menikah sekarang juga dia bisa. Ada orang yang bisa diajak menikah sembarangan, cuma berlandaskan rasa cocok dan suka semata. Tapi apa iya pernikahan mereka akan sukses ke depannya?
Masih seputar topik pernikahan.
Saya lahir dalam keluarga manado yang sangat lekat unsur budayanya.
Sebuah keluarga besar, yang suka berkumpul, ketawa, makan-makan bersama.
Untuk itu, keluarga besar saya, selalu rutin mengadakan acara arisan keluarga sekali sebulan.
Salah seorang saudara yang lebih muda dari saya 2 tahun, generasi ketiga di dalam keluarga, tahun lalu menikah “terpaksa” dengan seorang perempuan yang lebih tua 6-7 tahun darinya.
Waktu bertemu dengan dia, dan keluarganya, ibunya, tante saya, nampak bangga memamerkan sang anak (yang ingat, dua tahun lebih muda dari saya, tapi punya istri 6-7 tahun lebih tua) dan sang menantu.
Si tante ngomong gini, “Wah Henry, kamu kalah ya dari dia (anaknya). Dia aja udah married lho, kamu pacaran aja belum.”
Spontan saya dan orangtua saya saling berpandangan, kemudian sama-sama tersenyum.
Seperti tante saya, yang mendefinisikan pernikahan “mendadak” anaknya sebagai sesuatu yang layak dibanggakan.
Oh ya? Berarti definisi menang-kalah kita beda dong ya, Tan. Menurut saya, saya sih enggak kalah. Lagian masih muda gini, ngapain nikah buru-buru, kerja aja belum settle. Kalo kayak anak tante, kerja aja belum ya, kuliah juga belum selesai, masih minta lagi sama Tante dan Om, terus pulang-pulang bawa hadiah menantu. Hebat banget. Saya bersyukur banget dapet orangtua kayak Papa Mama, seenggaknya saya tau didikan mereka BENER.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar