Kemarin malam, ketika sedang iseng menggonta-ganti saluran tv, saya menemukan sebuah acara talkshow di salah satu stasiun tv swasta.
Biasa saja, tidak terlalu bagus.
Saat itu topik yang sedang dibahas adalah tentang kecenderungan artis yang menggunakan narkoba, akibat pengaruh lingkungan dan pergaulan.
Dihadirkan seorang artis yang pernah masuk penjara karena keterikatan narkoba,
dan seorang artis yang konsisten dari dulu hingga sekarang menyandang predikat anti narkoba, bahkan dia aktif berkecimpung dalam LSM penentang narkoba.
Satu sisi mantan pengguna, dan satu sisi penentang narkoba yang sampai sekarang, buktinya bisa tidak terjerat narkoba, padahal dia juga berprofesi sebagai artis.
Ketika kita salah ambil keputusan, enggak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa kita salahin selain diri kita sendiri.
Banyak orang yang menyalahkan lingkungan, misalnya, “saya ngerokok karena dari kecil saya tumbuh di lingkungan perokok, atau karena teman-teman saya ngerokok, masa saya enggak.”
Come on!
Pilihannya untuk ngerokok atau enggak ada di tangan siapa?
Tapi, pertanyaannya, keputusan kita apa?
Keputusan itu sesuatu yang vital.
Di balik keputusan itu memang ada faktor-faktor penguatnya, seperti:
Ini cara tergampang menurut saya. Sebelum ambil satu keputusan, pikir dulu yang panjaaannnngggg... sepanjang-panjangnya pikiran kita. Kalau gw begini, nanti gw gimana ya. Bagusnya buat gw apa, buruknya buat gw apa? Enggak boleh egois juga, kita musti bisa mikir, selain buat gw, dampak buat orang-orang terdekat gw apa, ya? Keputusan gw ini bakal bikin malu orangtua enggak, ya? Pake sistem tarik garis, kalau elo bikin satu keputusan di satu poin, ketika elo tarik garisnya, end-up nya di mana? Gw suka menanyakan ini ke diri gw sebelum gw membuat satu keputusan, persis seperti apa yang sering dikumandangkan seorang financial planner ternama, Ligwina Hananto, ”Tujuan lo apa?”
Menjawab pertanyaan di atas, ”Tujuan lo apa?” kadang enggak gampang. Dilemanya selalu ada di antara kata PENGEN dan PERLU. Untuk itu kita harus bisa prioritas, mana yang kita perlu dan mana yang cuma sekedar kita pengen. Kemudian, untuk nyusun skala prioritas dan menjawab pertanyaan tadi, kita juga harus tau value kita apa. Kalo kira-kira keputusan yang akan kita ambil sangat bertentangan dengan value kita, ya buat apa?
Hal ini juga yang seringkali bikin salah ambil keputusan. Berkompromi. Manusia cenderung enggak sabaran, mau yang A, ketemu yang A minus dua, mereka berkompromi, ya udahlah enggak apa-apa, daripada enggak dapet. Mengingat postingan saya sebelumnya tentang relationship, yang juga bisa diterapkan di area mana pun, kompromi di depan = bayar belakangan.
Ini juga salah satu faktor vital. Sebelum membuat satu keputusan, gw selalu tanya pendapat orang lain. Bukan sembarangan orang, tapi orang-orang yang menurut gw udah lebih expert dari gw, udah pernah ngalamin apa yang gw alamin, udah lebih mengerti dari gw, orang-orang yang gw look up to, leaders, best friends. Kebiasaan banyak orang adalah, minta pendapat ketika keputusan sudah dibuat. Sudah bikin keputusan, baru minta pendapat, ”Gimana menurut lo?” Itu namanya bukan minta pendapat, tapi itu salah satu bentuk cara meyakinkan diri sendiri bahwa keputusan yang udah (terlanjur) diambil, sama sekali bukan keputusan yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar