10 bulan yang lalu?
Ya, 10 bulan yang lalu, mungkin tidak pas seperti itu, tapi setidaknya berkisaran begitu.
Ketika Rhino sedang erat-eratnya berkariban dengan tiga makhluk tersebut.
Nadia Angelia Priskilla, versi perempuan Rhino.
Girindra Duma Siahaan, cermin Rhino.
Karina Jessica Wijaya, versi berlawanan Rhino.
Karina sedang asik menggumuli sendok yang baru saja dicemplungi ke dalam wadah Ben and Jerry’s dengan lidahnya, ketika ia tiba-tiba membuka suara minta diperhatikan.
“Hei, gw punya ide!”
Mengusik Rhino yang tengah asik mengukuhkan eksistensi diri melalui aneka situs di dunia maya.
Mengagetkan Nadia yang tengah asik mengikuti lakon Dr. Yang, yang ditinggal Dr. Burke di hari pernikahannya, di akhir season tiga serial TV Grey’s Anatomy.
Beberapa minggu kemudian baru ketahuan bahwa memang episode itu menjadi episode terakhir Dr. Burke, karena setelahnya Dr. Burke benar-benar berhenti muncul di serial TV tersebut.
Konon kabarnya karena terlibat cekcok dengan pemeran Dr. O’Malley.
Tidak penting.
Nadia yang kaget spontan menyemburkan serentetan kata karena sifat latahnya.
Begitu pulih, Nadia langsung menoyor kepala Karina.
“Maaf Nad, enggak maksud bikin lo latah, tapi beneran tiba-tiba gw dapet ide ini, dan gw yakin kalian pasti bakal setuju dan excited banget dengan ide gw ini!”
Rhino memutar bola matanya, meremehkan Karina, yang memang kadang terlampau bersemangat menjelaskan sesuatu.
“Ok, apa idenya?” tanya Nadia sambil mem-pause DVD-nya.
“Idenya.. gimana kalau kita berempat tinggal bareng di NY waktu ngambil Master Degree?!!”
Matanya berbinar, senyumnya mengembang lebar.
Begitulah Karina, tidak ada yang bisa ia sembunyikan.
Ekspresi wajahnya begitu gamblang.
Kadang Rhino merasa bersyukur, karena memiliki raut wajah yang datar.
Antara marah, senang, atau sedih.. tidak jauh bedanya.
Bayangan dirinya di masa depan dengan perandaian bahwa Rhino mungkin memang benar bisa tinggal bersama ketiga karibnya ini di New York langsung melintas di angannya.
Menyenangkan.
Kelak saat itu, Rhino sudah menenteng gelar sarjana ilmu komunikasinya, Girindra si sarjana ilmu hukum, dan Karina si sarjana ilmu manajemen keuangan.
Sementara Nadia, sudah sejak tiga tahun lalu mengantungi gelar Sarjana Ekonomi-nya.
Ia melanjutkan SMA serta Bachelor Degree di Australia dalam waktu tiga tahun setengah.
Waktu Rhino, Girindra dan Karina menikmati tahun kedua mereka sebagai mahasiswa, Nadia, sudah bersiul-siul santai kembali ke Indonesia dan mencari pekerjaan.
Rhino sendiri heran, kenapa di luar negeri orang bisa sekolah begitu cepat, tidak selama di Indonesia.
Begitu kembali ke Indonesia, Nadia, malah bekerja di perusahaan orangtuanya.
Sebenarnya dia ingin membuka usaha toko kue sendiri, karena memasaklah keahliannya, dan kuliner lah tempat di mana gairahnya berlabuh.
Tapi, Nadia, tidak mampu menolak keinginan orangtua.
Kakak-kakaknya, semua sudah berkeluarga dan tinggal di luar Indonesia.
Adiknya masih duduk di bangku SMA.
Hanya Nadia yang dapat diandalkan.
Hitung-hitung berbakti sambil menabung agar bisa membiayai S2 nya kelak.
“Let’s do it!” suara riuh Karina, membuyarkan lamunan Rhino.
“Do what?” Terdengar suara dari pintu masuk apartemen Karina.
Karina memang tinggal sendirian di Jakarta.
Orangtuanya di Surabaya.
Di Jakarta, Karina berkuliah sekaligus mengurusi bisnis ekspor-impor barang milik ayahnya.
Rhino berhasil dibuat kagum dengan dua wanita di hadapannya ini.
Bukti modernitas dan ketangguhan sebuah feminitas.
Bahwa wanita memang layak disetarakan dengan pria.
Ternyata suara tadi berasal dari Girindra.
Si bungsu dari keluarga Batak, dan satu-satunya anak laki-laki dari klan Siahaan.
“Gila.. gw baru telat sekitar setengah jam, and you guys already have a plan to do something without me?”
Girindra menjejalkan tubuhnya di antara Karina dan Nadia, membuat mereka cemberut berbarengan.
“Pertama, gw geli elo insecure banget!” ujar Karina ketus.
“Kedua, elo itu enggak sekecil yang elo kira Girindra!!! Jadi jangan suka belagak imut kayak gini, nyempil-nyempil, elo pikir enggak sempit apaaa?!!” Nadia menimpali sambil memukul wajah Girindra dengan bantal.
“Pertama, gw enggak insecure! Gw enggak suka aja kalo enggak dilibatin dalam rencana apa pun itu yang tadi kalian bikin. Kedua, gw emang imut!” Girindra menjulurkan lidahnya keluar, memasang mimik kekanakkan, kemudian sambil merebut bantal yang tadi dijadikan senjata oleh Nadia, Girindra pindah ke sofa yang kosong.
“Ok, so what is your plan?” tanya Girindra ketika sudah nyaman memposisikan diri dalam empuknya rengkuhan sofa.
“Gw tadi tiba-tiba kepikiran, gimana kalo kita tinggal bareng waktu lagi ngambil Master Degree di New York,” jelas Karina.
“Lho, emangnya waktu kita untuk ngambil Master sama semua? Kalo gw sih musti ada pengalaman kerja dulu dua tahun. Lagian, emang kalian mau ke New York semua? Udah pasti? Kalo gw sih udah pasti.”
“Gw sih kalo enggak ke New York, maunya ke London,” kata Rhino sambil sibuk meng-update statusnya di Plurk dan Facebook.
Zacrhino Tjakraditya is discussing a topic with them.
“Dan bokap gw maunya begitu lulus, gw langsung berangkat, mumpung masih ada duitnya.
Sementara gw maunya, kerja dulu juga dua tahun, supaya gw bisa ngumpulin duit dan bantuin bokap biayain gw S2. Emang sih bokap udah komitmen untuk nyekolahin gw sampai S2, tapi kasian kalo dia musti biayain sekolah gw sendirian, ke luar negeri pula. Mending ditabung sebagian buat kuliah adek gw. Makanya resolusi gw tahun ini, gw musti nyari wadah pemberi beasiswa, nih. Lumayan kan kalo bisa dapet scholarship, apalagi kalo full scholarship,” burai Rhino panjang.
“Kalo gw, sebenernya enggak boleh jauh-jauh ke New York. Bokap gw pengen gw di Aussie aja. Tapi secara pake duit gw sendiri, gw lebih prefer ke New York, selama ada kalian.. hehe. Males juga kalo sendirian di New York. Kalo di Aussie masih ada kakak gw soalnya,” gantian Nadia yang menjelaskan.
“Well, berarti semua belum tentu sama ya timing-nya?” raut keceriaan yang baru beberapa menit lalu mendominasi wajah Karina, spontan menghilang diganti raut kekecewaan.
“Tapi ya kalo pun emang mungkin, enggak ada salahnya juga sih tinggal bareng di sana. Mempermurah biaya hidup,” kata Girindra.
“By the way, kemaren gw baru aja menemukan fakta menarik tentang tubuh manusia!” Karina kembali bersemangat.
“Jadi, kemaren pas gw lagi iseng browsing di internet, gw menemukan sebuah artikel yang menjelaskan bahwa lidah kita ini ternyata enggak bisa terjulur keluar kalo kedua daun telinga ini ditarik. Awalnya gw enggak percaya, tapi terus gw coba, dan gw juga udah nyuruh beberapa orang temen gw nyoba, ternyata bener! Kayak ada saraf yang nahan dan bikin lidah kita kaku.”
“Masa, sih?” Girindra mengerutkan keningnya penasaran.
“Beneran, nih liat ya.” Karina langsung menjewer kedua telinganya sendiri, dan terlihat sekuat tenaga berusaha mengeluarkan lidahnya dari dalam mulut. Tapi nihil, mulutnya seperti terkunci rapat.
Nadia dan Rhino langsung ingin mencoba.
Girindra juga.
Dan di antara mereka bertiga, ternyata Girindra yang paling cepat.
Ia segera menjewer kedua daun telinganya, kemudian menjulurkan lidahnya keluar, sambil memasang ekspresi “Ini-Lidah-Gw-Bisa-Keluar-!”
Karina langsung tergelak tertawa diikuti dengan Nadia dan Rhino, yang kali ini, berhasil lolos dari jebakan si usil Karina, meninggalkan Girindra sebagai korban tunggal.
Muka Girindra, tidak bisa dipungkiri, dengan kedua tangan di telinga serta lidah yang dijulurkan keluar, sangat mirip dengan hewan primata, si simpanse hitam sahabat setia Tarzan.
“Sialan ngerjain gw ya elo!” Girindra melemparkan bantal yang ia peluk.
Mukanya perlahan menyemu marah menahan malu.
“Mangkanya, punya otak jangan di kuku kaki! Kalo gunting kuku, kebuang deh otaknya! Hahaha…” Karina kembali tergelak.
“Makanya, Karina, bukan mangkanya!” Girindra dan Rhino yang sama-sama perfectionist dan gila detail berbarengan mengoreksi kesalahan pengucapan Karina.
Tapi, itu dulu.
Dulu waktu Karina dan Girindra belum punya sejarah.
Kenangan itu perlahan memudar, digantikan rentetan pemandangan jalanan Jakarta yang masih lengang di luar taksi.
Rhino sedang di dalam taksi menuju gerejanya.
Jalanan di Jakarta masih lengang, tapi untuk berapa lama?
Yang sudah-sudah, setiap tahunnya, jalanan di kota ini semakin ramai.
Seperti tidak berhenti, ratusan jiwa pendatang baru yang berani beradu nasib di ibu kota.
Berjibaku dengan kesempatan kerja yang terbuka luas.
Kesempatan kerja memang banyak, lapangan pekerjaan juga sebenarnya banyak.
Sayang sumber daya manusianya yang tidak ada.
Perusahaan besar cenderung mempercayakan kelanggengan perusahaan mereka di tangan para ekspatriat, atau sarjana Indonesia lulusan luar negeri.
Sementara yang tidak lulus sekolah, atau sarjana lulusan universitas yang belum dicap akreditasi A dan setingkatnya, harus puas menjadi pengangguran, atau bekerja dengan gaji seadanya.
Ironis.
Berarti yang salah siapa?
Sistem pendidikannya.
Kenapa para bos-bos di atas sana lebih merasa nyaman mempekerjakan lulusan luar?
Mungkin karena memang lulusan sistem pendidikan Indonesia belum bisa dipercaya.
Hanya sedikit kampus dengan nama besar yang berhasil mencetak lulusan terbaik.
Itu pun, para alumnusnya, masih harus mengenyam pendidikan ke luar negeri paska sarjana, kalau ingin menikmati kehidupan yang layak di atas garis mediocre.
Sabtu, 04 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar