Dilakukannya ritual sehabis mandi.
Sebuah kebiasaan yang entah mengapa disebut ritual, karena ritual seharusnya bersinggungan dengan upacara keagamaan atau sesuatu yang sakral.
Apanya yang sakral dari aktifitas memakai krim penghalus kulit tubuh dan krim perawat kulit muka?
Tidak banyak yang Rhino lakukan hari ini.
Hari pertama dari dua minggu libur Lebaran kampus dan seminggu libur Lebaran kantor.
Jika biasanya Rhino dituntut untuk produktif, di masa libur ini Rhino ingin berhiatus sejenak.
Bersikap tidak produktif sementara.
Ada sebenarnya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Sebagai pemimpin redaksi sebuah majalah berkonsep gratisan Jakarta, ada begitu banyak hal yang harus berjalan di bawah pengawasannya.
Kualitas majalah tersebut menentukan performanya dalam bekerja.
Ada juga sebenarnya tugas kampus yang harus tetap dibuat dan dikirim segera lewat surat elektronik.
Sebagai mahasiswa komunikasi semester akhir, kegiatan berkuliahnya di kampus memang semakin berkurang intensitasnya.
Bukan berarti, hidupnya menjadi lebih mudah.
Ke kampus memang hanya seminggu dua kali, tapi tugas yang dibebankan membuat Rhino merasa bahwa seminggu tidaklah cukup terdiri dari tujuh hari.
Hari ini ketika pertama membuka mata, yang ingin Rhino lakukan hanyalah membaca.
Merampungkan sebuah buku yang harus ia ulas untuk majalahnya, agar bisa segera melahap novel tebal yang kemarin baru ia beli.
Lihat? Membaca saja merupakan pekerjaan baginya.
Selepas membaca, bukan berarti bersantai ia bisa.
Masih ada sebuah artikel ulasan yang harus ia buat, dan diserahkan ke pihak desain sebelum tenggat waktu mengejarnya ke garis batas.
Maka, membaca lah agenda ”produktifitas”-nya hari ini.
Sampai kegiatannya terhenti, karena ibu menyuruhnya mandi, karena ayah mau mengajak seluruh anggota keluarga kecil ini ke Mal, karena adiknya, Thirza, minta dibelikan janji jika ia mampu menunaikan aktifitas berpuasa sebulan ini dengan penuh.
Maka, ditutup novel itu yang sepertinya sudah memakan lama waktunya, namun ternyata ketika diintip angka kecil di sudut bawah halaman, Rhino baru menginjakkan perhatiannya di halaman 95.
Masih di ambang sebuah kisah panjang yang harus tertuntaskan.
Setengah perjalanan saja belum.
Agak malas sebenarnya dia untuk mandi kemudian pergi bersama keluarganya.
Bukan karena ia tidak sayang keluarganya.
Namun karena ia memang sedang gontai bergerak ke mana-mana.
Bukan juga ia tidak suka mandi.
Rhino termasuk peduli dengan kebersihan dirinya, hanya sebatas dirinya, kebersihan di luar dirinya, ia tidak begitu perduli, ada banyak orang di luar sana yang bisa dibayar untuk membersihkan kamarnya, rumahnya, bahkan mejanya di kantor, hingga kelasnya di kampus.
Namun, karena seharian ia tidak bersinggungan langsung dengan sinar matahari.
Tidak sedikit pun ia berpeluh.
Terima kasih atas teknologi pendingin ruangan, serta hembusan angin sore melalui teras atas rumahnya.
Ia merasa tidak harus membersihkan diri.
Toh tadi pagi sikat gigi dan cuci muka sudah ia lakukan.
Kenapa harus membasahi sekujur tubuh segala?
Tapi Nadia tadi memberinya pesan singkat melalui selularnya, agar mau ia melewatkan waktu bersama keluarganya.
Hitung-hitung menginvestasikan waktu berharga yang jarang ia dapatkan di hari biasa.
Maka di sinilah ia sekarang, duduk di kamarnya, menghadapi pantulan wajahnya di cermin.
Sembari memperhatikan bekasan jerawat yang mulai memudar.
Ia pun mulai memoleskan krim perawat mukanya, yang seharusnya digunakan setiap pagi, bukan sore seperti ini.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, pikir Rhino.
Kemudian diambilnya sebuah botol lagi, kali ini krim untuk dibalurkan ke kulit tubuhnya.
Laki-laki punya hak yang sama untuk merawat dirinya.
Selama tidak berlebihan, dan tidak terlihat lebih cantik dari perempuan.
Karena kalau begitu jatuhnya menjijikkan.
Setelahnya, ia berjalan menuju lemari pakaian dan mulai menimbang pakaian apa yang ia kenakan untuk malam ini.
Rhino selalu berusaha mengemas dirinya secara menarik dengan keahliannya dalam memadu-madankan pakaian.
Apa pun acaranya, kemana pun ia pergi, ia tidak ingin terlihat seadanya.
Menurutnya, ada banyak aib dan cacat dalam kehidupannya yang harus disembunyikan dari dunia luar.
Cukup dia dan Tuhan saja yang tahu.
Tugasnya adalah menyembunyikan semua kecacatan itu begitu melangkah keluar dari batas rumah.
Bukan, ini bukan soal munafik.
Ini soal memiliki privasi.
Apalah makna hidup tanpa sebuah privasi?
Toh tidak ada manusia yang sempurna, semua bercacat, hanya Tuhan yang sempurna.
Tapi bukan berarti ketidaksempurnaan, karena sesuatu yang lumrah, lantas layak untuk menjadi sesuatu yang diumbar, bukan begitu?
Selasa, 30 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar