Apanya yang panjang atau pendek?
Pikiran, atau lebih tepatnya cara berpikir.
Enggak akan pernah bosan saya menulis seputar topik ini.
Cara berpikir.
Seperti tiga hal yang baru-baru ini saya alami dengan tiga orang yang berbeda.
Sahabat saya, minggu lalu bercerita seputar pengalamannya berbincang dengan saudara seumurannya yang datang dari daerah dan tidak lama lagi akan menikah. Sebut saja sahabat saya ini I, dan saudaranya U.
U: Kamu kenapa enggak pengen nikah muda?
I: Bukannya enggak pengen. Pengen sih pengen. Tapi ada beberapa hal yang musti aku capai atau aku punya dulu.
U: Misalnya?
I: Misalnya, aku punya mobil dulu atau apartemen. Enggak harus udah lunas, masih nyicil pun enggak apa-apa, yang penting ketika aku nikah aku punya sesuatu yang bisa aku jaga sebagai aset.
U: Untuk apa? Toh kan nanti ada suami yang bakal biayain hidup kamu dan beliin barang-barang itu untuk kamu?
I: Emang. Tapi aku enggak mau gitu. Aku mau tetep punya simpanan sendiri buat jaga-jaga. Ya pahitnya, kita enggak pernah tau apa yang terjadi di depan. Amit-amit, sih, tapi kalo sampe aku ngalamin dicerai suami, paling enggak aku punya pegangan untuk biayain hidup aku, tanpa harus ngarepin harta suami. Aku bisa tetep nyenengin anak-anak aku tanpa harus bergantung sama suami.
U: Oh, aku sih enggak mikir sampe ke sana lho. Tapi kan papa kamu sebenernya mampu.
I: Ya, tapi kan papa aku enggak selamanya bisa support hidup aku. Aku juga malu kalo musti minta terus. Papa aku juga mikirnya kalo aku udah nikah, udah kerja ya udah, aku bukan tanggungan dia lagi. Aku juga enggak mau nyusahin dan bergantung sama dia terus. Dia kan enggak selamanya ada buat ngebiayain hidup aku.
Sahabat saya, empat harian lalu, bercerita seputar tentang hubungan yang baru ia jalin selama tiga bulan dengan pacarnya, namun sudah memiliki rencana panjang jauh ke depan untuk prospek hubungan mereka. Dia pun menanyakan pendapat saya, sebut saja saya I, dan sahabat saya U.
U: Menurut lo kecepetan enggak sih kalo kita bikin rencana sampai sejauh itu? Emang sih kita baru tiga bulan, tapi kita serius banget ngejalanin ini.
I: Menurut gw, kecepetan sih mungkin iya kecepetan. Tapi kalo emang kalian serius dan punya rencana sampai sejauh itu bagus. Karena masa depan kita enggak ada yang pernah tau seperti apa, kita sebagai manusia cuma bisa bikin segudang rencana dan menyiapkan antisipasinya. Menurut gw, kalo kalian udah punya rencana seperti itu, ya udah stick to it, jalanin keputusan yang kalian ambil dengan maksimal. Manusia boleh berencana, tapi Tuhan juga yang menentukan. Nah, kalo ternyata rencana kalian enggak sesuai sama apa yang Tuhan mau, dan kalian gagal di tengah jalan, at least penyesalan yang kalian rasakan bisa diminimalisir karena masing-masing sudah melakukan bagiannya dengan terbaik dan sudah membawa kontribusi yang baik untuk kehidupan masing-masing.
Sahabat saya, dua harian lalu, bercerita seputar kedekatannya dengan seseorang. Lagi-lagi, sebut saja saya I, dan sahabat saya U.
U: Iya kita lumayan mulai ngobrol dan saling kenal. Cuma gw emang belum mengeluarkan pertanyaan pamungkas gw.
I: Emang apaan pertanyaan pamungkas lo?
U: Pertanyaan pamungkas gw, ”Elo melihat diri lo lima tahun ke depan itu sebagai apa?” Kalo dia bisa jawab, kalo dia bisa melihat masa depannya seperti apa, berarti dia udah tau dia mau ke mana, dia udah tau apa yang harus dia lakukan, apa yang mau dia capai. Dia juga pasti tau mau bawa gw ke mana. Percuma punya pacar ganteng, tajir, segala macem, tapi enggak tau masa depannya kayak apa. Masih mikir, ”let it flow” aja.
Menarik.
Saya bersyukur dikelilingi dengan tipe sahabat yang semuanya punya cara pikir panjang.
Jadi, kalo punya kamu panjang atau pendek?
Sabtu, 13 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar