Rabu, 08 Oktober 2008

Fiksi atas Fakta (pt.10)

Tidak ada yang pernah tahu, kapan waktu kita di dunia selesai.
Hidup hanya sekali, karena itu janganlah disia-siakan.
Seperti lirik sebuah lagu, “Nobody knows where they might end up.”
Tidak akan pernah ada yang tahu, akan seperti apa hidup kita di esok hari.
Tidak Anda, tidak mereka, tidak juga seorang Zacrhino Tjakraditya.
Yang bisa kita lakukan hanya menghidupi hidup ini dengan maksimal, membuat sekian rencana dan segala antisipasinya, supaya apa yang terjadi di depan, sesuai dengan apa yang kita rencakan.
Lebih bagus lagi, jika apa yang kita rencakan sesuai dengan apa yang sudah Tuhan rencanakan.
Setiap manusia, ditakdirkan hidup untuk meraba.
Meraba, menebak, mengira, menerka akan seperti apa hidupnya nanti.
Karena itu, melangkahlah dengan iman, bukan dengan penglihatan.

Pagi ini Rhino dibangunkan dengan berita duka dari Nadia.
Opanya meninggal hari ini.
Spontan segala rencana yang sudah disusunnya harus dirombak ulang, karena harus menyisipkan jadwal melayat di tengah jadwal aktifitasnya hari ini.
Ibunya Rhino sejak kecil sudah membiasakan anaknya untuk selalu pergi melayat jika ada kerabat yang berduka. Sejauh apa pun tempatnya, selama masih dalam lingkup yang bisa dilalui kendaraan darat. Beda dengan pernikahan, acara ulang tahun, maupun kelahiran bayi, karena menurut Ibunya ketika orang bersedih, penghiburan dan keperdulian dari orang lain sangat diperlukan. Beda dengan pernikahan yang konteksnya bersenang-senang.

Tidak ada prasangka sama sekali sebelumnya, memang hidup ini misteri.
Baru kemarin, Rhino menghabiskan waktu bersenang-senang, bercandaan, bergosipan dengan Nadia dan Wina setelah meeting mereka dengan event organizer yang mengurusi acara sweet seventeen ulang tahun Rere, adik Nadia.
Wina dan Rhino didaulat menjadi MC.
Baru semalam mereka lepas tertawa bersama. Ditemani beberapa tempat, mulai dari Chopstix, Red Pepper, Starbucks, Coffee Bean, hingga kembali lagi ke Starbucks.
Tidak pernah ada yang berfirasat, keesokannya salah satu dari mereka harus dirudung duka begini.

Jadwal Rhino hari ini sebenarnya hanya kerja sampai pukul lima, kemudian pergi meeting dengan Viona, jam tujuh malam.
Rhino kemudian memutuskan untuk kerja setengah hari, jam 2, dia akan pergi melayat, sendiri, begitu niatnya.
Sebelum mandi dan siap-siap ke kantor, ia iseng meng-sms Girindra, bertanya apakah Girindra berencana pergi melayat juga atau tidak. Siapa tahu bisa bareng, sendiri tidak jadi masalah buat Rhino, tapi ditemani selalu menjadi pilihan yang lebih baik.

To: Girindra (+628170******)
Batak, elo pergi melayat Opanya Nadia ga? Gw mau pergi jam 2 siang ini dari kantor. Gw rencana pergi sendiri, tapi would be better klo ada yg nemenin.

Tidak perlu lama menunggu, Girindra langsung membalas sms-nya.

From: Girindra (+628170******)
Gw jm 2 ada kuliah, lagian kata Tasya, klo org Cina jarang ada yg ngelayat siang2. Gw bs aja sih jm 2 dr kampus. Tp klo bs malem, malem aj d.

Aduh, aneh banget, sejak kapan pergi melayat orang jadi ada aturannya, jangan siang-siang karena sepi. Tujuannya kan melayat, menunjukkan bahwa kita bersimpati kepada yang ditinggalkan. Datang jam berapa pun, mereka pasti akan merasa senang.
Rhino segera membalas.

To: Girindra (+628170******)
Haha, gitu ya? Gw baru tau ada aturan gitu. Malem gw ga bisa ada meeting sama Viona. Jm 5 aja d gimana?

Belum sempat Girindra membalas, sebuah telpon masuk menderingkan selularnya.
Nama Viona tertera di layar.

“Rhin, Opanya Nadia passed away, lo pergi ngelayat?”
“Iya Vi, rencananya jam 2 dari kantor. Terus gw ngajak Girindra kan, tapi kata dia, katanya Tasya, kalo orang Cina, siang-siang jarang ada yang ngelayat.”
“Hahahaha.. aneh- aneh aja, dh. Enggak pernah denger tuh gw ada peraturan kayak gitu. Kita kan niatnya baik ngelayat, jadi jam berapa aja boleh. Gw juga mau pergi nih, tapi kalo bisa ijin keluar dari kantor. Gw ada meeting sih hari ini.”
“Girindra ngajakkin jam 5 nih, belum gw bales, kalo jam 5 lo kan masih sempet nyusul Vi, gimana mau ikut enggak? After that kita masih bisa jadi meeting, kan?”
“Iya, sih. Tapi emang jam 5, si Nadia-nya ada? Aneh juga kalo pas dateng, enggak ada dianya, emang lo kenal keluarganya yang lain?”
“Iya, ya. Gw enggak kenal siapa-siapa juga di keluarganya. Ya udah gw tanya Nad dulu, abis itu gw kabarin lo lagi ya. Bye.”
“Bye.”

Buru-buru Rhino mengirimkan sms ke Nadia.

To: Nadia (+628180*******)
Cum, I plan to come to ur grandad’s funeral wif Gir jam 5.

From: Nadia (+628180*******)
Jm 5 gw musti ke airport jemput sodara2 gw yg dari Semarang. Jam 7 aj klo mau, sekalian acara tutup peti.

Rhino kemudian menelpon Viona.
Tidak disangka segini ribetnya mau janjian pergi melayat.

“Vi, si Nad jam 5 musti ke airport. Dia musti jemput sodara-sodaranya. Dia bilang jam tujuh aja. I’m sorry, kayaknya gw musti cancel meeting sama lo, deh. Maaf ya, but first thing first. Gw enggak mau dianggep enggak ada ketika dia susah.”
“It’s ok, Rhin. Elo sama Gir aja. Gw mungkin besok melayatnya. Send my deepest condolences to Nad, ya.”
“Ok, Vi. Bye.”
“Bye.”

Ok, sekarang giliran meng-sms Girindra.

To: Girindra (+628170******)
Gir, Nad jm 5 musti ke airport. Dy usul kita dateng jam 7 aja gimana? Sekalian tutup peti. Gw udah cancel meeting gw sama Viona juga.

From: Girindra (+628170******)
Ok, Rhin. Klo gitu, lo ke rumah gw aja ya jam 6.

Beres.
Rhino kemudian segera mandi, siap-siap menuju kantor.
Ia mengenakan kaos abu-abu, dan fitted jacket-nya yang membuat dia merasa mirip Chris Martin setiap mengenakan jaket itu.
Banyak pekerjaan yang menantinya di kantor, majalah dikejar tenggat waktu, sementara dua jurnalisnya masih berhutang empat artikel.

Sorenya, pulang kantor ia ke rumah Girindra menggunakan taksi setelah sebelumnya mampir ke Starbucks untuk memesan Hot Caramel Latte kesukaanya extra whip cream.
Dalam waktu 15 menit ia sudah tiba di rumah Girindra, jarak kantornya dengan rumah Girindra memang cukup dekat.

Sialan, Girindra juga mengenakan kaos abu-abu, pikirnya begitu pertama kali melihat Girindra yang sedang duduk menghadap sofa menonton DVD The Love Guru.
Di hadapannya ada dua buah sterefoam berisi gado-gado, dan sepiring nasi.
Tidak ada yang bisa disalahkan, tidak ada yang copy cat di antara mereka, tapi memang dasar punya otak sebelas dua belas, selera berpakaian mereka juga mirip. Tidak jarang mereka mengenakan baju yang mirip dalam kesempatan yang sama-sama. Sama-sama pakai flannel. Sama-sama pake cardigan. Sebagainya. Yang kadang membuat mereka beda hanya satu, selera warna. Girindra lebih banyak mengenakan kaos berwarna hitam, Rhino kebanyakan kaosnya berwarna putih. Kaos hitamnya hanya satu di lemari.

“Duduk, Rhin. Gw makan dulu, ya.”
“Sip.”

Rhino, yang sudah lumayan sering main bahkan menginap di rumah Girindra, tanpa disuruh membuat dirinya senyaman mungkin di salah satu sofanya. Membuat dirinya merasa seperti berada di rumah sendiri. Mengambil novel di dalam tasnya kemudian membaca. Meninggalkan sahabatnya yang sedang asik menonton dan bergumul dengan gado-gado.

Toh, ada istilah yang mengatakan, “Friends come to your house, and waiting for you to tell them to sit, and ask you what you want to drink. Best friends come to your house, walk straight forward to your refrigerator, take one of your coke, then sit on your couch, without waiting for your permission.”
Intinya, orang yang sudah bersahabat pasti sudah merasa nyaman satu sama lain dan bisa menerima kekurangan serta kelebihan masing-masing apa adanya. Tidak ada lagi yang perlu ditutupi.
Tapi hati-hati, bukan berarti dengan adanya istilah di atas, kalian bisa seenaknya masuk ke rumah sahabat kalian kemudian lantas bertindak seenak jidat. Tetap ada batas-batas kesantunan yang tidak bisa dilanggar.

Baru beberapa menit kemudian, salah seorang pembantu GIrindra membawa sebuah mangkuk di atas baki. Begitulah hidup si pangeran, sampai makan saja minta diantar pembantu.
Rhino, juga mengaku tidak bisa hidup tanpa pembantu. Tapi, bukan berarti jadi ketergantungan terhadap pembantu. Kalo bisa dilakukan sendiri, kenapa harus suruh pembantu. Lagipula Ibunya bisa mencak-mencak kalau tahu Rhino, asik-asikkan makan di depan televise, pakai acara minta diantar makanannya segala. Buat Ibu Rhino, tidak ada alasan, yang namanya makan harus di meja makan. Mau sendiri, mau rame-rame sekeluarga, harus di meja makan. TITIK. Rhino menyebut ini sebagai salah satu warisan didikan kompeni Belanda dari Omanya yang hidup di jaman Belanda menjajah Indonesia, yang kemudian diturunkan pada Ibunya, hingga diturunkan kepada Rhino, dan rencananya akan Rhino turunkan juga ke anak-anaknya.

“Eh, Rhino …” ternyata si Tante baru pulang kantor.
“Malam Tante,” ujar Rhino sambil tersenyum.
“Malam, enggak makan kamu?”
“Udah kok, Tante,” sahut Rhino.
“Gimana sih Gir, makan sendirian aja, enggak ngajak-ngajak.”
Si Tante kemudian berlalu pergi.
Girindra diam saja, sekarang dia sedang berbaring kekenyangan memegangi perutnya.
“Aduh Rhin, gila gw kekenyang banget. Enggak enak, nih. Perut gw mau meledak.”
“Iya gila perut lo buncit banget sih sekarang. Jangan rakus makannya. Laper mata sih lo.”
“Iya, nih.. nyesel gw. Aduh.. aduh bentar gw ke WC dulu, langsung keluar lagi nih kayaknya makanannya,” Girindra pun berlari menghilang ke WC.

Beberapa menit kemudian mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah duka di RS Dharmais, Slipi.
Girindra meninggalkan piring-piring bekas makannya begitu saja di meja, karena pasti laskar pembantunya yang akan membenahi.
Gatal rasanya Rhino ingin menyuruh dia membawa sendiri piring-piringnya ke tempat cuci piring sendiri, seperti yang selalu ia lakukan di rumah.

Begitu tiba di rumah duka, Nadia, menyambut mereka berdua dengan pelukan, kemudian tersenyum memandangi mereka lantas berkata, “Kalian kayak anak panti asuhan, pake baju sama warna.”

Selain Girindra dan Rhino, ada beberapa teman dekat Nadia yang lain, beberapa yang Rhino kenal adalah Yoshua, Cindy, dan Lucius.

“Karina mana? tanya Cindy ketika mengambil tempat duduk di sebelah Rhino.
Cindy tahu, dulu mereka berempat, Rhino, Nadia, Girindra dan Karina dulu bagai sebuah paket. Di mana ada Rhino, di situ pasti ada tiga yang lainnya.
“Karina lagi liburan di Thailand.”
Iya ya, seandainya Karina ada, pasti dia ada di sini sekarang. Sayang sekali, kalau mereka berempat harus bertemu lagi di acara kedukaan seperti ini.
“Karina apa kabarnya?” tanya Girindra beberapa menit kemudian.
“Baik. Kenapa emang”
“Terakhir ada cowok yang deketin dia siapa tuh namanya, Efraim, ya?”
“Iya, Efraim. They’re just friends kok.”
“Masa? Kenapa?”
“Ya Karina-nya aja enggak mau.”
“Oh, kenapa? Masih belum bisa lupain gw, ya?” Girindra kemudian terbahak.
Jerk, batin Rhino.
“Geer banget lo. Enggak lagi, emang Karina enggak mau aja. Dia sadar, sekarang bukan season-nya untuk memulai satu hubungan. Dari dulu juga begitu, too bad someone ruined it. Not just ruined it, but also broke it, not just her life, but also her heart. Untung dulu ada Ibu Suri (sebutan mereka untuk Ibunya Karina, yang memang terkenal otoriter), yang enggak setuju sama hubungan dia sama orang itu.”
“Sialan lo.”
Strike one, pikir Rhino.
“Hah, mendingan gw, kuliah udah mau selesai, kerjaan bagus, punya pacar, keluarga bahagia. Cuma dalem-dalemnya aja, sih…” Girindra menggantung kalimatnya.
“Dalem-dalemnya, kenapa?”
“Enggak,” jawab Girindra pelan.
Selalu begitu. Menggantung kalimat dan tidak pernah meneruskannya. Mencetuskan sesuatu lantas enggan untuk membahasnya lebih lanjut.
“Dalem-dalemnya juga bagus,” lanjut Girindra.

1 komentar:

henrygerson speaks out mengatakan...

yang bener mas? *blushin* boleh-boleh, gimana cara Mas?
saya juga punya blog satu lagi www.geeksdofashion.blogspot.com. gimana caranya ya untuk pasang iklan gitu?