Akhirnya Rhino kembali ke pangkuan kursi kantornya.
Kembali memfokuskan perhatiannya pada beberapa artikel yang masih menanti berbaris untuk di-edit.
Tapi pengaruh makan siang, rasa kantuk dengan cepat sudah menjalar ke matanya.
Seperti ada beban yang menggelayuti pelupuk mata.
Untuk menghilangkan kantuk, Rhino menunda sebentar pekerjaannya, kemudian membuka YM-nya dan memilih untuk nge-buzz salah seorang teman, Monic, atau Mocil panggilannya.
RadityaRhino: Mon.. are u there?
Monic: Kenapa, cin?
RadityaRhino: Enggak apa-apa, kangen aja seminggu enggak ketemu elo. GImana liburan ke Aussie-nya? Gw sms hp lo mati.
Monic: Iya emang mati hp gw di sana. Menyenangkan. Gw juga kangen sama lo. Elo libur ke mana?
RadityaRhino: Di rumah aja, males-malesan. Btw, nanti elo ke Nikko enggak?
Di Nikko Hotel, di Annex Building, di Upperroom setiap hari Senin dan Selasa ada semacam kelas yang diadakan gereja Rhino untuk jemaatnya.
Kelas untuk memperdalam pengetahuan tentang Alkitab, kelas untuk belajar menjadi seorang leader, terutama spiritual leader, dan yang terakhir bagaimana belajar menjadi seorang konselor.
Monic, teman gerejanya ini, sedang mengikuti kelas yang pertama, kelas pendalaman Alkitab.
Monic: Iya tapi enggak lama-lama. Gw enggak enak badan. Kayaknya pulang duluan nanti, yang penting udah absent.
RadityaRhino: Lho, elo lagi sakit ya?
Monic: Enggak enak badan aja, gw nyampe bandara tadi jam sembilan pagi, langsung ke kantor sekalian numpang mandi.Lo kenapa nanya gw ke Nikko?
RadityaRhino: Mau nebeng pulang. Gw entar musti ke PI ada urusan.
Monic: Oh.. jam berapa?
RadityaRhino: Jam enam. Tapi masih belom pasti, bisa sampe malem juga.
Monic: Oh, entar telponan aja lagi. Kalo elo bisa nebeng gw ya ayo. Tapi untuk cadangan mending elo telpon Girindra juga.
Oh iya Girindra kan sedang mengikuti kelas konselor.
RadityaRhino: Oh iya ya, ya udah entar deh gw coba telpon dia. Btw, ngomongin Girindra. Elo dicariin sama dia, katanya mau diajak nonton Disney On Ice. Acara anak-anak itu.
Monic: Oh.. iyaa… Ya udah lewat, kan. Heh, biar pun itu acara anak-anak, itu kan lucu. Dan semua orang itu pasti punya sisi kanak-kanaknya.
RadityaRhino: Iyaaaa… gitu aja dibahas. Dasar Mocil, hobi kok ngebahas semua hal!
Monic: Btw, Girindra insist lo minta gw manggil dia Tha Ke.
RadityaRhino: Tha ke?
Monic: Tha ke, bahasa Mandarin, artinya kakak laki-laki.
RadityaRhino: Hah???? HAHAHAHA. Seriously si Batak minta dipanggil Tha Ke?
Monic: Beneran! Dia juga sekarang banyak ngomong Cina, ya iyalah secara ceweknya sekarang orang Cina. Tapi gw enggak mau, gw maunya panggil dia tetep Xiau Ti Ti (ade kecil laki-laki).
Rhino masih belum bisa berhenti tertawa.
Kantuknya segera hilang.
Dia kemudian mem-buzz Nadia.
RadityaRhino: U kno what? Barusan Mocil cerita, si Batak katanya minta Mocil manggil dia Tha Ke! HAHAHAHA.
PriskillaNadia: Hahahaha.
RadityaRhino: Terus dia juga katanya rajin ngomong Cina sekarang.
PriskillaNadia: Hahahhaa.. rasain dia, makan omongan sendiri!
RadityaRhino: Iya.. ya ampun, dia mah namanya bukan jilat ludah sendiri lagi, tapi jilat muntah sendiri. I mean takin back what he said bout Chinese people? Haha gilaa! Dari dia kita bisa belajar ya Cum, untuk jaga mulut, jangan sembarangan nge-judge orang. Lo inget enggak dulu lo berantem sama dia cuma gara-gara masalah ras begini?
Iya, waktu itu Nadia sempat gerah dengan sifat rasis Girindra.
Walau Girindra mati-matian bilang dia bukan seorang rasis.
Semua sebenarnya cuma karena hal sepele.
Waktu itu, waktu mereka masih suka ke mana-mana berempat.
Rhino, Nadia, Girindra dan Karina.
Di sebuah restoran yang menyajikan fish and chips terenak di Jakarta.
Nadia dan Karina sibuk mempromosikan restoran yang menyajikan sushi terenak di Jakarta, di Taman Anggrek.
Begitu mendengar kata Taman Anggrek, Girindra langsung menyeringai, kemudian mengucapkan “Taman Anggrek” dengan nada menyepelekan seperti, “Never-in-my-life-will-I-put-my-feet-on-that-place!”
Itu strike one.
Kemudian Nadia tiba-tiba kembali buka suara, “Gila.. gw lagi berasa di kampong halaman semua. Di sekeliling kita orang Chinese semua, ya.”
“Iya, emang karena yang desain tempat ini kan orang Chinese, jadi ya dia tau yang disukai orang Chinese tuh apa. Dan sekarang rame, berarti dia berhasil. Beda sama Plaza Senayan, kalo enggak salah yang desain itu orang Jepang, di situ coba lo liat, enggak gitu banyak kan orang Chinese-nya? Makanya itu, gw suka banget ke Plaza Senayan. Eh tapi gw enggak rasis, ya. Hehe…”
Strike two.
Buat Nadia, Girindra barusan seperti bilang, “Gw suka ke PS karena di sana enggak ada orang Chinese-nya!”
Seakan tempat-tempat yang ada orang Chinese-nya tidak layak untuk ia datangi.
Sejak detik itu hingga mereka pulang, Nadia memasang muka jutek, dan mengambil silent treatment.
Kebetulan waktu itu mereka pergi berempat semobil.
Rute yang diantar pulang pertama adalah Girindra.
Begitu Girindra turun, Rhino, yang sudah merasakan gelagat tidak beres di diri Nadia langsung bertanya, “Nad elo kenapa sih diem aja? Bete, ya?”
“Iya. Bete sama temen lo tuh si Batak!”
“Gara-gara apa, Nad?” Karina ikut penasaran.
“Gara-gara dia itu double standard! Lo inget enggak tadi dia bahas soal Plaza Senayan? Terus waktu gw sama Karina ngomongin Taman Anggrek, dia keliatan ngeremehin banget? Gw enggak masalah kalo dia rasis. Gw enggak masalah kalo dia emang enggak suka sama orang Cina. Udah biasa ledek-ledekkan ras Gw juga biasa diledekkin Cina sama temen-temen gw, dan gw biasa ledekkin orang lain juga, Batak, Manado, Ambon apa kek. Sama aja kayak kita manggil dia Batak. Yang gw enggak suka tuh dia selalu insist bahwa dia itu enggak rasis! Enggak rasis apa coba? Kalo emang rasis ya akuin aja rasis. Enggak masalah juga bagi gw.”
Nadia nyerocos panjang.
Malamnya, Rhino, si pendamai, menelpon Girindra dan menjelaskan semuanya, dan menyarankan agar Girindra minta maaf.
Respon Girindra, “Hah? Gw minta maaf? Gw enggak akan pernah minta maaf kalo emang gw enggak merasa melakukan kesalahan.”
“Well, elo bisa minta maaf bukan karena elo salah, oke menurut lo elo enggak salah, tapi at least minta maaf ke dia karena udah bikin dia kesel.”
“Enggak mau. Gw enggak salah, Rhin! Dan gw emang enggak rasis. Rasis itu definisi untuk orang yang bener-bener anti banget sama ras lain. Gw kan enggak kayak gitu, buktinya gw masih temenan sama dia sama Karina juga. Sahabat-sahabat gw waktu SMA juga Chinese semua.”
“Iya tapi apa yang dia, tepatnya kita liat, enggak gitu, Gir.”
Rhino pun hanya bisa menghela napas panjang.
Baru sekitar sebulan setelahnya, Nadia dan Girindra kembali berbicara.
Sekarang, Girindra sudah punya pacar.
Dari kultur TiongHoa.
Makanya tidak heran kalau Nadia dan Girindra, segitu gelinya menertawai dia, apalagi begitu tahu bahwa dia sekarang ingin dipanggil Tha Ke dan mulai suka mengucapkan kalimat dalam bahasa Mandarin.
Well certainly love has the power to change someone, aite?
Senin, 06 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar